Kampung 1001 Malam, Permukiman Tanpa Cahaya di Kolong Tol Dupak

Kalau masuk kampung ini harus hormat lho!

Surabaya, IDN Times - Di tengah gegap gempita dan keindahan ibu kota Provinsi Jawa Timur, ternyata pemukiman kumuh masih menjalar di pinggiran Kota Surabaya. Terletak di Kelurahan Dupak, Kecamatan Krembangan, warga sekitar menjuluki pemukiman tersebut sebagai Kampung 1001 Malam.

Tidak banyak arek Suroboyo yang menyadari keberadaan kampung ini. Kenapa? Karena lokasinya yang terisolir, kampung ini terletak di bawah kolong jalan tol daerah Dupak yang menghubungkan Surabaya-Gresik. IDN Times menjajaki tempat tersebut untuk mengumpulkan sejumlah fakta. Apa saja sih?

1. Pertama kali didirikan pada 1999

Kampung 1001 Malam, Permukiman Tanpa Cahaya di Kolong Tol DupakKampung 1001 Malam di Surabaya (IDN Times/Vanny El Rahman)

Bejo, tokoh masyarakat setempat, mengatakan bahwa Kampung 1001 Malam pertama kali dibangun pada 1999. Semula, tempat ini hanyalah hutan yang gelap gulita dan tidak layak ditinggali. Akibat keterbatasan ekonomi, Bejo tidak punya pilihan kecuali tinggal di tanah yang sudah berpuluh-puluh tahun tidak dimanfaatkan itu.

“Dulu kos zaman Pak Harto masih murah, saya sering pindah-pindah kos. Sampai saya gak punya uang lagi karena kos mahal pada 1999, akhirnya saya pindah ke sini. Saya orang pertama yang bangun kavling di sini,” kata Bejo saat ditemui di rumahnya, Senin (23/12).

2. Menjadi tempat kaburnya bajing loncat

Kampung 1001 Malam, Permukiman Tanpa Cahaya di Kolong Tol DupakKampung 1001 Malam di Surabaya (IDN Times/Vanny El Rahman)

Letak kampung ini bersebalahan dengan jalan tol. Menurut Bejo, lahan bekas sisa jalan tol itu sering menjadi tempat pelarian para bajing loncat. Karena lokasinya yang terisolir, tempat tersebut dikenal warga sebagai sarang kriminal.

Tapi, siapa sangka, seiring kehadiran Bejo dan banyak warga, citra Kampung 1001 Malam sebagai sarang kriminal mulai terhapuskan.

“Dulu bajing loncat, setelah ambil barang dari mobil langsung lari ke sini. Dulu kan belum ada tembok (pembatas tol dengan kampung). Saya kok gimana ya, soalnya barang orang-orang di sini juga dicuri. Akhirnya saya bilang ke mereka ‘aku gak ngelarang kamu curi, tapi itu hak mereka (warga desa)’. Saya ajak ngomong. Akhirnya mereka sadar dan sekarang sudah aman,” terang lelaki berusia 68 tahun itu.

3. Malam selalu menyelimuti kampung ini

Kampung 1001 Malam, Permukiman Tanpa Cahaya di Kolong Tol DupakKampung 1001 Malam di Surabaya (IDN Times/Vanny El Rahman)

Bejo menceritakan, ia menjuluki tempat tinggalnya sebagai Kampung 1001 Malam karena satu-satunya jalan untuk menjangkau daerah tersebut adalah kolong tol Surabaya-Gresik. Sepanjang kolong, malam seolah selalu menyelimuti kampung ini. Lelaki kelahiran Bojonegoro itu menamakan kolong tol sebagai Terowongan Mina.

“Kenapa Terowongan Mina? Karena yang masuk sini harus hormat, kepalanya harus nunduk, kalau tidak kepentok kepalanya sama jalan tol. Dari situ (kolong), kita ketemu kampung, itulah yang saya namakan Baghdad atau Kampung 1001 Malam,” terang dia.

Baca Juga: Berkunjung ke Royal Residence Wiyung, Perumahan dengan 6 Tempat Ibadah

4. Dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah

Kampung 1001 Malam, Permukiman Tanpa Cahaya di Kolong Tol DupakKampung 1001 Malam di Surabaya (IDN Times/Vanny El Rahman)

Saat ini, tercatat 180 kartu keluarga yang mendiami Kampung 1001 Malam. Bejo menyampaikan, rata-rata warga yang tinggal di kampung tersebut adalah masyarakat yang berpenghasilan tidak pasti. “Warga di sini kebanyakan gepeng, ada pemulung, pengamen, pengemis. Ya mereka tinggal di sini karena gak punya pilihan lagi, karena harga kos-kosan sudah mahal juga.”

Bakal mencukupi kegiatan dan pembangunan fasilitas umum di Kampung 1001 Malam, Bejo membebani warga untuk membayar Rp500 ribu per kavling seluas 5x7 meter jika mereka ingin membangun rumah.

“Kalau mereka yang tinggal di bawah kolong, bayar iuran Rp2 ribu per minggu. Uangnya dikumpulkan bendahara untuk bangun musala. Saya juga tarikin iurannya gak maksa, kalau ada ya bayar. Sampai sekarang masih ada yang belum lunas,” katanya.

5. Warga saling bantu-membantu untuk hidup

Kampung 1001 Malam, Permukiman Tanpa Cahaya di Kolong Tol DupakKampung 1001 Malam di Surabaya (IDN Times/Vanny El Rahman)

Mungkin karena ketidakmampuan yang menyelimuti mereka, alhasil warga Kampung 1001 Malam hidup saling bahu-membahu. Nuansa guyub kekeluargaan begitu kental di kampung ini.

“Saya selalu berusaha supaya walaupun mereka tidak mampu tapi jangan berbuat yang tidak-tidak. Kalau ada yang sakit, kita kasih sumbangan Rp200 ribu, kalau meninggal Rp700 ribu. Kalau 17 Agustus, ya kita bangun tenda, bikin acara, kita juga bikin pengajian mingguan,” tutup dia.

Baca Juga: Gedung Setan Surabaya, Miniatur Indonesia yang Tersembunyi

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya