Ilustrasi hukum dan undang-undang (IDN Times/Sukma Shakti)
Sementara itu, Kuasa Hukum terdakwa RH, Freddy Andreas Caesar menilai, dalam menegakkan hukum sudah seharusnya memegang teguh prinsip obyektifitas.
"Jika fakta yang tersaji di persidangan kurang cukup bukti, unsur-unsurnya lemah, ya jangan dipaksakan dituntut berat," ujarnya.
Dia juga menilai terkait fakta yang muncul dalam persidangan juga terdapat prosedur yang tidak sesuai.
"Misalnya pernyataan ahli psikiater. Ternyata pemeriksaan terhadap saksi korban tidak sesuai dengan prosedur seperti diatur dalam Permenkes. Surat yang dicantumkan dalam BAP adalah surat keterangan psikiater, bukan visum et repertum psyciatricum," katanya.
"Padahal sudah jelas dan tegas untuk kepentingan penegakan hukum sudah pasti harus Visum et Repertum Psyciatricum sesuai aturan Permenkes no 77 tahun 2015," tambahnya.
RH disebut melanggar pasal 82 UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak karena korban masih keponakan yang harusnya mendapat perlindungan dan pasal 45 UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Sidang akan berlanjut pada 4 November 2021, dengan agenda pembelaan dari penasehat hukum terdakwa.
Kasus RH terungkap sejak April 2021. Berawal dari curhatan korban di media sosial dan terungkap setelah mendapat respons dari orangtuanya.
Ibu korban kemudian melaporkan kejadian yang menimpa anaknya ke Polres Jember pada Minggu 28 Maret 2021.
Kasus ini telah dikawal LBH Jentera, Lembaga Pers Mahasiswa Imparsial, Pusat Studi Gender (PSG) Unej , dan Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) dibawah naungan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Jember