Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini saat mengunjungi eks lokalisasi Dolly. Dok. Humas Pemkot Surabaya
Sesampainya di rumah, Jarwo langsung mengajak istrinya untuk membuat tempe. Kali ini tidak ada pilihan lain agar dapur tetap mengepul. Mulanya, kedelai 3 kilogram yang dibawa dipakai untuk uji coba membuat tempe. Ternyata berhasil dan segeralah dia bagi ke tetangga sekitar.
Sisa uang yang dimiliki Jarwo hanya Rp180 ribu. Dia berniat membelanjakan bahan baku tempe ke Pasar Pabean. Sayangnya, saat di pasar uang yang dibawanya kurang. Kedelai yang dibandrol seharga Rp300 ribu satu karungnya, Jarwo mencoba menegonya agar boleh membawa setengah karung. Tapi tetap saja ditolak.
Lalu dia memutuskan pulang. Di tengah jalan, ban sepeda motor yang dikendarainya justru bocor. Jarwo pun menambalkannya dengan harga Rp20 ribu. Kini uang yang dipegangnya tersisa Rp160 ribu. Uang itu berkurang lagi karena harus membeli bensin Rp10 ribu.
“Terus akhirnya ke Sidoarjo, diantar mas beli kedelai di Sepanjang. Bawa uang Rp150 ribu. Eh perjalanan, bocor lagi. Harus ganti ban. Sekarang cuma bawa Rp100 ribu. Ya saya bilang mas ada uang segini, saya kasihkan Rp80 ribu, karena Rp20 ribu buat bekal pulang,” katanya.
Jarwo tak menyangka, dia malah dibawakan kedelai seberat 30 kilogram ditambah dengan raginya. Secerca harapan untuk melanjutkan hidup kini mulai ada lagi dalam diri Jarwo. Dia segera mengolahnya menjadi tempe. Produknya pun diberi nama “Tempe Dolly”. Mulanya dia hanya produksi 3 kilogram dan meningkat 5 kilogram.
Seiring berjalannya waktu, dia mendapat informasi kalau pemkot menggelontorkan sejumlah pelatihan dan bantuan bagi warga eks Dolly. Jarwo meminta istrinya ikut program itu sambil mengajukan permintaan mesin pemecah kedelai.
“Ternyata prosesnya cepat, langsung usaha saya disurvei kelurahan, kecamatan, dan pemkot. Seminggu itu sudah datang mesinnya, tapi yang ngambil istri saya sama mas saya. Saya belum berani muncul, masih takut kalau ketahuan yang nolak-nolak dulu,” ungkapnya.
Hadirnya mesin tersebut secara otomatis meningkatkan produktivitas usaha Jarwo. Namun, pemerintah meminta Jarwo mengubah nama produknya. Digantilah dengan “Tempe Mandiri Jaya”. Nama baru ini tidak bertahan lama. Hanya satu bulan. Jarwo merasa penjualannya anjlok dengan nama usulan tersebut.
Bulan berikutnya, Jarwo menggantinya dengan “Tempe Bang Jarwo”. Nama ini terinspirasi dari serial kartun “Adit, Sopo, Jarwo” yang tengah ramai di televisi. Dampak positif pun menaungi nama baru. Ketika pameran,di balai kota, dia mengaku mendapatkan penjualan yang banyak.
“Terus ada anak mahasiswa mau dampingi usaha saya, ngajari pembukuan, pemasaran lewat online sama ngasih ide biar beda Tempe Bang Jarwo ini menjual story-nya, story of Dolly,” tuturnya.
Sejak 2017, kata Jarwo, dirinya bersama sang istri memproduksi 20 kilogram tempe. Pemkot juga sempat menggelontorkan bantuan 520 kilogram kedelai kepadanya. Hingga 2019 dia sudah memproduksi 25 kilogram tempe tiap harinya. Omzetnya saat ini pun terbilang bagus. Tiap bulannya bisa meraup lebih dari Rp13 juta.
Nah, memasuki pandemik COVID-19 kegiatan Jarwo tidak sekadar berjualan tempe saja. Dia juga aktif memberikan workshop atau pelatihan daring. Selain itu, dia juga menjadi tour guide alias pemandu wisata lokal di kawasan bekas distrik lampu merah. Mengantarkan tamu-tamu dari luar Surabaya dan luar negeri menilik langsung wajah Dolly saat ini.
“Saya ceritakan dulu Dolly kampung maksiat sekarang penuh manfaat,” katanya bersemengat.
Wajah Dolly yang baru tidak hanya terlukis dari kisah Jarwo saja. Dia menuturkan banyak sekali yang berubah. Kini anak-anak di sana tidak lagi harus takut saat keluar malam hari. Sebab, tak ada lagi temaram jambon maupun kerat-kerat bir yang menumpuk.
“Sekarang sama Bu Risma sudah dibuatkan taman-taman. Ada lapangan futsal juga,” tukas dia.