Warna-Warni LGBT di Surabaya: Dulu, Kini, dan Nanti

Mereka kian risau dengan masa depan

Surabaya, IDN Times- Sejak 1969, Gang Dolly dikenal sebagai “pujasera” jasa seks komersial Kota Surabaya. Banyak pelancong dari luar kota, atau bahkan penduduk sekitar, rela menerobos gang sempit yang berlokasi di Jarak dan Pasar Kembang, hanya untuk memuaskan nafsu birahinya. Selain harganya murah, variannya juga banyak. Tempatnya pun terbilang nyaman.

Sisi lain Surabaya tidak berhenti di situ. Kota seluas 350,54 kilometer per segi ini pernah dikenal sebagai “surganya” komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transender (LGBT). Bahkan, pada 2010, Surabaya sempat menjadi tuan rumah konferensi LGBT terbesar se-Asia. 

Sejumlah titik yang menjadi “monumen” LGBT di Surabaya antara lain, Makam Kembang Kuning, Taman Bungkul serta yang paling tenar tentu Gang Pattaya.

Kala malam menyapa, mereka yang dianggap “tidak normal” oleh orang kebanyakan berkumpul untuk sekadar bertegur sapa. Semakin gelap, beberapa aktivitas seksual pun berlangsung. Semak belukar dan tumpukan batu menjadi tameng utama mereka. Gelap malam menjadi saksi bisu.

Demonstrasi menolak LGBT

Warna-Warni LGBT di Surabaya: Dulu, Kini, dan NantiIDN Times/Galih Persiana

Setelah Dolly resmi ditutup pada Juni 2014 lalu, Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini ditantang untuk melakukan hal yang sama terhadap Gang Pattaya.

Ada dua momentum yang “mengganggu” ekosistem LGBT di Surabaya, yaitu penutupan Gang Dolly dan aksi tolak LGBT oleh Front Pembela Islam (FPI). Sejak komplek rumah bordil itu ditutup, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) semakin giat melakukan razia. Tidak ada barang sehari pun razia tidak dilakukan. Bahkan, sehari bisa menyisir lokasi yang sama hingga dua kali. 

IDN Times mengamati kehidupan malam di Makam Kembang Kuning. Komplek kuburan Cina ini dikenal sebagai prostitusi ilegal yang selalu menyediakan pemuas nafsu seks dengan harga murah, mulai dari Rp50 ribu hingga Rp150 ribu. Semuanya memanfaatkan bebatuan makam yang menjulang tinggi.

Tepat malam sabtu, sekitar pukul 10.00 WIB, belum tampak gambaran yang terbilang epik. Semakin malam, tepatnya pukul 02.00 WIB, suasana semakin ramai. Wangi parfum menandakan kehadiran mereka. Tidak lupa pakaian nyentrik dan bedak yang memenuhi wajah. Tentu Satpol PP sudah melakukan razia yang kedua. Para “penghuni” makam seolah tahu kapan mereka harus keluar.

Rose, salah seorang waria, menceritakan bagaimana penutupan lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara itu berdampak terhadap pendapatannya sehari-hari. “Sebelum Dolly ditutup, aku bisa dapet sampe Rp2 juta per malam. Sekarang, karena ada razia sehari dua kali, aku mangkalnya setelah razia kedua, sekitar jam tiga. Akhirnya cuma dapat Rp400 ribu,” ungkap dia.

Kemudian, pada Oktober 2018 lalu, FPI Surabaya menyerukan enam tuntutan terkait LGBT di Surabaya. Mereka risau karena Gang Pattaya seakan menjadi lokalisasi terselubung pasca ditutupnya Dolly. Beberapa kali mereka juga sempat melakukan razia sepihak.

"Ya sejak demo di depan Grahadi itu hampir setiap hari ada razia dari Satpol PP. Karena tuntutan masyarakat sih kelihatannya,” terang sekretaris GAYa Nusantara, Muhammad Rizky kepada IDN Times. “Dulu Pattaya itu rame, tapi sekarang gak ada lagi karena takut.”

IDN Times kemudian mendatangi Gang Pattaya yang berlokasi di dekat Plaza Surabaya pada malam Sabtu. Lokasinya tepat di tengah kota, sangat mudah untuk dijangkau. Ketika jarum jam menunjukkan 11.00 WIB, tidak terlihat ada aktivitas yang mencurigakan. Selang tiga jam kemudian, IDN Times mendapati lokasi tersebut dengan kehampaan yang sama. Pemandangan serupa juga IDN Times dapati di Taman Bungkul.

Pemkot Surabaya memandang LGBT adalah penyandang PMKS

Warna-Warni LGBT di Surabaya: Dulu, Kini, dan NantiUnsplash/@___rob___

Kepala Satpol PP Kota Surabaya, Irvan Widyanto, mengakui bila kegiatan razia semakin berlipat. Sebut saja Gang Pattaya dan Makam Kembang Kuning menjadi titik yang paling sering disambanginya.

“Iya kami setiap malam selalu razia ya, kami tidak perbolehkan (beraktivitas) di jalan,” kata Irvan kepada IDN Times.

Dalam operasinya, Irvan melarang anggotanya untuk melakukan tindakan represif. Kendati begitu, dia tidak mengelak bila drama pengejaran sempat terjadi lantaran waria dan gay yang tidak ingin diamankan. Tidak sedikit dari mereka yang terluka akibat berbenturan dengan bebatuan sungai atau nisan makam.

“Memang benar kalau ada yang sampai nyebur di sungai (Pattaya), tapi itu kan pilihan. Kalau dia mau diamankan baik-baik, gak perlu lari, kami juga gak ngapa-ngapain kok,” sambung dia. “Saya jamin gak ada yang persekusi. Kalau ada, saya siap tanggung jawab. Laporkan ke saya, akan kami beri sanksi.”

Berlandaskan Peraturan Daerah Kota Surabaya, LGBT tergolong sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Akibatnya, waria sama sekali tidak boleh berkeluyuran di jalan dan melakukan menggelar publik.

“Kami memang gak perbolehkan ada di jalan, kan sudah ada di Perda PMKS. Jadi kalau mereka ada yang keliling atau berkumpul, ya otomatis kami amankan,” terangnya.

Keluh kesah kehidupan seorang waria

Warna-Warni LGBT di Surabaya: Dulu, Kini, dan NantiUnsplash/@sharonmccutcheon

Rose mengaku tidak memiliki pilihan untuk menyambung hidupnya. Terlebih, sebagai tulang punggung keluarga, dia khawatir ibunya tidak bisa makan keesokan harinya.

“Aku begini udah sejak SMP. Dulu sih awalnya ketagihan (hubungan sesama jenis). Tapi sekarang udah demi uang. Kakakku udah menikah semua, bapakku udah meninggal, jadi aku yang hidupin ibuku. Aku sebenarnya buka jasa make-up juga, tapi gak pasti kan penghasilannya,” cerita dia.

Anggota Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos), Cantika, juga merasakan hal serupa. Selain kesulitan mencari kerja, banyak waria di Surabaya tidak memiliki identitas. Alhasil, mereka tidak bisa mengakses fasilitas kesehatan dan pendidikan.

Saat terjaring razia, banyak dari diperlakukan kasar. “Kami ini kebanyakan kabur dari rumah karena ditolak keluarga. Terus kalau mau bikin ke RT/RW juga direspons negatif,” kata dia.

Berdasarkan data Perwakos, tahun 2015 ada sekitar 1500 waria di Surabaya. Jumlah tersebut menurun drastis hingga 400 waria pada 2018. Adapun angka kekerasan terhadap waria mencapai 28 kasus pada 2018. Dia menyebut laporan kekerasan semakin meningkat meski jumlah warianya menurun.

Karena itu, banyak dari waria yang kemudian pindah kota. “Gak ada yang namanya kembali normal (jadi laki-laki lagi), karena kami begini dari hati, sudah dari lahir. Sekalipun mereka dipaksa jadi laki-laki normal dan menikah sama perempuan, hati mereka gak tenang,” bebernya.

Cantika berkeluh kesah soal hak warga negaranya yang seakan hilang karena preferensi kelamin dan gender. Setiap ada perkumpulan yang terdiri dari dua waria atau lebih, publik akan menganggapnya sebagai prostitusi. Ihwal pekerjaan, tak ada satu pun perusahaan yang mau menerima kehadiran mereka. Untuk mendapat modal pinjaman sekali pun banyak yang menolak.

“Ya akhirnya kami jadi PSK lagi, pengamen lagi, karena memang harus hidup. Sebaik-baiknya dari kami itu bekerja di salon,” sambungnya. “Karena agama semuanya jadi seolah tutup mata. Pemerintah mau peduli LGBT juga pasti didemo sama oknum yang mengatasnamakan Islam.”

Bagaimana dengan lesbian dan gay?

Warna-Warni LGBT di Surabaya: Dulu, Kini, dan NantiUnsplash/@matthewhenry

Lain cerita bagi gay dan lesbian. Soal pekerjaan dan administrasi, mereka tidak memiliki hambatan seperti waria karena tidak mengubah penampilan fisiknya. Namun, belakangan ini, mereka mengeluh karena tidak lagi memiliki ruang privat yang dianggapnya aman.

“Kayak kalau di rumah atau di kosan juga digerebek, padahal itu kan ruang privat,” terang Rizky yang merupakan pegiat LGBT.

Eky, sapaan hangatnya, melihat maraknya tindak kekerasan terhadap LGBT selaras dengan meningkatnya aksi razia yang kerap dilakukan organisasi berbasis Islam. Bahkan, dia takut menyampaikan di mana lembaga GAYa Nusantara berkantor saat ini lantaran khawatir digeruduk.

Padahal, GAYa Nusantara sering melakukan sosialisasi tentang HIV/Aids dan dampak dari seks bebas. “Ya akhirnya kegiatan kami dari media sosial aja. Karena masyarakat sudah menstigma kalau kami berkumpul, pasti ada hubungan seks, ada prostitusinya,” terang dia.

Di penghujung percakapan, dia bercerita bahwa LGBT sudah ada di Indonesia sejak zaman kerajaan. Dia menolak keras bila banyak orang yang mengatakan bahwa LGBT sebagai budaya barat yang “diekspor” baru-baru ini.

“Katanya menyalahi kodrat, ini bawaan dari hati lho. LGBT sudah ada sejak dulu di Indonesia. Kami hanya memperjuangkan kesetaraan. Kami kayak gak punya warga negara,” ulas Eky.

Kehadiran LGBT masih dianggap sebagai penyakit sosial

Warna-Warni LGBT di Surabaya: Dulu, Kini, dan Nantisijai.com

Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, melihat LGBT di Surabaya bak gunung es di laut. Mereka ada namun bersembunyi dalam gelap. Masyarakat menganggap mereka sebagai penderita “penyakit sosial”.

Ironisnya, lantaran norma yang sudah mendarah daging, alih-alih disembuhkan atau dirangkul, masyarakat kebanyakan lebih memilih untuk “memusuhi” mereka.

“Masyarakat menempatkan mereka sebagai kelompok ‘the others’, kelompok lian. Setahun belakangan resistensi terhadap LGBT saya lihat memang semakin marak. Karenanya mereka lebih memilih berkomunikasi secara tertutup,” papar Bagong kepada IDN Times.

Penolakan terhadap LGBT, menurut Bagong, memiliki tren menular. Begitu pula di Surabaya. Bagaimana masyarakat menolak kehadiran kelompok “the others” tidak bisa lepas dari penolakan di kota lainnya.

Dia menjelaskan, “Kenapa masyarakat memusuhi mereka? Karena LGBT disikapi sebagai terdakwa, bukan sebagai korban. Ini yang jadi masalah. Kalau memang penyebabnya adalah biologis, kita tidak bisa berbuat semena-mena."

Untuk menengahi problematika LGBT di masyarakat, dia menyarankan supaya kampus banyak mengambil peran. “Kampus kan punya tanggung jawab moral. Ada fakultas psikologi, ada fakultas kedokteran. Kalau memang dianggap penyakit, ya harusnya ditolong."

Di samping itu, dia juga mengingatkan supaya masyarakat tidak menghakimi LGBT sesuai persepsinya. Bagaimanapun, mereka adalah manusia yang merupakan warga negara Indonesia.

“Susah memang ya karena masyarakat selalu melihatnya dari sudut pandang dogmatis. Tapi ini bukan masalah dosa atau tidak, ini masalah sosial. Kalau tidak bisa (berbuat baik atau mengabaikannya paling tidak), lebih baik diam daripada mempersekusi,” ulas Bagong.

Begini cara Risma menanggulangi LGBT

Warna-Warni LGBT di Surabaya: Dulu, Kini, dan NantiInstagram/trirismaharini

Mewakili waria Surabaya, Cantika mengaku senang dengan kehadiran Risma selaku wali kota. Perempuan tersebut dianggap sebagai sosok pengayom yang peduli dengan LGBT.

“Dulu pernah sih teman-teman waria dikasih modal. Tapi ya begitu, karena minimnya pengalaman jadi gagal mengelolanya. Akhirnya kembali mangkal,” Cantika menyambung.

Di bawah pemerintahannya, Risma memanfaatkan Dinas Sosial sebagai sarana untuk LGBT, selaku penyandang masalah kesejahteraan, memupuk keterampilan kerja.

“Yang berbeda dari Bu Risma, kalau mereka terjaring Satpol PP terus dimasukkan ke Liponsos, mereka mendapat pelatihan selama lima hari kira-kira. Jadi kami mendatangkan instruktur dan trainer,” ujar Supomo selaku Kepala Dinas Sosial Surabaya kepada IDN Times.

Yang menjadi permasalahan adalah modal usaha. Karena hambatan itu, sering kali pelatihan yang diberikan terbuang sia-sia. Sekalipun Cantika mengaku pernah diberi modal usaha, ternyata itu adalah uang pribadi Risma yang disisihkannya.

“Pemerintah gak bisa kasih modal usaha. Kalau waktu itu pernah ada yang dikasih modal, itu uang pribadinya Ibu (Risma),” tambah Supomo.

Melihat upaya pemerintah setempat, Bagong menyarankan agar mereka lebih mengedepankan pendekatan sosial. Sebab, LGBT adalah isu kompleks yang beririsan dengan aspek sosial, ekonomi, agama, hingga psikologis. “Memulainya harus dengan mengubah sudut pandang,” kata Bagong.

Menakar masa depan LGBT di Surabaya

Warna-Warni LGBT di Surabaya: Dulu, Kini, dan NantiUnsplash/trfotos

Masa depan LGBT di Surabaya tidak bisa lepas dari siapa yang akan memimpin Indonesia lima tahun ke depan. Kekhawatiran itu disampaikan oleh Rose. Walau dia menghabiskan malamnya dengan memuskan nafsu para lelaki hidung belang, Rose selalu mengikuti kabar terbaru terkait Pilpres. 

“Aku khawatir karena Indonesia ini bukan negara agama. Sedangkan capresnya terlalu fanatik sama agama (berebut suara umat Islam),” keluhnya lantaran agama menjadi dalih yang paling sering disampaikan untuk menolak kehadiran waria.

Di sisi lain, kedua pasangan calon presiden tampak tidak ingin terlibat dalam pusaran LGBT. Mereka khawatir dukungan kepada LGBT menjadi bumerang lantaran kehilangan para pemilihnya.

“Itu (LGBT) ranah privat. Kalau mereka memilih itu, harus sadar konsekuensinya dong. Kami gak mungkin memberikan special treatment kepada mereka,” tutur Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Dini Shanti Purwono.

Sementara, Nada Alichiah sebagai Juru Debat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi menegaskan, “Kami menolak keras LGBT karena tidak sesuai norma yang hidup di masyarakat."

“Kami gak minta ada jenis kelamin khusus di KTP, kami hanya minta diberi akses yang sama dengan orang-orang yang kalian sebut normal. Kami juga gak minta ada pekerjaan khusus, kami cuma minta negara atau swasta lebih terbuka kepada kami yang mempunyai skill. Kalau ditanya Tuhan, kami juga bergama kok. Kami punya kegiatan rohani setiap bulan. Ini bukan masalah agama, ini biologis," tutup Cantika. 

Warna-Warni LGBT di Surabaya: Dulu, Kini, dan NantiIDN Times/Sukma Shakti

Baca Juga: 9 Agenda HAM Amnesty untuk Capres, Salah Satunya Soal LGBT

Topik:

  • Faiz Nashrillah
  • Vanny El Rahman

Berita Terkini Lainnya