Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG-20250929. Jpg
Proses evakuasi runtuhan bangunan di Ponpes Al-Khoziny Sidoarjo. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Intinya sih...

  • PLN menjaga jaringan listrik di pesantren Buduran untuk memastikan keselamatan selama evakuasi.

  • PLN memberikan penerangan pertama di lokasi kejadian, memastikan dapur umum dan posko evakuasi tetap beroperasi.

  • Setelah evakuasi selesai, PLN memberikan bantuan logistik dan melakukan pengecekan ulang jaringan listrik di sekitar pesantren.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Sidoarjo, IDN Times - Senin sore itu, 29 September 2025, langit Buduran mulai menguning. Di kompleks Pondok Pesantren Al Khoziny, Desa Buduran, Kabupaten Sidoarjo, terdengar lantunan ayat suci dari musala di lantai dasar. Para santri baru saja memulai salat Asar berjemaah, sementara di atas mereka, para pekerja tengah melakukan pengecoran atap lantai tiga bangunan baru. Semuanya berjalan seperti biasa. Hingga suara gemuruh dari atas menggetarkan lantai musala. “Kami kira gempa bumi,” kenang Muhammad Zahrawi (17), salah satu santri yang selamat.

Dalam beberapa detik, guncangan kecil itu berubah menjadi tragedi besar. Struktur bangunan ambruk. Lantai atas menghantam ruang salat di bawahnya. Debu, bata, dan jerit minta tolong memenuhi udara. “Saya lihat teman-teman saya lenyap tertimbun. Semuanya gelap,” ucap Zahrawi lirih, mengingat detik-detik yang mengubah hidupnya.

Di bawah puing-puing itulah, puluhan santri tertimbun hidup-hidup. Beberapa berhasil diselamatkan dengan luka parah. Lainnya, tak pernah keluar lagi. Dalam hitungan jam, angka duka terus bertambah. Sebanyak 63 orang dinyatakan meninggal dunia, mayoritas santri yang tengah beribadah.

Proses evakuasi ambruknya bangunan musala di Ponpes Al Khoziny di Sidoarjo. IDN Times/Ardiansyah Fajar

Begitu kabar ambruknya bangunan menyebar, jalan menuju Buduran dipadati kendaraan tanggap darurat. Mobil Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Basarnas, TNI-Polri, dan tim relawan datang bergantian. Sirine meraung, suara komando bersahut-sahutan. Tapi di tengah barisan seragam itu, ada kelompok lain yang datang dengan diam. Mereka bukan dokter. Bukan pemadam kebakaran. Tapi langkah mereka sama cepat, sama genting. Mereka datang untuk memastikan satu hal: tak ada arus listrik yang membahayakan siapa pun di tengah reruntuhan. Mereka adalah petugas berseragam biru muda dengan logo Perusahaan Listrik Negara (PLN) di dada.

“Begitu kami mendapat laporan, personel langsung meluncur ke lokasi,” ujar Manager Komunikasi dan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) PLN Unit Induk Distribusi (UID) Jawa Timur, Dana Puspita Sari kepada IDN Times, Kamis (23/10/2025). “Kami fokus mengamankan jaringan di sekitar pondok agar proses evakuasi berjalan aman,” ungkapnya menambahkan.

Petugas PLN menurunkan tim teknis darurat, membawa alat pemutus arus dan detektor tegangan. Dalam waktu singkat, arus utama diputus dari panel di sekitar kompleks. Mereka menyisir kabel yang menjuntai, menandai tiang yang miring, dan memastikan tak ada percikan yang bisa memicu bencana kedua. “Dalam kondisi seperti ini, listrik bisa jadi penyelamat, tapi juga bisa jadi ancaman,” kata Dana. “Kami pastikan tidak ada risiko sedikit pun bagi tim SAR yang sedang bekerja,” tegasnya.

Proses evakuasi yang dilakukan Tim SAR Gabungan di Ponpes Al Khoziny Sidoarjo.

Malam menjelang cepat. Debu masih menggantung di udara. Di lokasi yang gelap, sinar lampu dari genset dan peralatan PLN menjadi penerang pertama. Sinar itu jatuh di antara tumpukan puing, menyoroti tangan-tangan relawan yang menggali dengan peralatan dan perlengkapannya. “PLN hanya memadamkan listrik di titik yang roboh,” jelas Dana. “Kami tahu, listrik bukan hanya energi, tapi penerang harapan,” ucapnya. Kalimat itu terasa benar malam itu.

Rumah-rumah warga sekitar tetap menyala. Posko evakuasi darurat memiliki penerangan cukup untuk bekerja sepanjang malam. Dapur umum pun langsung beroperasi di halaman masjid desa. Panci-panci besar mengepul, memasak nasi dan sayur untuk relawan dan santri yang selamat. “Kami bersyukur, listrik tidak mati total,” ujar warga Buduran, Siti (43). “Kalau gelap semua, panik makin besar. Tapi ini, meski duka, kami masih bisa saling bantu,” imbuh dia.

Beberapa rumah warga bahkan dijadikan tempat istirahat relawan. Di teras yang diterangi lampu bohlam kecil, mereka duduk melepas lelah sambil mengisi ulang baterai senter dan ponsel. “Kalau listrik mati, susah semua. Tapi PLN cepat tanggap,” tutur pemilik warung dekat pondok, Heri Wibowo. “Kami bisa tetap masak dan bantu komunikasi,” ucapnya.

Malam itu, cahaya listrik menjadi penanda kehidupan, bahwa di tengah kehancuran, manusia masih bisa menolong sesamanya.

Kondisi wali santri di sekitar ponpes yang ambruk. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Hari berganti. Pada malam kedua, suara doa menggema dari tenda darurat di halaman pondok. Para santri yang selamat duduk bersila, memandangi reruntuhan tempat mereka dulu salat berjemaah. “Di sini kami juga biasa ngaji ba’da Magrib,” kata Adam (15), matanya sembab. “Sekarang tinggal puing. Tapi kami yakin Allah punya rencana lain,” ungkapnya.

Di sisi lain, teknisi PLN masih berjaga. Mereka memeriksa tiang demi tiang, memastikan tak ada korsleting yang tertinggal. “Kami tidak hanya menyalakan listrik, tapi memastikan semuanya aman. Ini bagian dari tanggung jawab kami,” kata Dana lagi.

Beberapa petugas bahkan bekerja lebih dari 12 jam tanpa henti. Satu tim memastikan arus listrik ke dapur umum dan posko medis tetap stabil. Tim lain memantau distribusi daya agar tak terjadi kelebihan beban. “Untuk lokasi lain tetap aman dan stabil karena tidak ada jaringan yang terkena robohan,” kata Dana.

Meski aman, skema tambahan tetap diperlukan. Petugas PLN menegakkan tiang sementara. Mereka menarik kabel menuju posko logistik agar lampu tak padam. Bagi para penyintas, itu lebih dari sekadar listrik. Itu tanda bahwa mereka tidak sendirian.

Pakar konstruksi ITS, Mudji Irmawan. (IDN Times/Khusnul Hasana)

Dalam operasi besar itu, PLN menjadi bagian dari rantai koordinasi lintas instansi. Tim komunikasi PLN bergabung dalam grup khusus bersama BPBD, Basarnas, dan aparat kepolisian untuk memantau kondisi lapangan. “Kami bersinergi penuh dalam penanganan lokasi. Jika ada gangguan sekecil apa pun, tim langsung bergerak,” ungkap Dana.

Sementara di sisi teknis, PLN juga berkolaborasi dengan Tim Ahli Struktur dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Mudji Irmawan, dosen teknik sipil ITS yang memimpin tim analisis struktur, mengatakan PLN menjadi faktor penting dalam keberhasilan evakuasi malam hari. “Kami membawa peralatan sensor getar dan alat ukur yang membutuhkan daya stabil,” katanya. “Kalau PLN tidak menjaga pasokan listrik, kami tidak bisa bekerja optimal di malam hari,” beber Mudji.

Tim ITS bekerja dengan fokus penuh. Meneliti arah runtuhan untuk menentukan posisi aman penggalian. Dengan penerangan yang cukup, mereka berhasil membantu Tim Pencarian Gabungan untuk menemukan beberapa korban tambahan yang sebelumnya tak terdeteksi.

Yayasan Baitul Maal (YBM) PLN UP3 Surabaya Utara menyalurkan bantuan kepada korban ambruknya gedung Pondok Pesantren Al Khoziny. Dok. PLN.

Beberapa hari setelah tragedi, ketika evakuasi selesai, PLN hadir kembali. Kali ini bukan dengan alat teknis, tapi dengan rasa kemanusiaan. Melalui Yayasan Baitul Maal (YBM) PLN UP3 Surabaya Utara, bantuan logistik disalurkan untuk keluarga korban dan santri yang kehilangan tempat tinggal. H. Zamzami, Manager PLN UP3 Surabaya Utara, dan Moch. Yanu Umar Wahyudi, Ketua YBM PLN UP3 Surabaya Utara, datang menyerahkan paket sembako ke rumah-rumah warga yang berduka.

“Alhamdulillah, kami sangat berterima kasih atas perhatian dan bantuan yang diberikan,” ucap Huda, ayah dari Firman Noor (15), santri yang menjadi korban. “Bantuan ini bukan cuma soal barang, tapi perhatian yang menenangkan hati,” ungkapnya melanjutkan.

YBM PLN juga memperkuat dapur umum Baznas Jawa Timur yang melayani ratusan porsi makanan setiap hari. Mereka mengirim telur, mie instan, roti, dan kebutuhan pokok lainnya, memastikan para santri dan relawan tetap kuat menjalani hari-hari sulit.

“Kami ingin memastikan kebutuhan dasar, khususnya makanan, terpenuhi dengan baik,” ujar Ketua YBM PLN UID Jatim Agusprasetiawan. “Semoga bantuan ini memberi semangat baru bagi para penyintas,” katanya penuh harap. Kepedulian itu menunjukkan wajah lain PLN, bukan sekadar penyedia listrik, tapi penjaga kehidupan.

Infografis PLN di Ponpes Al Khoziny. IDN Times/Ardiansyah Fajar

Usai masa darurat, PLN melakukan pengecekan ulang seluruh jaringan di area sekitar pondok. Setiap sambungan diuji, setiap kabel diperiksa ulang. Tak hanya itu, PLN juga melakukan evaluasi instalasi listrik di beberapa pesantren sekitar Sidoarjo sebagai langkah preventif.

“Kami ingin memastikan semua lembaga pendidikan memiliki instalasi aman dan sesuai standar,” kata Dana.

PLN juga mengimbau masyarakat agar selalu melaporkan potensi bahaya listrik melalui aplikasi PLN Mobile atau Contact Center 123. “Ini bukan sekadar layanan,” tegasnya, “Tapi bagian dari tanggung jawab kami menjaga keselamatan bersama,” pungkasya. Bagi Dana, menjadi petugas PLN bukan sekadar teknisi, tapi penjaga energi. Di tangan mereka, listrik bukan hanya daya, melainkan doa yang menyala.

Editorial Team