Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Times/Ardiansyah Fajar.
Wagub Jatim Emil Elestianto Dardak saat diwawancara di Gedung Negara Grahadi. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Intinya sih...

  • Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebut ada dana Rp6,8 triliun milik Pemprov Jatim yang masih mengendap di bank.

  • Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak meminta seluruh pemerintah daerah di Jatim untuk bersikap transparan dan membuka data keuangannya kepada publik.

  • Emil menampik anggapan bahwa pemerintah daerah sengaja menahan dana untuk mendapatkan keuntungan dari bunga bank. Ia memastikan tidak ada motif ekonomi di balik saldo kas daerah yang tinggi.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Surabaya, IDN Times - Sorotan tajam datang dari pemerintah pusat terhadap Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyebut ada dana sebesar Rp6,8 triliun milik Pemprov Jatim yang masih mengendap di bank. Menyikapi hal ini, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak meminta seluruh pemerintah daerah di Jatim untuk bersikap transparan dan membuka data keuangannya kepada publik.

Sebagai informasi, dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah 2025 di Kantor Kemendagri, Jakarta, Senin (20/10/2025) lalu, Menkeu Purbaya menyoroti praktik sejumlah daerah yang menumpuk uang di perbankan. Berdasarkan data Bank Indonesia per 15 Oktober 2025, tercatat 15 daerah menyimpan dana besar di bank, dengan DKI Jakarta di posisi pertama sebesar Rp14,683 triliun, disusul Jawa Timur dengan Rp6,8 triliun.

Menanggapi hal itu, Emil menilai kritik pemerintah pusat harus dijadikan momentum untuk memperbaiki tata kelola dan pelaporan keuangan daerah. “Saya minta pemprov, pemda buka-bukaan aja. SiLPA-nya tuh karena apa? Lebih baik begitu, daripada publik nanti berpikir bahwa pemerintah ini mengabaikan pembayar pajak,” tegas Emil.

Menurutnya, keterbukaan ini penting agar publik memahami alasan di balik munculnya Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) yang kerap menimbulkan persepsi negatif. Emil menjelaskan bahwa tingginya SiLPA tidak selalu berarti pemerintah tidak menyerap anggaran, melainkan karena mekanisme keuangan daerah berbeda dengan pusat.

"Kenapa sih SiLPA? Karena daerah juga kadang punya alasannya sendiri. Misalnya, ‘Pak, SiLPA tuh karena dananya datang di akhir tahun’, sedangkan aturan keuangan daerah itu tidak seperti keuangan pusat,” imbuhnya.

Emil menjelaskan, dana yang baru turun di akhir tahun anggaran hanya dapat dianggarkan dalam Perubahan APBD (P-APBD), bukan dalam APBD murni. Kondisi itu membuat seolah-olah dana masih mengendap, padahal telah digunakan di lapangan.

“Dana yang keluar di akhir tahun baru bisa dianggarkan di perubahan APBD. Jadi di APBD murninya kesannya SiLPA. Padahal dana tersebut sudah terpakai,” katanya.

Mantan Bupati Trenggalek ini juga mengakui bahwa fenomena tingginya SiLPA bukan hal baru. Bahkan, sejak masa jabatan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, rata-rata 38 kabupaten/kota di Jatim memang mencatatkan angka SiLPA yang cukup tinggi.

“Makanya, semua ayo dibuka, biar semua juga tahu apakah betul tidak terserap atau ada perubahan pendapatan di ujung tahun, yang akhirnya hanya bisa dicatat SiLPA. Mending dibuka dengan jelas agar warga tahu,” kata Emil.

Emil pun menampik anggapan bahwa pemerintah daerah sengaja menahan dana untuk mendapatkan keuntungan dari bunga bank. Ia memastikan tidak ada motif ekonomi di balik saldo kas daerah yang tinggi.

“Karena siapa yang untung juga nyimpan-nyimpan uang di bank? Pemda enggak untung, ngapain ngambil untung dari situ? Justru nanti kalau ekonomi nggak mutar, PAD-nya yang mandek. Betul kata Pak Menkeu, buat apa? Tugas pemda bukan nabung,” pungkasnya.

Editorial Team