Surabaya, IDN Times - Kepadatan lalu lintas nampak jelas di Jalan Rajawali mengarah ke Jalan Jembatan Merah, Surabaya siang itu. Riuh rendah klakson bersahutan. Sesekali terdengar umpatan dari tukang becak dan sopir angkot. Tapi, aku merasa sangat beruntung. Sebab hanya bising kendaraan yang memekakkan telingaku.
Tepat di tempat aku berdiri, 10 November, 73 tahun lalu, berisik desing pelurulah yang membuat para pemuda berlindung di balik tumpukan karung berisi pasir. Peperangan hebat terjadi di sini. Arek-arek Suroboyo dibombardir oleh tentara sekutu tepat di Jembatan Merah.
Meski sudah banyak literatur yang mencatat tentag peristiwa itu, namun rasa penasaran membawaku menemui seorang Veteran yang menjadi salah satu pelaku sejarah.
Pejuang itu bernama Soedarman. Usianya sekarang menginjak 91 tahun. Dia tinggal di Perumahan Veteran kawasan Pakal Surabaya. Dia hanya tinggal berdua bersama istrinya. Sutiani namanya. Berusia 75 tahun. Mereka memutuskan tinggal berdua di rumah yang diberi oleh Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini. Adapun kelima anaknya sudah berkeluarga dan hanya sesekali menemui keduanya.
Ketika aku berkunjung ke rumahnya, Soedarman sudah rapi memakai seragam veteran. Dia duduk di ruang tamu. Sutiani pun menghampiriku sambil menyapa. "Nak Fajar ya, dari IDN Media?" tanyanya. "Iya eyang," jawabku lalu berjabat tangan. Soedarman pun keluar dari ruang tamu dan ikut menyambutku hangat bak cucunya sendiri. "Nak Fajar sudah Mbah Kung tunggu dari tadi," kata Soedarman. "Iya Mbah Kung tadi masih bingung cari rumahnya," jawabku.
Kami pun berbincang di ruang tamu. Tak menunggu waktu lama, kakek di depanku ini mengingat jelas masa-masa peperangan tersebut. Dengan tegas, dia mengatakan kalau menjadi bagian dari salah satu pejuang dan saksi hidup peristiwa 10 November 1945. Dia pun menceritakan bahwa selama tahun 1945, di Surabaya terjadi tiga peperangan besar. Dia selamat. Tak gugur. Bersyukur.