Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Kisah Gadis Belia Surabaya, Berdamai dengan Gagal Ginjal

MS yang didampingi sang ibu MW di Rumah Singgah (IDN Times/RyzkaTiara)

Surabaya, IDN Times - MS (12) tampak bermain riang bersama teman-temannya di ruang tamu di sebuah rumah sederhana. Mereka saling melempar canda. Di sisi lain yang hanya terpisahkan oleh rak buku, beberapa orang sebayanya juga menghabiskan waktu dan berbagi cerita. Bukan sembarang rumah, bangunan itu adalalah 'Rumah Singgah'. Rumah itu berisi para remaja dengan vonis penyakit akut. Rumah Singgah dan seisinya menjadi saksi bisu bagaimana mereka perlahan berdamai keadaan dan membangun semangat untuk tetap menjalani hidup sebagaimana mestinya.

Di balik senyumnya yang baik-baik saja, MS menyimpan kisah pahit di usianya yang masih belia. Ia divonis gagal ginjal. MS yang didampingi sang ibu MW (31), perlahan membagikan kisah pilunya. "Tahunnya tahun 2022 bulan 10. Besok paginya baru dirujuk ke RSUD Dr. Soetomo," ujar MW, kepada IDN Times, beberapa waktu lalu. Kata MW, mulanya nyaris tak ada gejala-gejala mencurigakan ketika MS masih berumur 10 tahun pada tahun 2022 lalu. "Cuma sering panas-dingin, sering muntah, ga nafsu makan", katanya.

Beberapa kali MW membawa MS untuk berobat, hasilnya cukup baik dan tidak ada yang salah dengan ginjalnya. Namun, seiring berjalannya waktu, MS kembali menunjukkan adanya sebuah gejala, yakni merasakan sesak yang tiba-tiba dan muntah setelah mengonsumsi mi instan yang ia seduh bersamaan dengan mi kering.
MW pun memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Setelah melakukan prosedur pemeriksaan, baru terkuak jika MS memiliki masalah terhadap ginjalnya. "Di sana difoto torax, terus cek lab darah ternyata kreatinnya waktu itu 14 mg/dL sekian dan saya minta foto ternyata ginjalnya memang bermasalah," katanya. Seseorang normal biasanya memiliki kadar kreatinin di bawah 1 mg/dL.

Sakit yang dialami oleh MS terjadi bukan tanpa sebab. MW mengaku bahwa hal ini terjadi karena kebiasaan MS yang suka mengonsumsi makanan dan minuman instan sejak ia duduk di bangku sekolah dasar. Bahkan, hampir setiap hari, ketika MS pulang sekolah, ia selalu membawa makanan dan minuman instan yang ia beli di sekolah.

Sebagai orangtua, MW sempat melarang MS untuk mengonsumsi makanan dan minuman instan tersebut. Namun ia mengaku kecolongan. "Pasti dilarang, namanya anak, ya, susah juga. Kita, kan, tidak bisa mengikuti setiap hari aktivitasnya. Di rumah jangan mi, di luar tidak tahu, kan," terangnya.

Penyesalan tentu ada. Namun, ia memilih mencari jalan keluar ketimbang terus meratapi nasib. Ia terus memompa semangat sang putri yang kini harus rutin melakukan cuci darah dua kali seminggu. Bukan itu saja, MS juga harus membatasi jumlah makanan dan minuman yang ia konsumsi. "Cuci darah 2 kali seminggu, rutin. Toh sekarang dia sudah ngerti juga aturan minum itu seberapa, maksimal 600 ml. Makanan yang tidak boleh itu, garamnya yang terlalu banyak, sayur-sayuran mentah, dan terlalu manis," terang MW.

Beruntung, dengan segala kepahitan hidup yang harus dijalani, MS punya harapan sembuh yang tinggi. Sebisa mungkin ia ingin menjalani aktivitasnya seperti dulu lagi. "Ingin sehat, ingin sekolah. Kangen sekolah, kangen main sama teman-teman. Ingin memotivasi teman-teman agar tidak kebanyakan makan mi instan," kata MS.

Rumah Singgah di Surabaya yang berisi para remaja dengan vonis penyakit akut (IDN Times/RyzkaTiara)

Cerita MS cuma potongan kecil dari gambaran kasus gagal ginjal kronis pada anak di Indonesia. Survei dari Ikatan Dokter Indonesia (IDAI) menyebutkan, per Juli 2024, 1 dari 5 anak usia 12-18 tahun mengalami hematuria atau proteinuria, yang merupakan gejala awal gagal ginjal. Jika sudah parah, gejala awal ini bisa berubah menjadi gagal ginjal kronis (chronic renal failure). Ini adalah kerusakan ginjal progesif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia atau urea dan limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialysis atau tranplantasi ginjal.

Meski tak ada data yang dirilis secara resmi mengenai jumlah penderita gagal ginjal kronis dan kelompok usia penderita, namun berkaca dari pembiayaan hemodialisa yang dilakukan BPJS, ada penambahan Rp4,5 triliun dari 2019 ke 2024. Sementara peningkatan Rp3 triliun di antaranya, terjadi pada rentang 2022 ke 2023.

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa anak-anak yang seharusnya sehat kini harus bertarung melawan gagal ginjal kronis?

Dokter spesialis anak sekaligus anggota IDAI, dr. Fiona Paramitha, Sp.A., menjelaskan bahwa lonjakan kasus gagal ginjal akut pada anak mulai muncul Oktober 2022. Salah satu penyebab besarnya kala itu adalah obat sirup yang tercemar etilen glikol dan dietilen glikol. Namun, seiring waktu, kasus ini menurun, berganti dengan kasus gagal ginjal kronis yang lebih dipicu oleh gaya hidup tidak sehat.

"Pola makan yang tidak sehat menjadi pemicu besar. Minuman manis kemasan, makanan cepat saji, serta makanan olahan tinggi garam dan lemak memicu resistensi insulin yang meningkatkan risiko hipertensi, diabetes melitus, hingga mempercepat kerusakan ginjal," kata dr. Fiona pada IDN Times, Sabtu (22/3/2025).

Pada kasus bayi neonatus, atau bayi yang baru lahir, lanjutnya, gagal ginjal disebabkan karena kelainan kongenital ginjal dan saluran kemih. Kelainan bawaan ini bisa diturunkan karena sifatnya yang genetik. Namun, hal ini juga bisa terjadi karena ibu hamil mengalami infeksi TORCH, atau toxoplasma, rubella, CMV/virus herpes dan HSV/herpes simpleks.

Dokter sekaligus dosen di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu juga menyoroti bahaya gadget dan kurangnya aktivitas fisik pada anak. Anak yang kecanduan gadget cenderung akan berkurang aktivitas fisiknya, sehingga risiko obesitas melonjak. Obesitas, lanjutnya, memicu disfungsi endotel dan resistensi insulin, yang pada akhirnya membebani kerja ginjal.

"Kondisi ini bukan hanya soal pola makan, tapi juga pola asuh. Orang tua yang membiarkan anaknya terlalu lama di depan layar dan terbiasa dengan makanan instan berkontribusi pada makin parahnya kerusakan ginjal anak mereka," jelasnya.

Salah satu tantangan besar dalam mendeteksi gagal ginjal kronis pada anak adalah gejalanya yang kerap tidak spesifik. Menurut dr. Fiona, banyak orang tua yang baru menyadari setelah kondisi anak memburuk. Gangguan ginjal pada anak sering kali datang tanpa gejala yang jelas. Namun, ada beberapa tanda yang patut diwaspadai.

"Gejala yang paling mudah dikenali adalah perubahan warna urin. Warna yang lebih gelap, berbusa, atau volume yang berkurang drastis patut diwaspadai," tegasnya.

Lebih lanjut, anak yang mengalami muntah berulang, pertumbuhan berat dan tinggi badan yang terhambat, sering merasa lemas, bengkak di kelopak mata, perut yang tiba-tiba membesar, hingga bengkak pada tungkai juga bisa menjadi tanda gangguan ginjal. Bahkan, tekanan darah tinggi yang jarang terdeteksi pada anak bisa menjadi alarm serius yang tak boleh diabaikan.

“Oleh sebab itu, orangtua disarankan untuk rutin memantau kondisi kesehatan anak, termasuk tekanan darah dan tes urin, terutama bila ada riwayat penyakit ginjal dalam keluarga,” ucap dr. Fiona.

Untuk mencegah anak jatuh ke dalam lingkaran gagal ginjal kronis, pola hidup sehat harus menjadi kebiasaan sejak dini. Anak perlu diajarkan makan makanan bergizi seimbang, dengan memperbanyak konsumsi sayur, buah, dan air putih yang cukup sesuai kebutuhan tubuh.

“Makanan tinggi gula, garam, serta pengawet, yang banyak ditemukan pada makanan cepat saji dan minuman kemasan sebaiknya dihindari. Selain menjaga asupan nutrisi, aktivitas fisik minimal 60 menit per hari juga menjadi kunci agar anak terhindar dari obesitas, yang merupakan salah satu pemicu gangguan ginjal,” jelasnya.

Contoh kegiatan lain yang bisa dilakukan, ia menambahkan, seperti bermain bola, berenang, atau sekadar berjalan kaki di luar rumah bisa membantu membakar kalori berlebih dan menjaga metabolisme tubuh. Langkah preventif yang paling susah dilakukan sekarang menurut dr. Fiona adalah mengurangi screen time pada anak.

“Orangtua harus diimbau dalam membatasi waktu layar atau screen time sesuai usia anak, karena kecanduan gadget tak hanya mengurangi aktivitas fisik, tapi juga mengganggu pola tidur yang berperan penting dalam proses regenerasi tubuh, termasuk ginjal,” tegasnya.

Selain itu, memastikan anak mendapat imunisasi lengkap dan pengobatan infeksi secara tuntas sangat penting untuk dilakukan, agar tubuh mereka lebih tahan dari berbagai penyakit yang bisa memicu komplikasi ginjal. Kemudian hindari memberikan obat-obatan tanpa resep dokter, termasuk jamu atau herbal yang belum terbukti keamanannya.

Kasus gagal ginjal pada anak di Jawa Timur adalah pengingat keras bahwa kesehatan anak harus menjadi prioritas. Bukan hanya soal makanan, tapi juga pola hidup dan pola asuh yang lebih sehat.

"Kalau anak rutin makan junk food dan minuman kemasan, sambil main gadget berjam-jam, lalu jarang bergerak, kita sedang menyiapkan bom waktu untuk ginjal mereka," pungkas dr. Fiona.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Faiz Nashrillah
EditorFaiz Nashrillah
Follow Us