Narasi Akhir Zaman dan Eksistensi Terorisme di Jatim 

Ternyata mereka kebelet karena yakin kiamat segera datang

Surabaya, IDN Times- Minggu (13/5) menjadi hari akhir bagi Dita Oepriarto (47) sekeluarga melihat matahari terbit. Dita, sapaan akrabnya, bersama lima orang anggota keluarganya memilih mati di halaman tiga gereja di Surabaya. Bagi mereka, itu adalah satu-satunya cara untuk memastikan surga menjadi tempat peristirahatan abadinya kelak.  

Gereja Pantekosta Surabaya menjadi saksi bisu bom bunuh diri Dita pada pukul 07:53 WIB. Gereja Kristen Indonesia menyasikan bagaimana Puji Kuswati (43) -istri dari Dita- bersama dua anaknya menjadi pelaku sekaligus korban ideologi radikal pada pukul 07:15 WIB. Begitu pula Gereja Santa Maria pada pukul 06:30 WIB yang menyaksikan kematian dua putra pasangan Dita dan Puji.  

Malam harinya, bom meledak di Rusunawa Wonocolo Sidoarjo. Puspita Sari (47) dan anaknya yang berinisial LAR menjadi korban bom yang dipersiapkan untuk meneror Kota Surabaya keesokan harinya. Saat petugas mendatangi lokasi kejadian, Densus 88 segera menembak Anton -suami Puspita Sari- karena dia memegang detonator bom yang membahayakan penghuni rusunawa.  

Belum cukup sampai di situ, selang 24 jam giliran Mapolrestabes Surabaya yang jadi sasaran Tri Murtiono sekeluarga. Lebih tepatnya pada pukul 08.50 WIB, Tri bersama empat orang anggota keluarganya melakukan aksi bom bunuh diri di halaman depan kantor kepolisian. Untungnya, si  bungsu berinisial AIS (7) berhasil diselamatkan oleh petugas yang kini menjabat sebagai Kapolres Kediri. Syukurnya, AIS terus berjuang untuk melanjutkan hidup hingga hari ini.  

Tindakan keji yang melanda Surabaya selama satu pekan itu memakan 28 korban jiwa dan 57 orang luka-luka. Menurut Kapolri Jenderal Pol Muhammad Tito Karnavian, aksi teror yang melibatkan istri dan anak adalah modus baru di Indonesia. “Di ISIS sudah dilakukan menggunakan anak-anak. Fenomena ini baru pertama kali terjadi di Indonesia,” kata Tito.  

Oleh sebab itu, menarik untuk dipertanyakan adalah mengapa sang suami, otak kejahatan, tega-teganya melibatkan anak dan istri dalam aksi terorisme? 

 

1. Dukhan dan Imam Mahdi membuat Dita ingin kantongi tiket surga lebih cepat

Narasi Akhir Zaman dan Eksistensi Terorisme di Jatim IDN Times/Fitria Madia

Pengamat terorisme dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Sidney Jones,  dalam analisnya menyebut peran Dita sebagai pimpinan JAD Jawa Timur sangat signifikan dalam menjajalkan paham radikal kepada rekan dan keluarganya.  

Dita adalah ideolog yang militan. Dalam setiap pertemuan, ia selalu menyampaikan bahwa akhir zaman telah dekat. Dita bahkan menyebut dunia akan kiamat pada akhir 2018 atau awal 2019. Tidak hanya itu, keluarga Dita, Anton, dan Tri Murtiono selalu menyajikan dongeng dan video yang berisikan perjuangan ISIS kepada anak-anaknya sebelum terlelap dalam naungan malam.   

Di antara tanda-tanda akhir zaman yang disampaikan Dita, sebagaimana ditulis oleh Sidney Jones, adalah munculnya dukhan (kabut atau asap) dari Timur. Disusul dengan tanda-tanda perang akhir zaman antara Islam melawan Barat. Kemudian, turunlah Imam Mahdi sebagai juru selamat bagi seluruh Muslim. Celakanya, figur Abu Bakar al-Baghdadi, karena kemunculannya dari Suriah, dianggap sebagai Imam Mahdi oleh kelompok ISIS.  

Dalam pemahamannya, bila mereka “berjihad” pada hari akhir, maka belum tentu mereka mendapat surga. Karena itulah Dita, Anton, dan Tri Murtiono sepakat untuk "mendapatkan" tiket lebih awal dengan jalan bunuh diri bersama keluarganya. Di sisi lain, Abu Bakar al-Baghdadi sebagai imam besar telah menyerukan seluruh loyalisnya untuk “berjihad” di negaranya masing-masing. Atas dasar itulah semangat bunuh diri mereka semakin kuat. 

Lantas, kapan waktu yang tepat bagi tiga sejawat itu untuk melakuan tindakan amaliyah? Pada awalnya, Dita berencana untuk menjalankan aksinya pada bulan Ramadhan yang jatuh pada Juni 2018. Namun, kerusuhan di Mako Brimob Depok pada 8-10 Mei 2018 mengubah segala rencananya. Sebagai bentuk pembalasan dan untuk mengalihkan polisi, Dita segera mempersiapkan diri untuk melakukan penyerangan.  

Minggu (13/5) menjadi waktu yang tepat bagi Dita untuk menjalankan aksinya. Setelah kabar tindakan amaliyah Dita tersebar, Anton dan Tri Murtiono segera mengikuti langkah pemimpinnya, begitu pula sel JAD di daerah lain. Sang ayah, istri, dan anak seluruhnya siap mati demi memperjuangkan surganya. Adakah mereka berbahagia di Surga hari ini?  
 

2. Keputusan melibatkan anak-istri dalam aksi teror jadi perdebatan di kalangan teroris

Narasi Akhir Zaman dan Eksistensi Terorisme di Jatim IDN Times/Rosa Folia


Seluruh masyarakat Indonesia kemudian mengutuk mereka lantaran melibatkan anak-istrinya. Begitu pun Aman Abdurrahman, pimpinan tertinggi JAD. Melalui video singkat yang diviralkan oleh Tito Karnavian, Aman menyampaikan “Itu tindakan yang gak mungkin muncul dari orang yang mengerti ajaran Islam. Ayah mengorbankan anak-anaknya, ibu bersama anaknya melakukan bunuh diri adalah orang-orang sakit jiwa dan putus asa.”  

Ternyata, pernyataan Aman melahirkan perdebatan di internal ISIS Indonesia. Sebagian menyebut Aman hanya ingin perlindungan karena takut dengan vonis mati yang menantinya. Sebagian lagi menyebut Aman telah kafir karena menuruti kemauan pemimpin taghut. Tetapi, semua spekulasi yang dialamatkan kepadanya terbantahkan ketika sujud menjadi bentuk syukur Aman saat hakim ketua Akhmad Jaini menetapkan hukuman mati kepada dalang bom Thamrin 2016 itu.  

Menanggapi ungkapan Aman, Ketua Lingkar Perdamaian Ali Fauzi meyakini bahwa pernyataan Aman terhadap pelaku insiden bom di Surabaya adalah Taqiyyah (pernyataan palsu) semata. Pasalnya, bukan kali pertama Aman mengeluarkan ungkapan yang tidak sesuai dengan ajarannya selama ini.  

Pada pertemuan JAD di Malang, Aman sempat mengimbau tiga hal, yaitu tegakkan daulah yang dibawa oleh ISIS di Indonesia, kewajiban untuk “berjihad” di Suriah bagi yang mampu, serta jihad di Indonesia bagi mereka yang tidak mampu ke Suriah.  

“Ya itu Taqiyyah. Ya kalau gak ngapain mereka ingin berbondong-bondong bawa anak-Istri ke Suriah ke Timur Tengah untuk merespons panggilan Abu Bakar al-Baghadadi. Makanya daripada gak bisa ke Suriah, ajak saja anak-istrinya untuk amaliyah,” ujar Ali. 
 

3. JAD dan pola rektrutmen kader, menyasar para napiter

Narasi Akhir Zaman dan Eksistensi Terorisme di Jatim IDN Times/Afriani Susanti

Melalui laporan IPAC nomor 51, Sidney juga menggarisbawahi peran Aman dalam membentuk JAD pada Oktober 2014. Aman berhasil menggabungkan berbagai kelompok pro-ISIS yang ada di Indonesia. Ia juga merekrut banyak mantan narapidana terorisme di Nusakambangan, seperti Abu Musa, Zaenal Anshori (FPI di Lamongan), Muhammad Fachri sebagai pengelola jejaring internet ISIS, dan Khearul Anwar pimpinan Jamaah Ansharul Tauhid (JAT) Jawa Barat. 

Berdasarkan pemahaman Sidney, ada dua alasan mengapa mantan narapidana terorisme (napiter) menjadi sasaran utama bagi kelompok radikal untuk bergabung dengan kelompok lainnya, yaitu kemampuan mereka yang sudah teruji di medan “jihad” dan kemampuannya dalam mempertahankan ideologi.  

Ali Fauzi, selaku mantan terorisme, tidak menampik argumen tersebut. Kurang optimalnya program deradikalisasi menjadi penyebab utama mengapa para napiter sangat mudah di cuci otaknya. Terlebih, bisa jadi program tersebut gagal karena kemampuan taqiyyah para napiter. Di hadapan petugas, mereka mengaku sudah tidak menganut paham radikal lagi. Sejatinya, hasrat mereka untuk membunuh kelompok yang tidak sependapat sangat besar.  
“Saya pikir program deradikalisasi yang ditangani Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sudah bagus ya. Tapi perlu ada sinergi dengan departemen lain. Menurut saya peran Kemenag kurang, padahal mereka memiliki tujuan untuk mengubah mindset atau fikroh. Begitu pula Kemenag di kabupaten dan provinsi. Yang saya lihat malah ada kemunduran," beber dia.  

Potensi napiter yang mudah terjerumus ke ranah radikalisme juga diakui oleh Kepala BNPT Komjen Pol Suhardi Alius. Beberapa kasus terorisme, seperti bom Thamrin, bom Samarinda, dan bom Cicendo adalah serangkaian insiden yang didalangi oleh para mantan napiter.  

4. Taqiyyah, tantangan terberat program deradikalisasi

Narasi Akhir Zaman dan Eksistensi Terorisme di Jatim IDN Times/Ardiansyah Fajar

Harus diakui, Taqiyyah menjadi tantangan terbesar aparat keamanan untuk mendeteksi potensi teror. Taqiyyah adalah bentuk kepalsuan dalam perkataan, sedangkan pembauran kepalsuan dalam berperilaku dengan lingkungan sekitar. Dua kemampuan inilah yang menghilangkan kecurigaan masyarakat dan aparat keamanan terhadap para terduga terorisme.  

Dua kemampuan itu juga digarisbawahi oleh Sidney. Ia menjelaskan bahwa perilaku Dita sangat humanis menjelang bom Surabaya. Tak ada tanda-tanda seakan dirinya adalah otak kelompok terorisme keji di Jawa Timur. Begitu pula dengan Anton dan Tri Murtiono, semuanya dikenal sebagai figur yang murah senyum dan baik. Karenanya tidak heran bila para tetangga terkejut ketika mengetahui bahwa mereka bertiga adalah pelaku tindak pidana terorisme di Surabaya.  

“Di situlah saya tekankan perlunya kerjasama antar instansi. Sesudah napiter bebas, kembali ke masyarakat, siapa yang memonitor mereka?  Kan unit yang paling dekat di masyarakat ada dalam struktur pemerintahan daerah.  Kemendagri juga perlu mengawasi,” jelas Suhardi, seraya mengingatkan ada 600 mantan napi teroris yang kini ada di masyarakat setelah bebas masa tahanan. 

Sejak dilantik sebagai Kepala BNPT pada 20 Juli 2016, melalui Surat Keputusan Menkopolhukam Nomor 42 Tahun 2018, Suhardi telah membentuk Tim Sinergitas Kementerian/Lembaga untuk melawan terorisme.  

"Awalnya koordinasi sinergisitas antar kementerian/lembaga ini melibatkan 17 kementerian/lembaga sebagai anggota dari 4 kementerian koordinator. Namun selanjutnya bertambah menjadi 27 kementerian/lembaga, kemudian menjadi 34 kementerian/lembaga, dan terakhir di akhir tahun 2017 menjadi 36 kementerian/lembaga," tambah dia.  

 

5. Menangkal narasi akhir zaman kelompok terorisme, deradikalisasi sejak dini

Narasi Akhir Zaman dan Eksistensi Terorisme di Jatim IDN Times/Sukma Shakti

Selain deradikalisasi terhadap para napiter, seluruh institusi harus bekerja sama guna membendung sanak keluarga kita teracuni oleh paham-paham radikal. Ali Fauzi tidak menyalahkan narasi akhir zaman yang kerap disampaikan Dita pada cermahnya, sebab Dita hanya menyampaikan kembali apa yang disampaikan oleh Allah dan Nabi Muhammad.  
Ali memaparkan, “Saya gak sepakat (laporan IPAC) yang menyimpulkan kiamat terjadi pada 2018 atau 2019. Saya paham betul fikroh-nya Dita dan kawan-kawan. Yang benar adalah tanda-tanda asrothusaah atau tanda-tanda hari akhir. Mulai dari munculnya dukhan, keringnya Sungai Tiberias, kurma sudah tidak lagi tumbuh di beberapa daerah, semua itu benar sesuai Alquran dan hadits.” 

Kendati narasi akhir zaman yang disampaikan sesuai dengan ajaran agama, namun meninggal dengan bom bunuh diri menurutnya adalah keputusan yang sangat dilarang agama. Padahal, Islam juga mengajarkan menuntut ilmu adalah bagian dari Jihad. Bahkan Nabi Muhammad menjamin mereka yang meninggal dalam kondisi sedang belajar, maka Allah pastikan surga baginya. 

“Semuanya pasti akan menyampaikan tanda-tanda kiamat yang sama, karena sesuai ajaran. Tapi, kesimpulan untuk berjihad itu yang salah. Tidak dibenarkan membunuh dalam Islam,” imbuhnya singkat.  

Sementara, Suhardi juga menitikberatkan kepada para da’i supaya menyebarkan paham-paham yang mendamaikan. Jangan sampai secara tidak sadar mereka justru menanamkan semangat untuk berjihad dengan mengorbankan nyawa.  

“Di situlah kami butuh Kementerian Agama. Ada standarisasi dan monitoring gak (terhadap para pendakwah). Kan tidak mungkin BNPT melakukannya sendirian,” tegas Suhardi. “Menangkal paham radikal melalui sekolah dan ekstrakulikuler juga kami membutuhkan bantuan Kementerian Pendidikan."

Baca Juga: Kapolri: Sejak Bom Surabaya, 200 Teroris Ditangkap

6. Masa depan JAD, bubar atau reinkarnasi?

Narasi Akhir Zaman dan Eksistensi Terorisme di Jatim IDN Times/Sukma Shakti

Pasca serangkaian insiden di Surabaya, DPR RI segera mengesahkan revisi undang-undang terorisme. Di bawah payung hukum tersebut, sekurangnya Polri sudah melakukan 79 penangkapan dengan total 350 terduga teroris yang diamankan, 110 di antaranya terlibat bom Surabaya. Pertanyaannya adalah apakah JAD sudah benar-benar musnah? Di samping pemerintah juga telah menetapkan JAD sebagai organisasi terlarang. 

Pengamat terorisme Certified Counter Terrorism Practitioner Border, Rakyan Adibrata, menyebut JAD sebagai sebuah organisasi terorisme akan musnah dalam waktu dekat. Tetapi, ideologi ISIS sebagai mesin yang menggerakkan para terorisme tidak akan pernah musnah 100 persen. Karenanya, besar potensinya JAD terlahir sebagai kelompok.

“Selepas Mei itu ada lebih dari 350 yang ditangkap-tangkapin ya, itu hanya menunda teror, sehingga para ISIS memutuskan untuk under radar supaya gak ditangkap,” terang Rakyan. “Kalau konteknsya adalah struktur organisasinya, maka JAD bisa musnah dalam waktu dekat. Tapi kalau ideologinya gak mungkin musnah (dengan penegakan hukum). Makanya sangat mungkin nanti akan muncul JAD baru,”.  

Menurut Rakyan, tidak menutup kemungkinan anggota JAD dan loyalis ISIS lainnya akan menjalankan aksinya tanpa melakukan perencanaan yang matang. “Karena mereka bukan Jamaah Islamiyah (JI) yang kalau membuat keputusan harus kesepakatan jamaah. Mereka ibarat kayak lone wolf, bisa melakukan aksinya sendiri. Kalau cuma punya pisau, ya jihadlah pakai pisau,” sambungnya.  

Sedangkan, menurut Ali Fauzi, dalam keadaan JAD yang sudah terdesak mereka akan menghalalkan segala cara. “Bagi mereka mengajak anak-istri adalah hal yang sah, karena mereka menjalankan jihad defensif. Nah, dengan jihad defensif semuanya jadi halal, ajak anak-istri, tanpa izin orang tuanya berjihad, semuanya sangat mungkin terjadi,”.   

 

7. Jawa Timur wani!

Narasi Akhir Zaman dan Eksistensi Terorisme di Jatim IDN Times/Sukma Shakti

Polri sebagai institusi keamanan juga berbenah diri supaya aksi terorisme tidak terulang kembali. Salah satu penguatan internalnya, terkhusus di wilayah Jawa Timur, adalah optimalisasi peran tiga pilar pembina masyarakat desa, yaitu Babinsa, Babinkamtibmas, dan lurah atau kepala desa.  

“Implementasinya dari penguatan tiga pilar itu, mereka nantinya akan mampu mengenal masyarakat di lingkungnya. Mengenalnya itu sampai tahu pekerjaannya apa, asal dari mana, hingga konstruksi kehidupannya. Jadi kalau ada kejanggalan bisa dipalorkan sedini mungkin,” tutur Wakapolda Jawa Timur, Brigjen Pol M. Iqbal. 

Di setiap daerah, Polri juga membentuk satuan tugas wilayah sebagai perwujudan kerja sama intensif dengan BNPT. Menurut Iqbal, sinergi semua elemen penting untuk mencegah tumbuhnya sel-sel terorisme baru.  

“Ideologi hanya bisa dilawan oleh ideologi. Ada teori ratu lebah, ketika nanti ada figur kharismatik dan bisa diterima oleh pengikut-pengikutnya, nah lahirlah nanti Aman yang baru. Itu semua bisa diketahui kalau tiga pilar berhasil melakukan profiling di masyarakat, termasuk praktik taqiyyah. Tentunya di samping informasi intelejen juga,” ujar mantan Karopenmas Mabes Polri itu.   

Terakhir, Iqbal yakin masyarakat Jawa Timur, khususnya Surabaya, akan menjadi mitra strategis Polri melawan terorisme. Sebutan Kota Pahlawan tidak hanya melekat sebagai simbol. Iqbal percaya seluruh masyarakat Surabaya memiliki keberanian bak pahlawan, sehingga tidak butuh lama bagi masyarakatnya untuk kembali berdiri tegak setelah insiden bom Surabaya.  

Baca Juga: Cara Polda Jatim Cegah Terorisme Pasca Bom Surabaya

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya