Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Times/Vanny El Rahman

Nganjuk, IDN Times - Berjarak 90 kilometer dari pusat Kabupaten Nganjuk, terhampar 600 hektar lahan tanaman porang. Butuh waktu dua jam untuk mencapai wilayah tersebut. Jalan bebatuan kian menghambat waktu tempuh. Bila hujan deras mengguyur Nganjuk, bisa dipastikan genangan air di sela bebatuan menjadi “teman” perjalanan.   

Sedikit yang tahu bila Nganjuk memiliki “emas” di tengah hutan. Porang merupakan tanaman serba guna yang memiliki nilai jual tinggi. Potensinya baru terungkap sekitar 34 tahun silam.

“Budi daya porang sudah ada sejak 1985. Awalnya ini tanaman liar biasa sampai ada tengkulak yang datang minta dicarikan tanaman seperti ini. Mereka (para tengkulak) siap bayar segini segini untuk sejumlah porang,” kata Dudung Kuswanto yang merupakan petani porang sekaligus Kepala Desa Bendosari, Nganjuk, Minggu (10/3).

1. Porang telah diekspor ke berbagai negara

IDN Times/Vanny El Rahman

Kini, porang telah menjadi komoditi ekspor. Jepang menjadi salah satu negara yang rutin membeli porang dari Indonesia. Hanya saja, hasil jerih payah para petani belum dirasakan sepenuhnya. “Kultur masyarakat sini masih menjualnya dalam bentuk basah atau umbinya. Itu cuma Rp6000 per kilo,” lanjut dia.

Porang merupakan bahan dasar untuk berbagai campuran mulai dari tepung,  lem, bahan dasar uang kertas, isolator listrik, pengental sirup, penyerap komedo, hingga penjernih air. Bagi kesehatan tubuh, tumbuhan ini juga bermanfaat untuk mengurangi kadar kolesterol dan memiliki kandungan vitamin A dan B yang lebih tinggi daripada kentang.

“Nah, kalau jualnya dalam kondisi kering, itu sekitar Rp50 ribu per kilo mas. Untuk produk jadinya, saya pernah dengar dari Dinas Kehutanan itu sekitar Rp300 ribuan. Sampai enam kali lipat. Sementara kami hanya menjual ke tengkulak saja,” jelas Dudung. 

2. Minim perhatian pemerintah

IDN Times/Vanny El Rahman

Kendati potensinya luar biasa, lelaki yang sudah bertani porang sejak usia dini ini mengaku miris karena perhatian pemerintah yang sangat minim. Di usianya yang menginjak kepala empat, baru dua pejabat negara yang pernah mengunjungi hutan porang. 

“Dulu pernah Dahlan Iskan (Menteri BUMN 2011-2014) ke sini. Terus 10 tahun Pakde Karwo gak pernah, Gus Ipul pernah kami undang tapi gak datang. Nah sama baru sekarang ini, Ibu Khofifah ke sini,” ujar dia.

Dalam kunjungan kerjanya, Khofifah menjanjikan alat pemotong dan pengering kepada para petani. Dia berharap supaya petani bisa menjual porang dalam kondisi kering, sehingga mendapat keuntungan yang lebih besar.

“Ini janji saya bapak-ibu, PR saya untuk mencari prajang dan oven. Nanti akan koordinasi dengan Universitas Brawjiaya yang mempunyai teknologi itu. Nanti akan dicarikan oven yang cocok. Tentunya oven yang listrik, karena kalau oven kayu nanti malah pohon di sini yang ditebang,” jelas dia kepada para petani.

3. Potensi porang per hektar mencapai Rp2,5 miliar

IDN Times/Vanny El Rahman

Lahan 600 hektar milik Perhutani dikelola oleh warga dengan sistem bagi hasil. Setiap petani yang mengelola satu hektar lahan dibebankan harga Rp700-Rp800 ribu per tahun. Rentang waktu tanam dengan panen sekitar tiga tahun. Namun, karena masyarakat telah menebarkan bibit dalam jumlah besar, mereka sudah bisa memanennya setiap tahun.

“Panen terakhir satu hektar lahan sekitar 5 ton,” sahut Dudung. Bila 5 ton porang dijual kering, maka potensi keuntungan yang didapat warga adalah Rp2,5 miliar per tahun. Namun, bila mereka hanya menjual umbinya atau basah, potensi keuntungannya hanya Rp300 juta per tahun untuk setiap hektarnya.

Akan tetapi, para petani kini menghadapi masalah baru. Penyakit tanaman dan hama menyebabkan 75 persen hasil pertanian menurun. Mereka tidak memiliki keberanian untuk mengobati tanaman. “Kami khawatir malah semakin merusaknya."

4. Kunjungan Khofifah membawa harapan baru

IDN Times/Vanny El Rahman

Dudung menambahkan, “Kunjungan Ibu Khofifah ke sini pasti jadi harapan baru. Karena selama ini banyak penelitian dari universitas, ada beberapa kunjungan tapi belum ada follow up-nya. Bahkan Bappeda belum menjadikan ini sebagai komoditas ekspor,”

“Kami ingin value penjualan tanaman ini tinggi. Makanya kami berharap ada pendampingan, ada trainer. Supaya BUMDes lebih aktif lagi. Karena masalah utamanya adalah sumber daya manusia. Kami ini kan petani tradisional,” sambungnya.

Untuk menjaga harapan para petani porang, Khofifah ingin bekerja sama dengan Universitas Brawijaya agar memiliki tim yang khusus mengkaji soal porang. “Untuk masalah ini, saya akan tugaskan Kepala Dinas Kehutanan karena memang sudah dalam komitmen akan bertemu dengan tim dari Universitas Brawijaya. Saya berharap Universitas Brawijaya mengirim tim untuk kajian khusus porang, sehingga kita punya center of excellent untuk porang dan mengatasi masalah  petani,” tutup dia.

Editorial Team