13 Mei 2018, lima bom mengguncang Surabaya dan Sidoarjo. Ada 28 orang meregang nyawa, puluhan terluka. Melalui pengakuan saksi dan korban, kami mencoba menceritakannya kembali. Penuturan mereka menunjukkan bahwa apapun dalihnya, terorisme adalah kejahatan kemanusiaan dan tak selayaknya mendapat tempat di muka bumi.
Surabaya, IDN Times - Menjadi jemaat suatu gereja berarti mengabdikan hidup untuk melayani umat gereja tersebut. Begitulah keyakinan yang dianut oleh Aloysius Bayu Rendra Wardhana. Bayu telah menjadi relawan Gereja Santa Maria Tak Bercela sejak remaja hingga nafas terakhirnya yang terenggut pelaku bom bunuh diri.
Pagi itu, Minggu 13 Mei 2018, Bayu telah bersiap-siap pergi ke gereja. Tak biasanya ia mandi hingga dua kali. Setelah siap, Bayu mengantar istrinya, Monique Dewi Andini beserta kedua anaknya, Cornelius Aaron dan Allyssia ke rumah orang tua Bayu di Jalan Kertajaya 1. Bayu pergi sendiri ke gereja untuk melakukan kegiatan relawan sementara Monique akan menyusul untuk ibadah misa di sore harinya.
Bayu sudah bersiap berjaga di pintu masuk selatan. Sebagai koordinator relawan penjaga, ia bertanggung jawab atas keamanan gereja selama jalannya ibadah. Ia pun duduk di pos satpam dan bercengkrama bersama satpam lainnya.
Sekitar pukul 07.10 WIB tiba-tiba penjagaan dikejutkan dengan adanya sepeda motor yang ditumpangi dua orang menyelonong masuk ke dalam gereja. Saat itu pagar gereja memang terbuka.
"Motornya tiba-tiba masuk. Mas Bayu yang punya inisiatif langsung loncat berdiri menghadang motor itu. Mau di suruh keluar soalnya bukan di situ tempat masuk motor," terang Budi Hartono, satpam gereja yang menjadi saksi mata.