Deklarasi tolak RUU Penyiaran oleh Aliansi Masyarakat Sipil di Maliki Plaza Kota Malang. (Dok. AJI Malang)
Dosen Hukum Universitas Islam Malang (Unisma), Muhammad Fachrudin menilai jika pembaruan RUU Penyiaran tidak melibatkan partisipasi publik. Padahal putusan Mahkamah Agung menurutnya harus melibatkan masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan atau meaningful participation. Sementara prosesnya dari Badan Legislatif (Baleg) DPR mengembalikan RUU Penyiaran kepada Komisi I DPR.
Sehingga Penyiaran menimbulkan kontroversi. Tak hanya tentang larangan jurnalistik investigasi, ada juga tumpang tindih dengan kewenangan Dewan Pers dalam menangani sengketa pers.
"RUU ini menyebabkan keberagaman konten dihapus, sehingga berpotensi menimbulkan praktik oligopoli media siaran. RUU Penyiaran juga menyasar platform digital siaran. Kreator konten juga diawasi, setiap konten harus lulus kelayakan siaran yang dikeluarkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)," terangnya saat dikonfirmasi pada Jumat (31/5/2024).
Pakar Hukum Tata Negara, Anwar Cengkeng juga menyoroti tidak dilibatkannya masyarakat sipil dalam RUU Penyiaran ini. Apalagi revisi UU ini mengancam kebebasan pers dan masyarakat dalam berpendapat.
"Ketika reformasi terlahir UU Pers, filosofi ini menjawab kebutuhan rakyat untuk dipenuhi haknya mendapat informasi. Pers adalah informasi untuk rakyat, dan kembali ke rakyat. RUU Penyiaran banyak yang bertentangan dengan UU Pers mulai pembentukan UU-nya. MK 91/2022 membentuk UU harus libatkan masyarakat," ucapnya.