Rapid Test di Kota Surabaya, Senjata Pertama Deteksi COVID-19

Surabaya, IDN Times - Hingga saat ini Kota Surabaya masih menggunakan rapid test sebagai deteksi awal dalam penuntasan COVID-19. Meski akurasinya minim, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Kota Surabaya memiliki berbagai alasan untuk tetap mempertahankan penggunaan rapid test.
Masih massifnya penggunaan rapid test sendiri mulai mendapat kritik dari beberapa kalangan termasuk epidemiolog. Selain karena akurasinya minim, hal ini juga tak sesuai dengan klaim pemerintah. Presiden Joko Widodo menyebut bahwa salah satu perusahaan negara mampu memproduksi alat tes Polymerase Chain Reaction (PCR) hingga 50.000 unit per pekan.
1. Kota Surabaya sudah lakukan puluhan ribu kali rapid test

Penggunaan rapid test di Kota Surabaya sudah cukup banyak apalagi dengan bantuan mobil dari Badan Intelijen Nasional (BIN) dan Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB) beberapa waktu lalu. Berdasarkan data yang tercantum di laman resmi Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Surabaya, hingga tanggal 22 Juni telah ada 80.982 kali rapid test di Kota Surabaya dengan hasil 72.074 non reaktif dan 8.832 reaktif.
Koordinator Bidang Pencegahan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Surabaya, Febria Rachmanita menuturkan, rapid test merupakan senjata pertama yang dilakukan untuk skrining atau pemetaan para warga. Di Kota Surabaya, apabila ada warga yang reaktif maka akan diisolasi dan langsung dijadwalkan untuk tes swab PCR.
"Itu deteksi dini awal. Tetap yang reaktif itu nanti di-swab. Gak cuma rapid-rapid lalu gak diapa-apakan," ujar Feny, sapaan akrab Febria saat ditemui di Balai Kota Surabaya, Selasa (23/6).
2. Meski akurasi rendah, rapid test belum bisa tergantikan

Feny menyadari bahwa rapid test memiliki keakuratan rendah dalam mendeteksi infeksi virus corona. Oleh karena itu, tes cepat ini memang tidak digunakan sebagai alat diagnosa terhadap pasien COVID-19. Meski begitu, hingga saat ini posisi rapid test belum bisa digantikan oleh tes swab PCR sebagai alat deteksi. Terlebih, kecepatan yang diberikan oleh tes swab PCR tak bisa mengimbangi rapid test. Sebagai bukti, dari 11.094 tes swab PCR yang telah dilakukan di Kota Surabaya, masih ada 876 hasil tes yang belum keluar.
"Itu satu-satunya alat untuk screening. Walaupun tidak bisa dijadikan patokan diagnosa," tuturnya.
Selain itu, hasil tes swab akan semakin lama jika terjadi penumpukan uji laboratorium PCR. Hingga saat ini, kapasitas laboratorium PCR di Kota Surabaya masih terbatas. Feny menyebut, Kota Surabaya memiliki bantuan dua unit mesin PCR yang ditempatkan di Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit dengan kapasitas uji 400 spesimen dalam sehari. Selain itu, RSUD dr. Soetomo juga memiliki mesin dengan bantuan autoreader berkapasitas 200-300 spesimen per hari. Ada juga Institut Tropical Disease Universitas Airlangga dengan kapasitas uji sekitar 100-200 spesimen perhari.
3. Seluruh Puskesmas di Surabaya sudah bisa tes swab

Hingga saat ini Pemkot Surabaya masih memiliki beberapa stok alat rapid test dari berbagai bantuan mulai dari pemerintah pusat hingga pihak swasta. Selain itu, Feny mengatakan bahwa pihaknya sudah melakukan pengadaan terhadap alat rapid test. Namun ia enggan menyebutkan rincian jumlahnya.
"Sebagian ada pengadaan, sebagian bantuan. Kalau ada bantuan kan kita gak perlu pakai APBD. Lupa saya jumlahnya berapa," sebutnya.
Meski tetap mempertahankan penggunaan rapid test, namun Feny juga ingin meningkatkan kemampuan Kota Surabaya untuk pengambilan swab dan uji lab PCR. Salah satu upayanya adalah pelatihan petugas Puskesmas untuk mengambil sampel swab dari pasien. Sehingga warga tak perlu mengantre di rumah sakit untuk melakukan tes swab.
"Semua puskesmas sudah bisa mengambil swab. Nanti setelah itu spesimennya dibawa ke BBTKL atau ITD," terangnya.
4. Rapid test untuk penanganan awal pasien dan perlindungan tenaga kesehatan

Belum tergantikannya rapid test juga diamini oleh Ketua Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Jatim, dr. Dodo Anondo. Luasnya sebaran virus corona di Kota Surabaya membuat rapid test diperlukan untuk screening awal kepada pasien. Jadi, petugas kesehatan bisa memetakan pasien tersebut untuk digolongkan ke pasien terduga COVID-19 atau tidak. Selain itu, rapid test berguna sebagai perlindungan awal dari para tenaga kesehatan.
"Meski sudah menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) dengan zonanya masing-masing, buktinya masih banyak tenaga kesehatan yang terpapar COVID-19. Kami tetap mengimbau seluruh rumah sakit baik rujukan atau bukan untuk menggunakan APD, tapi rapid test menjadi salah satu cara," jelasnya saat dihubungi IDN Times, Selasa (23/6).
5. Alat rapid test berasal dari sumbangan dan pengadaan

Dodo menjelaskan, dari sekitar 60 rumah sakit di Kota Surabaya, 20 di antaranya adalah rumah sakit rujukan COVID-19. Namun rumah sakit non rujukan pun kini juga sudah menyediakan rapid test sebagai screening awal. Pasalnya, rumah sakit non rujukan selama beberapa minggu ini telah membantu merawat luapan pasien COVID-19 yang tak tertampung di rumah sakit rujukan.
"Sekitar tiga minggu lalu kan rumah sakit rujukan overload semua. Rumah sakit non rujukan itu membantu merawat karena mereka juga sudah menambah ruang isolasi khusus. Contonnya RSI A Yani itu belum rujukan," ungkapnya.
Alat rapid test yang digunakan oleh para rumah sakit ini berasal dari dua sumber yaitu bantuan/sumbangan dan pengadaan. Bantuan atau sumbangan bisa berasal dari Pemkot Surabaya maupun dari sumber lain. Sumbangan ini pun diberikan kepada rumah sakit rujukan maupun non rujukan. Jika menggunakan alat rapid test, Persi sudah menekankan agar rumah sakit tidak menarik biaya ke pasien.
"Contohnya di RS Husada Utama itu cuma bayar sekitar Rp100 ribu. Ini bukan biaya alat rapid test-nya, tapi untuk mengganti alat-alat lain seperti jarum, alkohol, sarung tangan, dan lain-lain," sebutnya.
6. Beberapa RS swasta sudah bisa uji lab PCR mandiri

Namun Dodo tak menampik jika mereka juga memimpikan screening awal menggunakan tes swab PCR. Namun, impian itu rasanya susah terwujud dalam waktu dekat. Musababnya, hasil dari PCR terlalu lama lantaran minimnya laboratorium. Di Surabaya sendiri hanya ada beberapa rumah sakit yang memiliki laboratorium PCR seperti RS Premiere, National Hospital, dan RS Siloam. RS Premiere, National Hospital, dan RS Siloam.
"Dengan RS swasta punya lab sendiri, maka penanganan akan lebih cepat. Selain itu ini juga membantu lab PCR agar tidak overload," sebutnya. Persi juga disebut akan membantu mencarikan sumbangan alat PCR yang disesuaikan dengan kriteria Gugus Tugas Pusat.
"Menerima sumbangan alat itu tidak gampang, kita harus sesuaikan. Tapi yang pasti Persi mendukung upaya penuntasan COVID-19 di Kota Surabaya dengan peningkatan kapasitas laboratorium PCR," pungkasnya.