Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
FK Unair saat tanda tangan kerjasama dengan ESQ 165 untuk cegah bullying dan stres calon dokter. (IDN Times/Khusnul Hasana)

Surabaya, IDN Times - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) manargetkan nol kasus bullying atau perundungan, stres dan depresi. Untuk mencapai itu,  FK Unair mulai membekali mahasiswa dengan kecerdasan emosional dan spirital atau ESQ 

Seperti diketahui, hasil skrining Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terhadap 12.121 peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), 22,4 persen menunjukkan gejala depresi. Unair masuk dalam salah satu kampus yang diinvestigasi oleh Kemenkes terkait kasus perundungan. 

Dekan FK Unair, Prof Budi Santoso mengklaim, saat ini tingkat stress di FK Unair masih aman terkendali dan dalam batas wajar.  "Hanya saja kita mengacu pada penelitian yang sempat dilakukan yaitu 22,4 persen (peserta PPDS alami stres), Insyaallah kita tidak segitu, aman-aman saja, kalau (stress, karen) salah jurusan kita bisa memfokuskan," ungkapnya.

 Untuk mencegah kasus perundungan, depresi dan stres pada mahasiswa, pihaknya bersama dengan RSUD dr Soetomo telah telah melakukan upaya pendekatan secara preventif dan preemtif. Salah satunya menyediakan unit konsultasi. 

"Kita dari FK Unair dan RSUD dr Soetomo sudah membuat bagaimana penanganan kalau ada bullying, depresi, dan kita sudah membuat unit konsultasi yang berkaitan dengan masalah stres dan depresi," ujar Budi Santoso saat konferensi pers, Sabtu (5/10/2024).

Selain itu, FK Unair merasa bahwa pihaknya perlu memberikan kecerdasan emosional dan spiritual kepada mahasiswanya. Dalam hal ini, FK Unair bekerjasama dengan ESQ 165. 

"Kami menggandeng ESQ ini untuk tindakan preventif, selain yang sudah baku, yang kami miliki, sehingga nanti lulusan FK Unair, selain unggul di pengetahuan juga mempunyai keunggulan pengendalian di bidang emosional," pungkas dia.

Sementara itu, Founder ESQ 165, Ary Ginanjar Agustian mengatakan, ia telah memperkirakan sejak seperempat abad lalu bahwa masalah kesehatan mental bakal meningkat. Menurutnya, kecerdasan intelektual saja tak cukup untuk menjalankan profesi apapun, termasuk dokter, dalam hal ini dibutuhkan kecerdasan emosional dan spiritual. 

"Kecerdasan intelektual adalah kemampuan untuk mengelolah logika, akademik, tetapi kecerdasan emosional mengelolah rasa ketika dia bergaul dan bersosialisasi. Sedangkan kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi arti atau memberi makna," ungkap dia. 

Ary menyebut, berdasarkan riset yang ada, seseorang yang tidak punya kecerdasan spiritual maka, kemungkinan depresinya 4 kali lebih tinggi dibandingkan yang punya kecerdasan spiritual.

" Tapi yang punya kecerdasan spiritual, dia 3,8 kali lebih kuat, ketika dia menghadapi tekanan-tekanan mental atau dalam pekerjaan," jelasnya.

Untuk itu, Ary pun mengapresiasi FK Unair yang telah merespon dengan cepat masalah kesehatan mental. FK Unair disebut sebagai fakultas kedokteran pertama yang tanggap terhadap masalah ini. 

"Yang saya ingin beri acungan jempol, FK Unair menjadi Universitas di Indonesia bahkan Fakultas pertama yang merespon dengan cepat memberi jawaban solutif untuk mengatasi masalah ini," kata dia. 

Setidaknya ada empat strategi yang diusulkan ESQ 135 kepada FK Unair untuk mencegah tingkat stress. Pertama, peningkatan kecerdasan spiritual yang terbukti akan memberi kekuatan 3,8 kali lipat untuk menahan tekakan depresi. 

"Kedua, memastikan mahasiswa atau calon dokter spesialis dia bisa menemukan tiga E, easy, supaya dia bekerja dengan mudah, kemudian enjoy, dan exellent. Untuk mendapatkan tiga itu, maka kita harus mampu membaca talenta setiap dokter," kata dia. 

Kemudian ketiga, culture fit, calon dokter harus fit atau merasa sehat dengan kultur kedokteran. Atas hal ini, dokter akan dibekali bimbingan untuk memastikan calon dokter memiliki job fit

"Kalau jurus pertama, kedua dann ketiga masih belum cukup maka masih ada benteng ketiga yakni grounds mindset, yaitu kemampuan merespon dengan positif apapun yang terjadi dan tekanan seberat apapun," jelasnya. 

Jika beberapa hal yang disebutkan Ary tersebut ternyata belum mampu menurunkan tingkat stres, maka pihaknya akan membentuk tim kuratif. Tim ini akan membimbing dosen atau pengajar untuk mengatasi masalah secara manusiawi. 

"Kita bentuk tim kuratifnya, yaitu kemampuan dosen pembimbing untuk melakukan coaching untuk mampu mengatasi masalah dengan manusiawi, yaitu tidak dengan melakukan tekanan dan kemarahan, tapi dia mampu mengatasi masalah dengan mendengar dan bertanya," pungkas dia. 

Editorial Team