Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
WhatsApp Image 2025-10-28 at 07.32.41.jpeg
Seorang pengusaha kuliner sedang mengecek motornya yang mbrebet usai mengisi BBM Pertalite. (IDN Times/Ardiansyah Fajar)

Intinya sih...

  • Kendaraan mbrebet usai isi Pertalite di Jawa Timur, diduga karena campuran etanol dalam BBM.

  • Etanol memiliki sisi positif dan negatif, dengan nilai kalor lebih rendah dan bersifat higroskopis.

  • Pemerintah mendorong penggunaan BBM campuran etanol hingga E10, namun harus disesuaikan dengan mesin kendaraan yang beredar di Indonesia.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Surabaya, IDN Times - Maraknya laporan kendaraan mbrebet usai mengisi Pertalite di sejumlah daerah di Jawa Timur kembali memunculkan dugaan bahwa BBM mengalami perubahan komposisi, termasuk adanya campuran etanol. Menanggapi hal tersebut, Pakar Otomotif Petra Christian University (PCU), Prof Willyanto Anggono, menjelaskan bahwa pencampuran etanol pada BBM memiliki sisi positif dan negatif yang perlu dipahami dari aspek teknis mesin.

“Pada intinya semua hal itu ada sisi baik dan kurang baiknya. Dari sisi baiknya, etanol itu angka oktannya cukup tinggi dan bersifat renewable energy. Itu bagus untuk mendukung energi berkelanjutan,” jelasnya saat diwawancarai, Kamis (30/10/2025).

Namun, Willyanto juga menegaskan bahwa etanol memiliki nilai kalori lebih rendah dibanding bensin, sehingga tenaga mesin dapat menurun jika digunakan pada mesin yang tidak disesuaikan dengan kadar campurannya. “Nilai kalor ini akan berpengaruh terhadap tenaga yang dihasilkan itu lebih sedikit daripada gasoline fuel. Jadi itu yang harus kita perhatikan,” ujarnya.

Selain itu, etanol bersifat higroskopis, yaitu mudah menyerap air. Kondisi ini dapat memicu efek seperti mbrebet jika kandungan air ikut terbawa ke dalam sistem bahan bakar kendaraan. “Etanol itu menyerap kadar air. Maka bahan bakar nanti seakan-akan kelihatan bercampur dengan air. Dan lebih korosif ke beberapa mesin yang terbuat dari besi atau yang menggunakan karet,” jelasnya.

Wacana pemerintah mendorong penggunaan BBM campuran etanol hingga E10 (10 persen etanol) dinilai baik secara prinsip. Namun, hal ini bergantung pada kesiapan mesin kendaraan yang beredar di Indonesia. “Sebetulnya kalau kita bisa membuat E10 saya kira baik. Tetapi harus dipertimbangkan dengan requirement daripada mesin-mesin yang beredar. Mesin harus sesuai dengan makanannya. Kalau tidak sesuai, itu bisa menimbulkan kerusakan,” tegas Willyanto.

Ia menyebut beberapa kendaraan keluaran baru sebenarnya sudah siap menggunakan BBM beretanol. Namun tidak semua. “Yang baru-baru itu sudah tidak ada masalah. Tapi tetap harus sesuai dengan regulasi pemerintah dan spesifikasi mesin yang dianjurkan pabrikan,” katanya.

Terkait kasus kendaraan mbrebet yang kini tersebar di 13 kabupaten/kota di Jatim, Willyanto meminta masyarakat tidak terburu-buru menyimpulkan penyebabnya adalah etanol. “Kita tidak boleh langsung menyalahkan etanol. Bisa juga kesalahannya di sistem penyimpanan di SPBU atau proses transportasinya. Semua perlu dicek,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa pengawasan kualitas BBM di SPBU harus dilakukan lebih ketat dan berkala. “Yang namanya bahan bakar itu harus sesuai spesifikasi. Pemerintah, SPBU, maupun pihak penyuplai harus bekerja baik agar konsumen tidak dirugikan," pungkas Willyanto.

Editorial Team