Surabaya, IDN Times - Seorang lelaki berusia senja sedang duduk di kursi tengah ruang perpustakaan. Dia terlihat rapi dengan kemeja putih dan celana panjang. Sesekali ia membetulkan posisi kacamata sembari membaca surat kabar yang ada di depannya.
"Ayo masuk, diisi dulu buku tamunya," sahutnya waktu mengetahui kedatanganku ke Perpustakaan Medayu Agung di Medokan Sawah, Surabaya, Kamis (15/8).
Ternyata dia adalah Oei Hiem Hwie atau yang lebih dikenal dengan Pak Hwie. "Oh Pak Hwie ya?" tanyaku. "Iya, kamu yang kemarin ke sini tapi gak ketemu saya ya," tanyanya balik. "Iya Pak Hwie, saya kemarin ke sini," jawabku.
Tak menunggu waktu lama, aku dipersilakan duduk di seberang kursi miliknya. Kami pun berhadap-hadapan lantas membuka kenangan yang telah lama dirawat oleh Hwie. Dengan seksama, aku menikmati cerita yang dituturkan pria berusia 84 tahun ini.
Saat proklamasi dideklarasikan, usia Hwie memang baru 10 tahun. Namun, jalan yang ditempuhnya sebagai jurnalis membawanya bertatap muka dengan Sang Proklamator dalam sebuah sesi wawancara khusus 19 tahun kemudian.