Menemui Para Pencari Lailatul Qadar di Masjid Ampel

Kebaikan 1000 bulan yang tersaji pada satu malam

Surabaya, IDN Times - “Carilah Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir Ramadan.” Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim ini barangkali menjadi dasar bagi kebanyakan umat Islam untuk "berburu" Lailatul Qadar. Pada malam ganjil yang ada di 10 hari terakhir itu malaikat dan Ruh diyakini turun, mengagungkan majelis zikir.

Tak heran, masjid dan musalla dipenuhi dengan para pencari keberkahan malam seribu bulan tersebut. Penasaran, aku pun mencoba mendatangi di Masjid Sunan Ampel yang terletak di Jalan Petukangan I, Semampir, Surabaya.  Kebetulan, malam itu bertepatan dengan 25 Ramadan.

1. Menikmati keindahan malam di Kota Santri

Menemui Para Pencari Lailatul Qadar di Masjid AmpelIDN Times/Vanny El Rahman

Memasuki kawasan Ampel, lalu lintas sempat terhambat. Wajar saja. Pasalnya bahu jalan harus menjadi lahan parkir dadakan lantaran membludaknya jemaah. Jangankan bulan Ramadan, di hari-hari biasa saja para peziarah Sunan Ampel tak pernah sepi.

Sejauh mata memandang, kawasan Ampel layaknya kota Santri. Para lelaki, muda hingga tua mengenakan sarung dengan pakaian muslim. Sebagian melingkarkan sorban atau sajadah di lehernya. 

Tak hanya orang dewasa, para jemaah dan peziarah juga membawa serta buah hatinya. Tentu mereka ingin memberikan pengalaman relijius kepada anak-anaknya.  Mungkin sebagian dari si kecil akan bertanya, “Ini siapa bu, kok didoakan banyak orang? Emangnya pas dulu hidup dia bagaimana? Cara doainnya gimana bu?” Setidaknya pertanyaan itu yang dulu aku utarakan kepada ibuku.

2. Berkah dari orang saleh, geliat ekonomi yang terus mengalir

Menemui Para Pencari Lailatul Qadar di Masjid AmpelIDN Times/Vanny El Rahman

Setelah memarkirkan motor, aku segera berjalan menuju gang masuk masjid. Butuh waktu hingga 10 menit untuk melewati gang sepanjang kira-kira 200 meter itu. Bagaimana tidak, selain para peziarah dan pencari berkah 10 malam terakhir Ramadan, kawasan Ampel juga dipadati pelancong yang hendak berbelanja.

Kios-kios berdiri berjejal sepanjang gang tersebut. Mereka menjajakan pakaian muslim, minyak wangi khas Arab, buku-buku Islami, makanan khas Timur Tengah, tasbih, gorengan, kurma, bahkan ada yang menjual air zam-zam. Jika saja dompetku “tebal” malam itu, kelak aku akan terjebak oleh tulisan diskon dan harga grosir yang begitu menggoda.

Tidak ada barang satu tokopun yang sepi dari pengunjung. Bila para ibu dan bapak melipir ke toko pakaian, maka anak-anakya pasti terhasut oleh aroma kue canai. Cukup dengan merogoh kantong sebesar Rp3000, makanan khas India itu bisa dibawa pulang. 

Malam semakin larut. Tak terasa hari sudah berganti. Jam tangan Casio yang aku kenakan sudah menunjukkan pukul 00.07 WIB. Alih-alih sepi ditelan malam, geliat ekonomi di kawasan ini semakin ramai.

Dalam hatiku bergumam, “Mungkin inilah berkah dari orang mulia (Sunan Ampel). Kala hidupnya ia menyebarkan Islam di tanah Jawa. Kala meninggalnya, atas izin Allah, ia memberi keberkahan bagi orang-orang di sekitarnya.”

3. Beritikaf di Masjid Sunan Ampel

Menemui Para Pencari Lailatul Qadar di Masjid AmpelIDN Times/Vanny El Rahman

Begitu memasuki komplek masjid, aku segera mengambil air wudu lalu memutuskan untuk menunaikan salat tahiyatul masjid. Suatu kebanggaan bisa bersujud di salah satu masjid yang sarat akan nilai sejarah.

Saking padatnya pengunjung, aku harus menjaga diri supaya tidak bersentuhan dengan perempuan. Agak sedikit repot bila harus batal di tengah jalan, soalnya jarak antara tempat wudu dengan pintu laki-laki terpaut beberapa meter.

Di tengah perjalanan, aku melihat beberapa peziarah yang berjalan tanpa alas kaki. Aku menduga mereka kehilangan sandalnya. Bisa aja tidak sengaja tertendang sehingga berserakan. Atau memang tidak sengaja tertukar. Alangkah baiknya bagi peziarah membawa plastik atau tas supaya bisa membawa sandalnya masuk masjid.

Semerbak aroma parfum khas Timur Tengah menyambut kedatangan para jemaah yang hendak menunaikan salat. Malam itu sangat ramai. Ada yang menunaikan salat tarawih. Ada yang berzikir sembari menyerahkan segala harapan dan cita-citanya kepada Sang Maha Kuasa. Ada pula yang tertidur dengan mushaf Alquran di tangannya.

Suasana masjid disemarakkan dengan lantunan ayat suci Alquran yang saling bersahutan. Mereka semua berlomba-lomba untuk mengkhatamkan Alquran di malam yang mulia. Bak orkestra yang memanjakan telinga, senandung ayat demi ayat malam itu meneduhkan hati. Siapapun kelak bisa merakannya, bahkan jika anda bukan orang relijius sekalipun.

Di salah satu sisi masjid, Nurul Yaqin baru saja menunaikan salat witir. Ia mengimami 11 jamaah. “Saya dari Payaman, Lamongan,” kata dia saat ku tanya asal daerahnya.

Nurul bersama rombongannya memiliki rutinitas untuk menghabiskan malam 25 Ramadan di Masjid Sunan Ampel. Sudah tiga tahun kebiasaan tersebut ia tekuni. “Sebelum ke Ampel, kami tadi ke Mbah Kholil Al Bangkalan di Madura. Kemudian kami ke Ampel.”

“Sepuluh hari terakhir di malam ganjil memang dianjurkan untuk menghabiskan waktu dengan beritikaf. Kami percayalah (tanggal 25 Ramadan adalah Lailatul Qadar),” jawab Nurul yang merupakan guru IPA di salah satu sekolah di Lamongan ketika ditanya mengapa memilih tanggal 25 Ramadan.

Selain menunaikan salat sebanyak-banyaknya, mereka juga memiliki rutinitas mengkhatamkan Alquran. Jika saja malam itu benar-benar Lailatulkadar, maka ia mendapat kebaikan seperti mengkhatamkan Alquran selama 1000 bulan.

“Dengan ini semoga imannya bertambah. Hidup semakin mudah dan berkah,” tambahnya. 

4. Kalimat tahlil yang tak pernah terputus di Makam Sunan Ampel

Menemui Para Pencari Lailatul Qadar di Masjid AmpelIDN Times/Vanny El Rahman

Tak terasa satu jam telah berlalu. Kini aku sedikit bergeser ke kawasan pemakaman. Jaraknya hanya beberapa meter dari masjid. Di sinilah aku melihat lautan manusia. Semuanya tampak khusyu membaca doa. Lantunan tahlil bersahutan dengan surat Yasin dan kalimat thayyibah lainnya. Saking padatnya bahkan untuk merenggangkan kaki saja tidak bisa.

Sejenak aku mengingat kerusuhan yang menimpa Ibu Kota. Tidak sedikit dari mereka yang menggunakan atribut Islam untuk menyulut keributan. Seruan takbir diiringi dengan pelemparan batu. Hanya karena meneriakkan kalimat-kalimat Islami, segala perbuatan dianggapnya jihad. Bahkan, ada sebagian dari mereka yang memicu keributan dengan atribut ibadah.

Belum lagi rong-rongan kasar yang dialamatkan kepada sesama manusia, bahkan sesama muslim. Ada pula fitnah hanya karena matanya sipit. Bukankah Rasul menyuapi seorang Yahudi tua yang setiap hari memakinya? Bukankah Rasul bahkan melindungi mereka yang berbeda agama ketika sebagai pemimpin di Kota Madinah?

Jika Islam bermakna tunduk atau patuh sebagai bentuk penyerahan diri kepada Tuhan, maka apa yang aku lihat malam itu benar-benar Islami. Tak ada barang semenit lafadz Allah berhenti diucapkan. Semuanya berlomba-lomba untuk yang paling khidmat. Tidak ada satupun kalimat kasar terlontar di tempat itu

Apa yang aku saksikan malam itu merupakan kehebatan dari seorang yang saleh, bahwa kehadirannya selalu dirindukan bahkan ketika dia sudah tidak lagi hidup. Berdasarkan keterangan Rozak, pengunjung di malam ganjil melimpah ruah dibanding malam lainnya. Tidak sedikit dari peziarah yang dari luar kota, ada yang dari Bekasi bahkan luar pulau.

“Sejak malam 21 sudah sampai sekarang ramai terus, apalagi malam ganjil. Karena mereka berharap mendapat keutamaan Lailatulkadar. Kalau datangkan kebanyakan bawa rombongan, ada yang sampai 60 orang satu rombongan,” tutur sang juru kunci.

5. Arti Lailatulkadar bagi sang pengais rezeki

Menemui Para Pencari Lailatul Qadar di Masjid AmpelIDN Times/Vanny El Rahman

Di sepanjang kawasan masjid, tersaji kuliner murah khas Jawa Timur. Salah satu pedagangnya adalah Sunaimah. Sudah 40 tahun ia menghabiskan kesehariannya untuk menjual makanan di Ampel.

Perempuan asal Madura ini memiliki cara lain untuk memaknai Lailatulkadar. Pada setiap malam ganjil, ia mampu mengais pundi-pundi rupiah hingga jutaan rupiah. Dari menyajikan kue daerah, singkong, tahu, bahkan nasi bungkus, ia bisa melanjutkan hidupnya hingga puluhan tahun.

“Kalau malam ramai gini bisa sampai Rp2 juta, paling dikit ya Rp800 ribu. Ini dijual ada yang seribuan, ini nasi bungkus Rp6000-an. Ya Alhamdulillah malam (akhir Ramadan) ramai,” sahutnya.

Dengan sabar ia menawarkan barang dagangannya kepada setiap peziarah. Jajanan yang dijualnya menjadi salah satu pilihan bagi peziarah untuk menyantap sahur. Sunaimah tentu berharap malam yang mulia ini sebagai momen yang tepat untuk mengumpulkan rezeki berkali-kali lipat.

Mungkin para penjaga parkir juga memiliki cara yang sama untuk memaknai Lailatulkadar. Bila satu motor dikenakan biaya Rp10 ribu, dengan ribuan motor yang terparkir, belum termasuk mobil dan bus, mereka bisa meraup jutaan rupiah.

Baca Juga: Apa Itu Malam Lailatul Qadar? Cari Tahu Yuk di Sini!

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya