Kisah Pengusaha Garmen Rumahan di Sidoarjo Bangkit di Tengah Pandemik

Surabaya, IDN Times - Pahit manisnya kehidupan sudah banyak dirasakan Agus Cahyono sejak muda. Pria yang bergelut di industri garmen rumahan ini telah banyak melalui jalan terjal. Hidupnya tak semulus yang orang lain lihat.
Agus memulainya dari nol, usahanya lalu berkembang besar. Pandemik juga menghempas usahanya, tapi Agus juga bisa bangkit meski tersengal-sengal, memulainya lagi dari awal.
IDN Times menyambangi rumah Agus yang berada di kawasan Jatisari, Desa Pepelegi, Waru, Sidoarjo, Sabtu (6/2/2021). Meski berstatus sebagai bos, Agus tak segan untuk turun tangan sendiri. Dengan telaten dua tangannya memegang kain berwarna hijau. Kain itu lantas dihempaskan ke atas meja. Dia meraih sebuah penggaris besi sepanjang 60 sentimeter lalu mengukur kain itu.
"Ya gini kerjaannya. Ini lagi mau buat APD," kata Agus kepada IDN Times.
Tak lama berselang, azan zuhur berkumandang. Para pegawai yang sedari tadi bekerja langsung menghentikan aktivitasnya. Begitu pula dengan Agus.
"Monggo. Di sini kalau sudah kedengaran suara azan, langsung berhenti semua kerjanya. Semua karyawan sudah mengerti," tambah Agus.
Agus tengah menerima pesanan APD medis borongan dari rumah sakit. Sebelumnya, dia punya gerai di Pusat Grosir Surabaya (PGS). Namun lantaran pandemik, tokonya di PGS terpaksa ditutup. Agus pun memutar otak agar dapur harus tetap mengepul.
1. Belajar secara autodidak di Bandung
Agus merintis usahanya tersebut sebelum menikah. Awalnya dia tidak mempunyai kemampuan di bidang garmen maupun konveksi. Kalau bukan karena keadaan yang sulit, Agus mungkin tidak akan menempa dirinya secara keras.
"Saat itu sempat buka toko IT di HiTech Mall. Lalu jatuh, kena tipu pas 2006," tutur ayah tiga orang anak tersebut.
Gara-gara itu, Agus pun punya utang Rp250 juta. Jumlah yang besar pada saat itu. Dia pun harus mencari uang agar bisa menebus utang. Lama berpikir, Agus lantas memutuskan hijrah ke Bandung. Dia mendatangi temannya yang punya usaha konveksi.
"Waktu itu uang tinggal Rp500 ribu. Lari ke Bandung cari teman, tidur di kos-kosan teman. Teman itu punya usaha konveksi, Bandung kan gudangnya konveksi," lanjutnya.
Di Bandung, Agus melihat langsung kerja keras temannya membesarkan bisnis konveksi. Dia lalu ikut membantu temannya. Mulai belajar untuk mencari tahu, belajar cara memotong kain. Dia sama sekali tidak digaji. Numpang tidur saja sudah jadi berkah luar biasa.
Untuk mencukupi kebutuhan hidup saat di Bandung, Agus berjualan kaus yang diproduksi temannya. Dia mengirim kaus itu ke Surabaya. Tentu Agus mencari untung. Harga jual kaus itu di Surabaya lebih mahal sedikit dibanding harga Bandung.
Selama 2 tahun Agus menetap di Kota Kembang. Dalam kurun waktu tersebut, Agus sudah punya kemampuan di bidang konveksi yang cukup matang.
"Ibaratnya, saya lulus sekolah gratis. Jahit kain perca, memahami mesin jahit. Ya, jadi pembantu, mulai proses dari nol. Habis dari Bandung, saya kembali lagi ke Surabaya, fokus ke jualan," kata Agus.