Surabaya, IDN Times - Tak ada angin tak ada hujan, calon wakil presiden Sandiaga Uno tiba-tiba mendapat predikat santri. Padahal, jika dilihat dari riwayatnya, Sandiaga tak pernah sekalipun mencicipi pendidikan pesantren. Daripada seorang santri, Sandiaga justru lebih terkenal sebagai pengusaha sukses.
Polemik ini bermula sejak Sabtu (9/8) malam, ketika koalisi Prabowo Subianto, Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN), mengumumkan Sandiaga Salahuddin Uno sebagai pendamping calon wakil presidennya.
Terpilihnya Sandiaga memang penuh dengan drama. Sebelumnya, Ijtima Ulama yang berlangsung pada Minggu (29/7) meminta Prabowo agar memilih representasi ulama atau kelompok Islam sebagai pendampingnya. Adapun dua nama yang direkomendasikan adalah Ustaz Abdul Somad dan Salim Segaf Al Jufri.
Alih-alih memilih dua nama di atas, pentolan Gerindra itu justru memunculkan sosok “ulama” baru yang dipilihnya untuk melawan petahana Joko “Jokowi” Widodo, yaitu Sandiaga. Figur keulamaan Sandiaga semakin kuat setelah sambutan Presiden PKS, Sohibul Iman, menyebutnya sebagai santri era post-Islamisme.
“Alhamdulillah kami menemukan saudara Sandiaga Salahuddin Uno sebagai pasangannya. Mungkin beliau dalam kacamata kita selama ini tidak terkategori sebagai santri, tetapi saya kira beliau adalah seorang yang memang hidup di alam modern, tapi beliau mengalami proses spiritualisasi dan Islamisasi. Sehingga saya bisa mengatakan Sandi adalah sosok santri di era post-Islamisme,” beber Sohibul yang kemudian disambut takbir oleh para hadirin.
Tepat pada Hari Santri Nasional, IDN Times ingin kembali menyajikan apakah itu santri era post-Islamisme? Apa yang membedakannya dengan santri pada umumnya? Yuk simak ulasannya.