Sumenep, IDN Times - Fakultas Psikologi Universitas Airlangga gencar memberikan literasi digital kepada generasi Z (Gen Z). Hal itu sebagai peredam ancaman brain rot atau pembusukan otak digital yang belakangan menjadi perhatian serius di kalangan pendidik dan psikolog.
Istilah tersebut merujuk pada sebuah kondisi ketika seseorang kehilangan kemampuan fokus, refleksi, dan berpikir mendalam akibat terlalu sering mengonsumsi konten digital cepat seperti video pendek dan media sosial. Dalam konteks remaja, fenomena ini berdampak pada penurunan motivasi belajar dan munculnya kebiasaan instan dalam berpikir maupun bertindak.
Dr. Nur Ainy Fardana, dosen Fakultas Psikologi Unair mengatakan, brain rot bukan sekadar istilah viral, tetapi fenomena nyata yang mengubah cara kerja otak manusia, terutama pada masa remaja yang sedang berkembang.
"Otak remaja sangat plastis. Ketika terlalu sering menerima konten cepat dan dangkal, ia menjadi terbiasa mencari stimulasi instan dan kehilangan kemampuan untuk bertahan dalam proses berpikir mendalam. Inilah akar dari brain rot," ujarnya dalam sebuah kesempatan mengisi ateri di acara Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) di SMP Plus Miftahul Ulum, Tarete, Kabupaten Sumenep, Madura, Jumat dan Sabtu, 24 – 25 Oktober 2025, lalu.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya literasi digital bukan hanya dalam aspek teknis, tetapi juga dalam aspek emosional dan etika. "Hal ini penting agar remaja mampu menjadi pengguna aktif, kritis, dan bertanggung jawab di dunia digital," terangnya.
Kegiatan yang Diikuti oleh 445 siswa serta para guru sekolah itu, sekaligus diberikan sosialisasi, psikoedukasi, dan pelatihan literasi digital yang aplikatif bagi siswa SMP. Dosen Fakultas Psikologi Unair Dr. Nono Hery Yoenanto, juga ikut memberikan meteri kepada siswa untuk belajar membedakan antara digital fatigue dan digital engagement, serta menemukan strategi sederhana untuk menjaga keseimbangan antara dunia maya dan dunia nyata.
"Teknologi itu netral. Yang penting bukan sekadar berapa lama kita menggunakannya, tetapi bagaimana kita menyikapinya. Mengatur waktu, memahami batas, dan tetap berinteraksi secara sosial adalah kunci kesehatan digital," imbuh Pak Nono, sapaan akrabnya.
Respons dari para peserta menunjukkan antusiasme tinggi. Banyak siswa mengaku baru menyadari bahwa kebiasaan mereka menonton video pendek berjam-jam atau bermain media sosial ternyata dapat memengaruhi kemampuan konsentrasi dan daya ingat. Beberapa siswa bahkan menyampaikan keinginan untuk mulai menerapkan 'diet digital' dan lebih selektif dalam memilih konten yang dikonsumsi.
"Sekarang saya sadar, ternyata bukan hanya tubuh yang butuh istirahat, tapi juga otak dari dunia digital. Saya ingin mulai belajar pelan-pelan untuk lebih fokus dan tidak tergantung pada ponsel," ujar salah seorang siswa yang hadir dalam acara tersebut.
Tidak hanya menyasar siswa, tim Fakultas Psikologi Unair juga memberikan panduan kepada guru dan tenaga pendidik tentang pendampingan psikologis bagi remaja di era digital serta strategi menciptakan budaya literasi digital yang sehat di sekolah. Guru diajak untuk mengenali tanda-tanda digital fatigue pada siswa serta memahami cara membangun lingkungan belajar yang seimbang antara pemanfaatan teknologi dan interaksi sosial langsung.
Melalui kegiatan ini, Fakultas Psikologi Unair menegaskan komitmennya untuk terus hadir di tengah masyarakat dengan membawa ilmu yang aplikatif dan relevan guna membangun generasi muda yang tangguh, kritis, dan cerdas digital. Pengabdian kepada masyarakat tidak hanya menjadi bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, tetapi juga sarana nyata untuk menjembatani hasil riset dengan kebutuhan sosial.
"Di tengah derasnya arus hiburan instan dan distraksi digital, kegiatan seperti ini menjadi penting untuk menanamkan kesadaran literasi digital sejak dini. Edukasi yang dilakukan secara berkelanjutan diyakini mampu membentuk generasi muda yang tangguh, reflektif, dan bijak dalam berteknologi," tegas Bu Neny.
