Budaya Instan Bisa Membentuk Mental Joki

Mau cepat sarjana tapi gak mau skripsian, sehat?

Surabaya, IDN Times - Fenomena joki skripsi kembali menghebohkan jagat maya setelah salah satu warga Indonesia mengeluhkan pengalaman buruknya di platform media sosial X. Dalam cuitannya, pengguna tersebut mengungkapkan bahwa jasa yang sudah dibayarnya ternyata tidak diselesaikan oleh sang joki yang malah kabur.

Alih-alih mendapatkan simpati, pengguna tersebut justru menuai kritik karena secara terang-terangan mengaku menggunakan jasa joki, yang mencoreng nilai akademis. Normalisasi praktik joki skripsi ini menunjukkan pergeseran nilai dalam dunia pendidikan. Kondisi ini pun mendapat perhatian dari para akademisi. Wakil Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair), Listiyono Santoso menyayangkan kondisi ini. Ia berharap masalah ini bisa segera terurai. 

1. Joki timbul karena fenomena budaya instan

Budaya Instan Bisa Membentuk Mental JokiIlustrasi tugas perguruan tinggi (freepik.com)

Listiyono mengatakan bahwa fenomena ini muncul karena makin maraknya budaya instan. Mahasiswa punya keinginan menyelesaikan segala sesuatu dengan cepat tanpa memperhatikan proses.

"Budaya instan membentuk mental 'nerabas'. Yang penting tujuannya tercapai, tanpa mempertimbangkan apakah itu melanggar etika atau norma," ujar Listiyono kepada IDN Times, Selasa (30/7/2024). Menurut dia, fenomena ini sebenarnya bukanlah hal baru. Di Indonesia, budaya ini menjadi persoalan yang harus segera diurai.

2. Joki jadi bukti bahwa ada kegagalan dalam transfer pengetahuan dan nilai pendidikan

Budaya Instan Bisa Membentuk Mental JokiIlustrasi mahasiswa mengerjakan tugas (freepik.com/yanalya)

Menurut Listiyono, adanya budaya instan dan timbulnya joki,  membuat masyarakat menjadi menormalisasi kecurangan. Praktik joki, kata dia, juga menunjukkan kegagalan dalam transfer pengetahuan dan nilai dalam pendidikan. "Kultur akademik seharusnya bukan hanya tentang transfer pengetahuan tapi juga transfer nilai, termasuk etika akademik dan moralitas," tuturnya.

Ia menambahkan bahwa masyarakat saat ini lebih mengutamakan gelar sebagai simbol status sosial daripada kualitas intelektual yang sesungguhnya. "Ini adalah alarm bagi proses akademik di Indonesia. Kultur akademik kita belum terbentuk secara baik dalam mentransfer pengetahuan dan nilai," jelasnya. Ia menekankan bahwa pentingnya proses belajar yang dimulai sejak dini, dari SD hingga perguruan tinggi, untuk membentuk sikap dan etika akademik yang benar.

Listiyono mengatakan, pendidikan seharusnya memang jangan hanya mengacu pada pencapaian akademik semata. Semua yang bergelut dalam dunia pendidikan harus sadar bahwa ada nilai kejujuran dan integeritas yang harus dijunjung. "Gelar sarjana memang bisa diperjualbelikan tetapi intelektualitas gak bisa. Jadi orang yang menggunakan joki untuk mendapat gelar sarjana itu secara administratif memang dia menjadi sarjana, tetapi secara substantif dia gagal menjadi seorang intelektual."

Joki, kata Listiyono, sulit dibuktikan secara legal formal meskipun aturan terkait sudah jelas ada. "Jika ada orang yang selain rektual membuatkan orang lain, itu adalah moral kejahatan. Secara moral, itu tidak bisa dipertanggungjawabkan," ujarnya

Ia sendiri mengaku tidak pernah secara langsung menemukannya, tetapi kecurigaan selalu ada. "Saat sidang, bisa terlihat dari narasi mahasiswa. Jika tiba-tiba ada kemampuan yang luar biasa yang tidak pernah ditunjukkan sebelumnya, itu bisa mencurigakan," jelasnya.

3. Mahasiswa bisa gagal lulus kalau ketahuan pakai joki

Budaya Instan Bisa Membentuk Mental JokiIlustrasi tugas mahasiswa (freepik.com/katemangostar)

Untuk mencegah terjadinya praktik joki, kampus telah menerapkan berbagai metode pengawasan seperti penggunaan Turnitin dan pengujian secara langsung atau biasa disebut sidang. "Perlu ada aturan-aturan yang lebih ketat dan dipertanggungjawabkan secara publik," tambah Listiyono.

Bagi mahasiswa yang terbukti menggunakan jasa joki bisa mendapat sanksi berupa pencabutan gelar atau tidak lulus. "Secara moral, itu adalah hazard intelektual. Budaya instan dan keinginan mendapatkan gelar sebagai simbol lebih penting daripada kualitas," katanya.

Untuk itu, Listiyono menilai perlu adanya pembangunan moralitas sejak dini, seperti kemampuan berpikir, dan kemampuan menulis. Dengan begitu akhirnya kemudian mahasiswa akan terbiasa menulis dengan cara yang baik, berpikir dengan cara yang baik.

"Proses akademik harus dibangun sejak SD hingga kuliah, dengan menekankan pentingnya kemampuan berpikir dan menulis yang baik. Sehingga saat mahasiswa membuat skripsi, tidak ada lagi masalah," ujarnya. "Kualitas intelektual harus menjadi prioritas, bukan hanya sekadar gelar," ia menambahkan. 

Baca Juga: Kisah Joki Skripsi Insaf, Sadar Setelah Uang Habis untuk Berobat

Sifa Aulia Jannah Photo Community Writer Sifa Aulia Jannah

If you can dream it, you can do it

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya