Handoko, Korban Tragedi 65 yang Pasrah dengan Keadaan

Surabaya, IDN Times - Masih jelas tercetak di benak Handoko (67), ketika dua truk aparat militer mengangkutnya pada tahun 1971. Handoko yang kala itu masih berusia 19 tahun dianggap terlibat dalam Partai Komunis Indonesia. Namun Handoko beruntung, ia selamat dari pemancungan sembari membawa kenangan kelam hingga kini.
1. Handoko merupakan korban 65

Handoko menceritakan, saat itu ia hanyalah remaja pria yang tak tahu apa-apa. Ia sedang berkumpul bersama kerabatnya di Mojokerto ketika tiba-tiba puluhan aparat militer menggeruduk rumahnya dan serta merta menyeretnya. Handoko yang tak tahu apa-apa pun menurut saja dibawa ke Surabaya.
"Saya waktu itu sendirian. Saya gak punya jaringan atau organisasi apa-apa. Tapi saya dipukuli terus disuruh ngaku. Jadi saya bilang suruh tulis apa saja terserah mereka nanti saya tanda tangani," kenang Handoko usai menghadiri Pertemuan dan Silaturahmi Korban 65 se-Jatim di Surabaya, Sabtu (22/6).
Usai ditangkap, Handoko pun dikurung di Nusa Kambangan dan diasingkan di Pulau Buru hingga tahun 1979. Ia menjalani hukuman atas hal yang ia tak mengerti tanpa melalui proses hukum yang adil.
2. Mendapatkan intimidasi dari pemerintahan dan militer

Namun Handoko beruntung. Ia bisa lepas dan melanjutkan kehidupannya. Sembari menyandang status sebagai mantan tahanan, Handoko menikah hingga dikaruniai 3 orang anak. Meski kehidupannya nampak normal, ia masih kerap mendapat intimidasi atas masa lalunya.
"Waktu itu saya dipanggil dari pihak kelurahan, kecamatan, sama Koramil. Ditanya habis kumpul-kumpul apa. Makanya teman-teman di Surabaya ini trauma gak mau kumpul-kumpul lagi," jelasnya menceritakan.
3. Tak ingin perjuangkan haknya melalui jalur hukum

Handoko memang merasa hak-haknya sebagai manusia telah dirampas begitu saja oleh pemerintahan saat itu. Bukannya tak ingin memperjuangkan, ia lebih memilih pasrah dan memperbaiki kehidupannya saat ini.
"Pernah ada orang tanya kenapa saya gak pakai pengacara saja? Memangnya ada pengacara yang mau bantu saya? Gak akan ada," tuturnya.
Ia pun kini lebih memilih berada di samping korban-korban 65 lainnya melalui Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65). Ia memperjuangkan hak-hak lain milik para korban seperti layanan pemulihan trauma dan fasilitas kesehatan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
4. Merasa masyarakat di sekitarnya sudah bisa menerimanya

Meski dengan masa lalunya yang pernah diasingkan hingga dicap sebagai PKI, namun Handoko bersyukur masyarakat di sekitarnya dapat menerimanya dengan baik. Ia menjalani kehidupan di usia senjanya dengan damai.
"Kalau dari warga saya kira tidak. Warga kampung bisa menerima. Saya juga aktif di kampung, di RT di RW, ikut arisan, pengajian," ungkapnya.
Ia pun berharap, masyarakat lain dapat berperilaku seperti tetangga di sekitarnya dengan menghormati korban 65 lain dan tidak melakukan intimidasi.