Tak hanya upacara dan tradisi musik yang dipertahankan. Bangunan rumah-rumah penduduk pun masih berbentuk rumah kuno adat Osing. Terdapat 10 bangunan yang saling berhadap-hadapan di desa ini. Saya menghampiri salah satu rumah milik Sutris (63) yang sedang duduk di depan rumah menikmati rokok dari cerutunya.
Pria ini terlihat asyik mengembuskan asap rokok dari bibirnya sembari mengamati para wisatawan yang sedang berkunjung dari balik pagar kayunya. "Monggo (silakan) masuk saja," sapanya ramah.
Rumah seluas 7x12 m terbuat dari kayu yang dilapisi pernis. Tidak ada unsur warna lain selain coklat alami dari kayu dan warna putih dari lantai keramik. Di atas daun pintu terdapat ukiran-ukiran yang bermacam-macam. Sedangkan rumah milik Sutrisno berukir tulisan Basmalah dalam Bahasa Arab. Tak ada makna khusus dari ukiran tersebut. "Saya cuma pasang itu biar bagus," tuturnya.
Ketika memasuki rumah yang dindingnya menggunakan gedek atau anyaman bambu tersebut, aku menemukan dua foto anak kecil berukuran besar yang dipajang di pigura. Sutris mengatakan bahwa 3 bocah penari Gandrung dalam foto itu merupakan cucunya. Selain itu, dua kamar di rumah ini menggunakan kayu triplek sebagai pembatas. Sutris pun menyuguhkan makanan tradisional yaitu Bagia yang terbuat dari tepung terigu serta Ketot yang merupakan makanan olahan dari beras ketan.