Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
hujan turun
ilustrasi hujan turun (pexels.com/Nguyễn Hữu Nhã)

Intinya sih...

  • Ecoton temukan air hujan di Malang dan Kabupaten Malang terkontaminasi mikroplastik

  • Mikroplastik berasal dari pembakaran sampah oleh masyarakat, terbawa angin dan turun bersama air hujan

  • Pemerintah diminta membuat kebijakan pembatasan penggunaan plastik sekali pakai dan pemantauan jangka panjang

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Malang, IDN Times - Setelah menyampaikan jika sumber air di Kota Malang terpapar mikroplastik, Ecological Observation and Wetland Conservations (Ecoton) menyampaikan jika air hujan di Malang Raya juga terkontaminasi mikroplastik. Temuan ini menggegerkan masyarakat yang tidak tahu jika air hujan di Malang ternyata berbahaya.

1. Ecoton menyebutkan jika sampel hujan yang mengandung mikroplastik ada di Kota Malang dan Kabupaten Malang

Instalasi Kran Plastik dan Akuarium Bayi Meriahkan World Clean Up Day di Surabaya. (Dok. Ecoton)

Kepala Laboratorium Mikroplastik Ecoton, Rafika Aprilianti mengungkapkan jika ia telah melakukan penelitian sejak 7-9 November 2025. Ia mengambil sampel hujan di Kota Malang diantaranya Kelurahan Sudimoro, Kelurahan Gadang, Kelurahan Blimbing, dan Kelurahan Merjosari. Sementara di Kabupaten Malang, ia mengambil sampel di wilayah Singosari.

"Konsentrasi (mikroplastik) tertinggi ternyata ada di Kota Malang tepatnya di Blimbing, ada 98 partikel per liter. Yang terbanyak adalah partikel fiber sebesar 80 persen, kemudian sisanya filamen dan fragmen," terangnya saat dikonfirmasi pada Minggu (16/11/2025).

Ia menjelaskan jika fiber dihasilkan dari sisa dari pakaian bekas. Sementara filamen berasal dari kantong plastik atau plastik sekali pakai, dan fragmen dari pecahan plastik keras.

2. Air hujan bisa terkontaminasi mikroplastik karena masyarakat membakar sampah

Ilustrasi bakar sampah. (Pixabay/ualmafruhah)

Rafika menjelaskan alasan air hujan bisa terkontaminasi mikroplastik karena perilaku masyarakat yang mengolah sampah dengan cara dibakar. Partikel-partikel mikroplastik ini terbang terbawa angin hingga mengembun di atmosfer. Partikel ini kemudian kembali turun ke permukaan bumi dengan terbawa air hujan.

"Jadi saat masyarakat membakar sampah, partikel plastik mikroskopis ini naik ke udara bersama asap dan debu. Kami menyebut ini sebagai wet deposition atau saat udara tercemar menjadi medium baru sebagai penyebaran plastik," bebernya.

3. Pemerintah diminta segera menekan penggunaan plastik sekali pakai

Sejumlah aktivis lingkungan yang tergabung dalam Aliansi Komunitas Penyelamat Bantaran Sungai (Akamsi), Aksi Biroe dan Surabaya River Revolution menggelar aksi demonstrasi terkait produksi pabrik tahu Desa Tropodo yang menggunakan bahan bakar sampah plastik. (Dok. Ecoton).

Melihat situasi ini, Rafika menegaskan jika pengolahan sampah plastik dengan cara dibakar sangat berbahaya. Oleh karena itu, pemerintah didorong untuk segera membuat kebijakan yang konkrit. Ia mencontohkan dengan pembuatan Peraturan Daerah pembatasan penggunaan plastik sekali pakai.

"Selain itu, kita juga butuh pemantauan jangka panjang supaya pemerintah tahu di area mana saya yang paling kritis dan solusi apa yang paling efektif. Sehingga diharapkan pemerintah menggandeng universitas lembaga riset lokal untuk membantu upaya ini," pungkasnya.

Editorial Team