Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IMG-20251231-WA0008.jpg
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dan Habib Syech dalam Doa Bersama akhir tahun 2025. Dok. Pemprov Jatim.

Intinya sih...

  • Pemprov Jatim meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi potensi cuaca ekstrem di awal tahun 2026.

  • Intensitas hujan di Jatim diprediksi naik tiga kali lipat pada Januari 2026, mencapai 58 persen.

  • Pemprov Jatim melakukan langkah mitigasi berbasis sains dan penguatan koordinasi lintas lembaga kebencanaan untuk menghadapi potensi bencana hidrometeorologi.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Surabaya, IDN Times – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur (Jatim) meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi potensi cuaca ekstrem yang diprediksi meningkat memasuki awal tahun 2026. Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa menegaskan, langkah mitigasi dilakukan secara terukur melalui pendekatan ilmiah sekaligus penguatan koordinasi lintas lembaga kebencanaan.

Khofifah mengungkapkan, berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), intensitas hujan di Jatim sepanjang Desember 2025 baru mencapai sekitar 20 persen. Angka tersebut, kata dia, sudah termasuk hasil dari Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) yang dilakukan Pemprov Jatim bersama pemerintah pusat.

“Sesungguhnya hujan di Jawa Timur bulan Desember baru sekitar 20 persen. Itu pun sudah dibantu dengan modifikasi cuaca agar intensitas hujan tidak terlalu deras di satu titik,” ujar Khofifah dalam acara Selawat dan Doa Bersama di Islamic Center Surabaya, Selasa (30/12/2025) malam.

Ia menjelaskan, potensi hujan diperkirakan meningkat signifikan pada Januari 2026 hingga mencapai 58 persen atau hampir tiga kali lipat dibandingkan Desember. Sementara pada Februari, intensitas hujan diproyeksikan berada di kisaran 22 persen.

“Untuk Desember ini, kami melakukan OMC dengan menabur garam di atas laut dan kapur ketika awan sudah masuk daratan. Tujuannya agar hujan tetap turun, tetapi tidak ekstrem,” jelasnya.

Menurut Khofifah, Pemprov Jatim terus mengoptimalkan kebijakan mitigasi berbasis sains untuk menekan risiko bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor. Namun demikian, tidak semua potensi bencana dapat dikendalikan dengan teknologi. “Hujan masih bisa dikendalikan secara scientific lewat OMC. Tapi angin kencang, puting beliung, hingga gempa, sampai hari ini belum ada teknologi yang bisa memodifikasinya,” tegasnya.

Ia mencontohkan, hasil koordinasi terbaru dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Basarnas, dan BMKG di Banyuwangi menunjukkan bahwa hingga kini belum ada metode ilmiah untuk memprediksi atau memodifikasi arah dan kekuatan angin secara presisi. “Kemarin kami ke Banyuwangi bersama BNPB, Basarnas, dan BMKG. Untuk modifikasi angin belum ditemukan teknologinya,” katanya.

Karena itu, selain langkah mitigasi teknis, Khofifah menekankan pentingnya kesiapsiagaan non-teknis, termasuk penguatan kewaspadaan masyarakat dan kesiapan seluruh perangkat daerah. Pemprov Jatim, kata dia, terus mendorong sinergi antara pemerintah daerah, aparat kebencanaan, dan masyarakat dalam menghadapi potensi bencana.

“Setelah ikhtiar secara profesional dan scientific dilakukan, maka ikhtiar berikutnya adalah kesiapsiagaan sosial dan spiritual. Doa menjadi penguat agar keselamatan dan perlindungan selalu menyertai Jawa Timur,” katanya.

Sebagai bagian dari penguatan kebijakan kebencanaan, Pemprov Jatim juga memastikan koordinasi lintas sektor tetap siaga, terutama memasuki puncak musim hujan awal tahun. Langkah ini meliputi kesiapan personel, peralatan, hingga sistem peringatan dini di daerah rawan bencana.

Khofifah berharap, kombinasi antara kebijakan mitigasi berbasis sains, kesiapsiagaan struktural, serta kebersamaan masyarakat dapat meminimalkan dampak cuaca ekstrem di Jawa Timur. “Mudah-mudahan ikhtiar ini menjadi cara kita menjaga keselamatan masyarakat, menjaga Jawa Timur tetap aman, dan memasuki 2026 dengan kesiapan yang lebih baik,” pungkasnya.

Editorial Team