Ilustrasi mahasiswa mengerjakan tugas (freepik.com/yanalya)
Menurut Listiyono, adanya budaya instan dan timbulnya joki, membuat masyarakat menjadi menormalisasi kecurangan. Praktik joki, kata dia, juga menunjukkan kegagalan dalam transfer pengetahuan dan nilai dalam pendidikan. "Kultur akademik seharusnya bukan hanya tentang transfer pengetahuan tapi juga transfer nilai, termasuk etika akademik dan moralitas," tuturnya.
Ia menambahkan bahwa masyarakat saat ini lebih mengutamakan gelar sebagai simbol status sosial daripada kualitas intelektual yang sesungguhnya. "Ini adalah alarm bagi proses akademik di Indonesia. Kultur akademik kita belum terbentuk secara baik dalam mentransfer pengetahuan dan nilai," jelasnya. Ia menekankan bahwa pentingnya proses belajar yang dimulai sejak dini, dari SD hingga perguruan tinggi, untuk membentuk sikap dan etika akademik yang benar.
Listiyono mengatakan, pendidikan seharusnya memang jangan hanya mengacu pada pencapaian akademik semata. Semua yang bergelut dalam dunia pendidikan harus sadar bahwa ada nilai kejujuran dan integeritas yang harus dijunjung. "Gelar sarjana memang bisa diperjualbelikan tetapi intelektualitas gak bisa. Jadi orang yang menggunakan joki untuk mendapat gelar sarjana itu secara administratif memang dia menjadi sarjana, tetapi secara substantif dia gagal menjadi seorang intelektual."
Joki, kata Listiyono, sulit dibuktikan secara legal formal meskipun aturan terkait sudah jelas ada. "Jika ada orang yang selain rektual membuatkan orang lain, itu adalah moral kejahatan. Secara moral, itu tidak bisa dipertanggungjawabkan," ujarnya
Ia sendiri mengaku tidak pernah secara langsung menemukannya, tetapi kecurigaan selalu ada. "Saat sidang, bisa terlihat dari narasi mahasiswa. Jika tiba-tiba ada kemampuan yang luar biasa yang tidak pernah ditunjukkan sebelumnya, itu bisa mencurigakan," jelasnya.