Surabaya, IDN Times - Ketua DPRD Jawa Timur (Jatim), Musyafak Rouf, menilai kebijakan pemerintah pusat memangkas Dana Transfer ke Daerah (TKD) untuk Jawa Timur sebagai keputusan yang tidak berpihak pada daerah produktif. Ia mendesak Menteri Keuangan untuk meninjau ulang kebijakan tersebut, karena dampaknya dianggap bisa menekan kemampuan fiskal daerah hingga mengganggu pelayanan dasar masyarakat.
Diketahui, alokasi TKD untuk Pemprov Jatim dipangkas Rp2,8 triliun, sementara untuk kabupaten/kota se-Jatim dikurangi lebih besar lagi, yakni Rp17,5 triliun. "Kita berharap Menteri Keuangan meninjau kembali atau mengevaluasi pengeprasan dana TKD ke Jatim. Baik yang untuk Pemprov Jatim maupun ke Pemkab/Pemkot di Jatim,” ujar Musyafak, Senin (20/10/2025).
Menurutnya, TKD adalah tulang punggung fiskal daerah. Pemangkasan ini berpotensi menghantam langsung program prioritas nasional dan daerah yang digerakkan melalui APBD. “Dana TKD ini sangat krusial dan diandalkan daerah untuk pembangunan. Kalau ada pemangkasan, dan apalagi ini besar nilainya, tentunya akan berdampak pada pembangunan dan juga layanan pada masyarakat,” imbuhnya.
Politisi PKB ini menegaskan, ironi fiskal ini terjadi justru ketika daerah tengah diminta memperkuat dukungan terhadap program strategis nasional Presiden Prabowo Subianto, seperti ketahanan pangan, Makan Bergizi Gratis, dan Koperasi Merah Putih. Semua program itu memerlukan dukungan APBD yang sehat dan likuid.
Tak hanya itu, Musyafak menyoroti kondisi keuangan Pemprov Jatim yang sudah lebih dulu tergerus oleh kebijakan opsen pajak kendaraan bermotor sesuai UU Nomor 1 Tahun 2022, yang membuat porsi penerimaan provinsi turun menjadi hanya 40 persen dari total pajak kendaraan.
"Semua daerah sedang berjuang meningkatkan PAD. Terutama Pemprov Jatim, yang kini terimbas kebijakan opsen pajak sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022. Yang mana pemprov hanya dapat 40 persen dari perolehan pajak kendaraan bermotor. Artinya kita kehilangan Rp4,8 trilliun,” tegasnya.
Dengan tambahan pemangkasan TKD sebesar Rp2,8 triliun, maka total potensi kehilangan pendapatan Pemprov Jatim mencapai hampir Rp7,6 triliun. Berdasarkan data, TKD Jatim pada 2024 sebesar Rp11,4 triliun, namun tahun 2026 hanya akan Rp8,8 triliun atau turun 24,21 persen.
Musyafak menilai, jika kebijakan ini tidak dikoreksi, dampaknya akan terasa langsung ke sektor publik vital seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. "Meski itu sudah ada mandatory spending-nya. Tapi kalau anggarannya memang terbatas, bukan tidak mungkin imbasnya juga akan mengurangi belanja di sektor strategis khususnya pendidikan, kesehatan, dan juga infrastruktur,” tegasnya.
"Kalau sampai itu terjadi tentu yang menjadi korban adalah masyarakat. Kami sangat tidak ingin hal itu terjadi,” lanjutnya.
DPRD Jatim berencana melakukan lobi politik ke pemerintah pusat untuk memperjuangkan revisi kebijakan ini, termasuk membuka peluang menaikkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) dari 3 persen menjadi 10 persen sebagai kompensasi fiskal bagi Jatim.
"Kita akan bicarakan ke pusat, baik nilai pemangkasan TKD maupun opsi lain yang mungkin bisa diambil,” pungkasnya.