Nyala Tenaga Surya di Kebun Naga, Harapan Baru Petani Pacu Produksi 

Energi surya menjadi harapan baru petani lebih hemat

Banyuwangi, IDN Times - Dua buah panel surya yang terpasang di kawasan pertanian buah naga milik Khusaini (45), menarik perhatian sejumlah petani lain di Desa Wringinpitu, Kecamatan Tegaldlimo, Kabupaten Banyuwangi.

Dari 380 lampu yang menyala terang di lahan seluas seperempat hektar milik Khusaini itu, 40 di antaranya bersumber dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Para petani heran, bagaimana sinar matahari bisa menghasilkan listrik dari lembaran panel surya, yang belum mereka ketahui namanya.

Terlebih, Khusaini bisa menghidupkan lampu dan mematikan dari jarak jauh cukup menggunakan aplikasi yang ada di gawainya.

Rasa penasaran petani perlahan terjawab. Sebab listrik sudah menjadi bagian penting untuk memacu produktivitas panen buah naga. Lewat listrik yang menyalakan lampu di malam hari, membuat pohon naga terus berbunga dan berbuah tanpa mengenal musim.

Produktivitas panen pun bisa mencapai dua kali lipat. Tiap hektar, pohon naga dengan lampu bisa panen 26 ton selama satu tahun. Sementara tanpa penerangan lampu, petani hanya panen rata-rata 14 ton per hektarnya.

"Mereka heran, masak benda kayak gitu (panel surya) bisa menghasilkan listrik. Banyak yang datang ke sini, penasaran lihat langsung. Karena saat malam hari, banyak petani yang ke sawah untuk mengawinkan bunga buah naga. Jadi banyak yang penasaran ingin tahu. Saya tunjukkan hasilnya," ujar Khusaini bangga, saat ditemui IDN Times di kebun sawahnya, Rabu (20/10/2021).

Dinas Pertanian Kabupaten Banyuwangi mencatat, luasan tanaman buah naga di Kabupaten Banyuwangi tahun 2021 mencapai 3.786 hektar dari total 66.152 hektar luas sawah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 3.132 hektar pertanian buah naga telah menggunakan lampu untuk memacu produktivitas panen.

Produktivitas panen buah naga pun bisa dipacu dua kali lipat bila menggunakan lampu. Penggunaan lampu di lahan seluas satu hektar bisa memacu panen hingga 26 ton buah naga per tahun, sementara tanpa lampu hanya 14 ton per tahun.

Listrik telah menjadi bagian penting bagi jantung perekonomian pertanian buah naga, bagaimana jika listrik bisa didapatkan secara gratis dari panas matahari?

Sentuhan teknologi tambahan

Nyala Tenaga Surya di Kebun Naga, Harapan Baru Petani Pacu Produksi Petani buah naga bisa menghidupkan dan mematikan lampu PLTS di kebunnya cukup lewat aplikasi di gawai . IDN Times/Mohamad Ulil Albab

Inovasi penggunaan tenaga surya di lahan buah naga milik Khusaini, merupakan buah pemikiran 5 orang pemuda asal Banyuwangi, Liliyani amalia, Muhammad Abdul Rohman, Muhammad Wildan Alviandi Munir, Rahmatullah dan David Prasetyo.

Tidak hanya merangkai panel surya, Anak-anak muda yang membuat usaha rintisan Hoki Smart Lamp ini, memasang sentuhan teknologi tambahan. Panel surya ditambah sistem kontrol mematikan lampu jarak jauh berbasis android. Melalui teknologi Internet of Things (IoT), 5 anak muda menciptakan aplikasi dan web untuk sistem kontrol penggunaan daya lampu.

Teknisi Tim Panel Surya, Hoki Smart Lamp, Muhammad Wildan Alviandi Munir (20) mengatakan, sistem IoT membutuhkan perangkat tambahan seperti sensor deteksi arus listrik, relay, micro controler, adaptor dan modem untuk menyambungkan ke internet.

"Tujuannya untuk sistem pengontrol tanpa harus ada di lokasi, cukup menggunakan handphone. Jadi bisa menghidupkan, mematikan lampu dan mengetahui penggunaan daya listriknya juga," ujar Wildan.

Wildan sendiri merupakan anak Khusaini. Wildan menjadikan lahan pertanian naga milik ayahnya sebagai tempat uji coba. Ia bersama 4 temannya merupakan mahasiswa Teknologi Informasi dari Politeknik Negeri Banyuwangi (Poliwangi). Ide teknologi panel surya di pertanian buah naga membuat mereka meraih Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dari kampus.

"Dananya kemarin Rp9 juta untuk membeli semua kebutuhan panel surya, inverter, kabel, casing hingga baterai," ujarnya.

Tidak hanya itu, sentuhan teknologi lain juga diberikan pada perangkat panel surya. Wildan dan teman temannya memasang tracker untuk mengarahkan panel surya ke sisi timur saat pagi hari, ke tengah saat siang hari dan ke barat saat sore hari.

"Jadi energi panas matahari yang terserap bisa maksimal," katanya.

Selain itu sistem instalasi panel surya juga dibuat hybrid dengan sumber listrik dari PLN. Tujuannya, tentu untuk menghemat biaya dan lampu bisa terus menyala.

Tim panel surya Hokki Smart Lamp lain, Muhammad Abdul Rohman menambahkan, panel surya yang dipasang memiliki kapasitas 200 WP, perangkat inverter untuk mengubah arus DC ke AC sebesar 800 Watt dengan baterai 1010 VA.

Hasilnya, dari biaya Rp 9 juta, rangkaian PLTS yang dipasang mampu menghasilkan 1.28 kwh per hari, untuk menerangi 40 lampu kapasitas masing-masing 8 watt selama 3 jam.

"Lama pengecasan sehari, dan bisa digunakan selama 3 jam. Jadi, kita menggunakan dua sumber listrik, dari PLN dan panel surya, dan untuk mematikan atau menghidupkan kita kontrol lewat handphone," ujar Rohman.

Beli Panel Surya dari Marketplace

Nyala Tenaga Surya di Kebun Naga, Harapan Baru Petani Pacu Produksi Teknisi Tim Panel Surya, Hoki Smart Lamp, Muhammad Wildan Alviandi Munir (20) sedang menunjukkan perangkat PLTS. IDN Times/Mohamad Ulil Albab

Wildan, Rohman dan teman-temannya memutuskan membeli semua kebutuhan PLTS di marketplace. Semua kebutuhan mereka pelajari satu per satu melalui grup pengguna PLTS di media sosial.

"Kami belajarnya otodidak, dan untuk semua perangkat PLTS saya belinya di marketplace. Untuk ferivikasi kualitas, saya riset dari grup-grup media sosial yang mandiri memasang panel surya," jelas Wildan.

Modal Rp 9 juta yang diperoleh dari program PKM kampus, ia gunakan sebijak mungkin. Wildan dan teman-temannya saling mencari perangkat terbaik dengan harga terjangkau. Dua panel surya ia beli dengan harga Rp650 ribu per lembarnya, kapasitas 100 WP.

Selanjutnya, perangkat inverter untuk merubah arus listrik DC ke AC ia peroleh dengan harga Rp3,3 juta kapasitas 800 watt. Kemudian, dua baterai ia beli dengan harga masing-masing Rp2,2 juta kapasitas 1010 VA. Sisanya ia gunakan untuk membeli kabel, perangkat IoT, tracker, dan merakit frame serta tiang besi panel surya.

"Sejauh ini tidak ada masalah, sejak kami pasang pada Juni 2021," jelasnya.

Pengalaman membeli perangkat PLTS secara mandiri di marketplace juga dilakukan Kampus Universitas PGRI Banyuwangi (Uniba). Kampus Uniba juga membuat jaringan PLTS di lahan pertanian buah naga dengan kapasitas 2000 Watt peak (Wp) di Desa Wringinpitu, Kecamatan Tegaldlimo.

Dosen Teknik Mesin Konversi Energi, Uniba, Adi Pratama Putra mengatakan, sebagian besar, masyarakat masih terpancing dengan penawaran harga murah di marketplace. Padahal, untuk perangkat PLTS akan berisiko lebih besar jika memilih harga murah dengan penawaran kualitas bagus. Pengalaman tersebut sudah ia rasakan sendiri saat berbelanja di marketplace.

"Tapi masyarakat terpaku, ingin murah tapi awet, tapi ternyata untuk panel surya tidak bisa," ujar Adi saat dihubungi, Rabu (27/10/2021).

Kendati demikian, marketplace diakui telah membuka ruang kreativitas bagi masyarakat untuk merangkai PLTS secara mandiri. Artinya, setiap orang saat ini sudah bisa membangun jaringan PLTS secara mandiri. Jika sistem merakit PLTS yang tepat dan efisien telah diketahui banyak orang, maka kemandirian energi terbarukan bisa terus bermunculan dari masyarakat kalangan akar rumput.

Adi menilai, sejumlah kelemahan pemula dalam merakit PLTS secara mandiri, salah satunya terlalu mempercayai informasi dari media sosial. Sebagai pemula, tetap perlu pendampingan langsung dari pihak yang sudah berpengalaman agar tidak mengalami kerugian.

"Sudah mandiri merakit, semua sudah tersedia sekarang ini. Dalam pengaplikasian, meski banyak tutorial di internet, tidak banyak yang bisa langsung merakit. Harus melihat dayanya berapa. Kalau orang awam tidak tahu apa itu multitester, amper meter, watt meter. Kesalahan umum salah pilih produk dan percaya di medsos," paparnya.

Adi sendiri pernah mengalami sejumlah kesalahan memilih produk saat berbelanja perlengkapan PLTS di marketplace. Menurutnya, ada tingkatan kualitas panel surya antara jenis monokristalin dan polikristalin.

"Panel surya ada grade A,B,C. Menghasilkan daya berbeda. Yang kelas C, kena sinar matahari tidak langsung bisa menghasilkan arus maksimal, jadi harus menunggu agak lama. Melihat review juga penting, yang pakai berapa orang. Jadi sarannya seperti itu," jelasnya.

Lebih lanjut, ia juga pernah membeli produk pengisian baterai panel surya, Maximum Power Point Trakcing (MPPT) 100 Ah seharga Rp 350 ribu. Saat digunakan untuk menampung daya listrik panel surya 500 WP, dua hari kemudia terbakar.

"Jarak dua hari terbakar, hitung hitungan sebenarnya sudah banyak, tapi prakteknya berbeda. Akhirnya kita ganti yang harga Rp 1,2 juta sampai sekarang masih bagus," jelasnya.

Baca Juga: Merdeka Energi, Berguru pada Warga Lereng Gunung Penanggungan

Nilai hemat Panel Surya dan keuntungan Petani

Nyala Tenaga Surya di Kebun Naga, Harapan Baru Petani Pacu Produksi Infografis perbandingan PLTS dan PLN. IDN Times/Mohamad Ulil Albab

Sejak menggunakan tenaga listrik panel surya, pengeluaran biaya bulanan Khusaini untuk merawat buah naga dengan sistem lampu, semakin berkurang. Di lahannya seluas seperempat hektar, khusaini menanam 360 pohon naga dan memasang 380 lampu LED masing-masing 8 watt. Dalam sebulan, biasanya ia harus membayar ke PLN sebesar Rp 500 ribu. Saat ini, bebannya berkurang 40 lampu setelah menggunakan PLTS.

"Sebelum PLTS, bayar Rp500 ribu. Setelah ada PLTS berkurang RP50 ribu," kata Khusaini.

Energi listrik, memang menjadi kunci utama dalam bisnis pertanian buah naga. Terang lampu di kebun naga saat malam hari bisa memicu produktivitas bunga, meski di luar musim panen. Terang lampu, bisa menjadi pengganti fotosintesis energi matahari.

Umumnya, fase musim panen buah naga tanpa lampu sekitar bulan Oktober hingga Maret, di luar itu tanaman naga tidak akan mengeluarkan bunga bakal buah. Dengan terang lampu di malam hari, tanaman naga di luar musim April hingga September bisa terus berbunga.

Saat berbunga di luar musim, petani cukup membantu proses pengkawinan secara manual dengan menaburkan bagian benang sari ke putik bunga. Hal ini dilakukan agar besar buah bisa maksimal. Buah naga yang panen di luar musim, tentu memicu harga jual yang semakin tinggi, mulai Rp10 ribu sampai RP30 ribu per kilogram.

"Selama 3 bulan periode, hidupin lampu hanya sekitar satu bulan hingga muncul bunga. Jadi tidak terus menerus menghidupkan lampu," kata pria yang sudah 7 tahun menanam buah naga ini.

Di lahan seperempat, Khusaini bisa panen hingga 2 ton. Bila menggunakan lampu, ia bisa panen hingga 4 kali dalam setahun. Artinya, terang lampu, menjadi jantung ekonomi para petani buah naga.

"Keuntungan lumayan, kalau di luar musim (menggunakan lampu) harga Rp10-30 ribu per kilogram. Tapi kalau pas musim (tanpa lampu), panen raya harganya bisa anjlok. Pernah hanya dihargai Rp500 rupiah per kilogram, dapat harga Rp5000 sudah bagus," jelasnya.

Bila dihitung dan dibandingkan, pemasangan panel surya di lahan seperempat hektar untuk 380 lampu dengan sumber energi listrik PLN, tentu di awal lebih terasa ringan menggunakan PLN. Namun, urusan jangka panjang, dari perhitungan jauh lebih hemat menggunakan PLTS.

Wildan, yang mengurus urusan kelistrikan buah naga milik ayahnya mengatakan, pemasangan listrik dengan daya 5.500 VA, membutuhkan biaya Rp7-8 juta, dengan biaya bulanan Rp500.000 per bulan dengan penggunaan 5-6 jam tiap malam selama satu bulan.

Sementara biaya pemasangan PLTS di lahan seluas seperempat hektar setidaknya membutuhkan 10 panel surya masing-masing 100 WP, 6 baterai 6060 VA, dan inverter 3.500 Watt dan kebutuhan lain dengan total biaya Rp30 juta. Jumlah tersebut memang mahal di awal, namun selebihnya petani tinggal memanen panas matahari untuk menjadi listrik secara gratis.

"Lebih hemat panel surya, dengan catatan sistem benar. Jadi batre tidak boleh dicas sampai full, dan kalau digunakan jangan sampai dikuras sampai habis. Intinya jiga sistem pemangasannya tepat bisa bertahan lama," ujar Wildan.

Dosen Teknik Mesin Konversi Energi, Uniba, Adi Pratama Putra MT menambahkan, investasi PLTS di awal memang terkesan cukup mahal bila dibandingkan dengan penggunaan PLN. Namun bila dihitung manfaat dan ekonomis jangka panjang, penggunaan PLTS jauh lebih murah dan ramah lingkungan.

"Masalahnya di pendanaan awal cukup besar.Kalau dibandingkan jangka panjangnya lebih hemat panel surya," ujar Adi.

Dari hasil studi yang dia lakukan, penggunaan listrik PLN untuk lahan seluas seperempat hektar membutuhkan biaya hingga Rp 20 juta, termasuk untuk membeli perlengkapan lampu. Sementara pemasangan PLTS membutuhkan biaya Rp30-40 juta.

"Beli panel surya, Rp30-40 juta, itu sudah jadi plus lampu, bedanya memang 100 persen. Tapi ke depan tidak bayar listrik," terangnya.

Hanya saja, kata Adi, kendala yang sering terjadi dan perlu diantisipasi yakni terkait keamanan perangkat PLTS dari pencurian, bila dipasang di kebun naga.

Kendalanya tapi, itu rawan akan pencurian. Sekarang pun, yang Cuma lampu naga, juga rawan pencurian, karena tidak banyak dieskpos, karena yang dicuri sekitar 15-20 lampu saja. Tapi kalau dirupiahkan ya lumayan," ujarnya.

Mengantisipasi hal tersebut, pihak Uniba telah mengembangkan teknologi yang bisa mendeteksi keberadaan manusia di lahan buah naga yang terintegrasi dengan nomor gawai pemilik.

"Kita juga mengembangkan monitoring lahan, kalau ada orang yang masuk ke lahan akan mendeteksi, dan akan menghubungi nomor orang yang punya lahan itu," jelasnya.

Sementara itu, Khusaini sendiri juga memasang perangkat pengaman tambahan di kawasan pertanian buah naga. Ia sendiri tidak terlalu khawatir dengan kasus pencurian bola lampu yang sering terjadi. Solidaritas antar petani untuk saling mengawasi dan menjaga sudah cukup kuat.

Terlebih, para petani buah naga saling menguatkan satu sama lain bila menemukan beragam inovasi untuk pertanian buah naga.

Setelah Khusaini memasang PLTS di kebun naganya, tidak sedikit petani lain yang mampir untuk bertanya berapa biaya yang dibutuhkan dan bagaimana cara merangkainya.

"Banyak tanya, habis berapa. Sudah tanya lahan, segini, setelah dihitung-hitung habis Rp30 jutaan, mundur," kata Khusaini.

Pemanfaatan energi terbarukan masih minim

Nyala Tenaga Surya di Kebun Naga, Harapan Baru Petani Pacu Produksi Panel surya yang terpasang di lahan pertanian buah naga Banyuwangi. IDN Times/Mohamad Ulil Albab

Kabid Ketahanan Pangan, Dinas Pertanian Banyuwangi, Ilham Djuanda mengatakan inovasi penggunaan listrik untuk pertanian buah naga muncul dari kalangan petani sendiri, sejak tahun 2010. Temuan tersebut kemudian dimatangkan bersama pemerintah daerah untuk mencari metode yang tepat agar penggunaan listrik lebih aman dan panen bisa lebih maksimal.

Pada mulanya, para petani mengamati tanaman buah naga yang ditanam di pekarangan rumah bisa berbunga di luar musim. Tanaman naga tersebut memang terpapar sinar lampu dari penerangan jalan umum. Temuan itu kemudian dicoba dengan sistem penerangan lampu menggunakan listrik genset dengan mesin diesel. Karena harga minyak bumi yang mahal, para petani kemudian menggunakan listrik dari PLN.

"Tahap pertama petani berinovasi dengan lampu dengan penggerak diesel. Kemudian, ini tahap kedua inovasinya dengan listrik PLN, yang itu lebih efisien lagi, dari kajian kebutuhan dari PLN sendiri cukup," kata Ilham saat dihubungi, Selasa (26/10/2021).

Ilham mengatakan, terobosan ketiga yang lebih murah dan efektif, setelah listrik dari genset dan PLN, yakni PLTS. Pihaknya, mengaku telah melakukan sejumlah studi kelayanan untuk sistem pemanfaatan energi terbarukan di pertanian masa depan. Pihaknya menggandeng sejumlah kampus untuk membuat studi uji coba penerapan panel surya di lahan pertanian.

"Itu sekitar tahun 2017-18. Terbatas hanya luasan setengah hektar, untuk kepentingan penelitian. Kalau ke depan berhasil dengan baik, maka akan jadi terobosan yang baik. Dari energi PLN ke energi panel surya. Kendalanya, dari panel surya, mensetting dari energi matahari, masih belum optimal," terangnya.

Ilham mengatakan, sejauh ini belum ada sektor pertanian di Banyuwangi yang memanfaatkan energi terbarukan, khususnya PLTS secara maksimal. Pihak pemerintah daerah sendiri, masih sebatas membantu membuat standar operasional prosedur (SOP) bersama PLN, dan mensubsidi kebutuhan pupuk.

"Sejauh ini masih uji coba, belum ada yang terapin maksimal. Teknologi, baik, optimal, ekonomis, tapi masih perlu kajian untuk skala lebih besar lagi. Kalau dari pemda, disamping kerjasama dengan PLN, SOP masyarakat agar aman menggunakan listrik di kebuh naga. Kemudian pemberian pupuk cair. Ketiga mehilirisasi produk buah naga," paparnya.

SOP yang dikeluarkan dinas pertanian untuk memacu produktivitas panen buah naga, pihaknya menawarkan metode penerangan lampu yang tepat. Penerangan lampu dilakukan selama 6 jam mulai pukul 5 sore hingga 5 pagi, terus dilakukan berulang selama 10 hari.

"Kemudian jeda satu minggu untuk memacu bunga, dan melakukan penyerbukan. Kemudian disinari lagi selama 10 hari.

Ilham mengatakan, belum ditemukan adanya pengaruh signifikan pada usia tanaman buah naga yang dipacu berbuah sepanjang tahun. Penyinaran lampu, hanya merangsang bunga tanpa merubah kualitas rasa dan fisik pada buah.

"Panen sepanjang tahun. Kalau buah, besar tidaknya, lebih ke pupuk. Usia tanaman juga tidak pengaruh. Jadi ini bukan dieksploitasi, karena yang penting asupan puupuk lengkap. Umur tidak lebih pendek, yang penting asupan unsur hara dan pupuk tepat," tambahnya.

Sementara itu, Kasubid Tata Ruang, Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Bappeda Banyuwangi, Rudianto mengatakan, sejauh ini pemanfaatan energi baru terbarukan masih skala kecil dari kalangan masyarakat. Meski demikian, pihaknya tidak memiliki data pasti berapa besar pemanfaatan energi terbarukan skala kecil dari masyarakat, termasuk yang dilakukan Wildan, Rohman dan teman-temannya.

Rudianto mengatakan, Pemerintah Kabupaten tidak memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan terkait pemanfaatan energi terbarukan. Semua proses perencanaan hingga kewenangan untuk mengelola potensi energi terbarukan berada di tangan pemerintah pusat dan provinsi.

"Kondisi di lapangan, inovasi tersebut sudah berkembang. Panel surya, energi ini merupakan kewenangan dari pusat, ESDM. Kaitan dengan apapun, jalannya top down. Untuk hal semacam ini, kita di daerah jarang sekali. Kita kerjakan sesuatu dari mandatori," kata Rudianto.

Pemerintah daerah sendiri, kata Rudianto, juga tidak memiliki data potensi energi terbarukan di daerahnya sendiri.

"Intinya kita siap mendorong energi baru terbarukan. Potensi EBT, kembali lagi karena itu bukan kewenangan kita. Kita kurang tahu, gak ada laporan, itu ke provinsi," terangnya.

PLN Banyuwangi Dukung EBT?

Nyala Tenaga Surya di Kebun Naga, Harapan Baru Petani Pacu Produksi Nyala lampu di pertanian buah naga Banyuwangi. IDN Times/Mohamad Ulil Albab

Mengetahui sejumlah inovasi anak muda Banyuwangi terkait penggunaan panel surya di pertanian buah naga, Manager PLN UP3 Banyuwangi, Krisantus H. Setyawan mengatakan, transisi energi baru terbarukan (EBT) merupakan upaya semua pihak, tidak hanya dari pemerintah dan PLN, namun juga masyarakat.

Hingga saat ini, belum ada kerja sama antara masyarakat sipil di Banyuwangi bersama PLN untuk pengembangan EBT. Pemanfaatan EBT masih sebatas inisiatif dan konsumsi pribadi masyarakat.

"Pemetaan energi terbarukan merupakan kewenangan terpusat, termasuk di Banyuwangi. PLN tetap terus memantau terkait EBT, dan apabila ada pihak yang hendak bekerjasama, kewenangan ada di PLN Pusat. EBT dari kalangan sipil di Banyuwangi sendiri sampai dengan saat ini masih digunakan untuk konsumsi energy pribadi pelanggan," ujar Krisantus saat dihubungi, Jumat (22/10/2021) .

Krisantus mengatakan, PLN siap menyambut era baru Indonesia lebih hijau sampai dengan 2030 mendatang melalui EBT. Kendati demikian, ia juga tidak mengetahui besaran potensi EBT di Kabupaten Banyuwangi.

"Pemetaan sumber energy terbarukan merupakan kewenangan terpusat," jelasnya.

Terkait dukungan di sektor pertanian buah naga, jumlah petani Banyuwangi yang berlangganan listrik ke PLN pada tahun 2021 mencapai 12.971 pelanggan. Melalui program Electrifying Agriculture, pihaknya melakukan penyambungan jaringan listrik pada kebun buah naga, dari tegangan menengah dan rendah.

"Dari sisi daya, PLN siap menyambung permintaan pelanggan. Daya tersambung saat ini untuk petani buah naga mencapai 47,5 MVA dengan jumlah pelanggan per September 2021 sebesar 12.971 pelanggan," jelasnya.

PLN, katanya, berharap pengembangan EBT ke depan dirancang dengan mempertimbangkan supply and demand, potensi energi terbarukan setempat, keekonomian, keandalan, ketahanan dan kesinambungan sistem energi nasional.

Saat ini, serapan energi listrik terbesar di Banyuwangi, ada pada pelanggan rumah tangga sebesar 54,21 persen, diikuti sektor industri dan bisnis, masing-masing sebesar 22,87 persen dan 17,03 persen. Sedangkan sektor sosial menyerap energi listrik sebesar 3,32 persen, diikuti oleh sektor publik sebesar 2,43 persen dan sisanya ada di sektor khusus sebesar 0,14 persen.

Potensi energi terbarukan di Jatim

Nyala Tenaga Surya di Kebun Naga, Harapan Baru Petani Pacu Produksi PLTS di ladang pertanian buah naga di Banyuwangi. IDN Times/Mohamad Ulil Albab

Dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2019, yang mengatur tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) 2019-2050, pasal 5 menyebut, Pelaksanaan RUED-P melibatkan Pemerintah Kabupaten atau Kota, pemerintah daerah lainnya dan pihak ketiga yang terkait. Sementara pendanaan dalam pelaksanaan RUED-P memang bersumber pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.

Sementara itu, Dalam RUED, Pemerintah Provinsi Jawa Timur telah memetakan potensi energi terbarukan. Potensi energi terbesar ada di tenaga surya hingga 10.335 MW. Kemudian angin, 7.907 MW, bioenergi 3.420 MW, panas bumi 1.372 MW, gelombang laut 1.200 MW, mikrohidro 1.142 MW, dan air 525 MW.

Dari total potensi energi, target bauran energi Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam RUED pada 2020 sebesar 4,86 persen, meningkat pada tahun 2025 menjadi 17,09 persen, dan pada tahun 2050 diharapkan porsi EBT menjadi 19,56 persen.

Di sisi lain, Green and Inclusive Energy melaporkan, dari target bauran energi khusus listrik di Jawa Timur pada tahun 2020, Pemerintah Provinsi Jawa Timur baru mencapai 320,59 MW, atau setara 3,28 persen dari total potensi energi terbarukan pembangkit listrik 25,5 GW.

Sementara itu, Institute for Essential Services Reform (IESR), dalam laporannya “Beyond 207 Gigawatts: Unleashing Indonesia’s Solar Potential ”bekerja sama dengan Global Environmental Institute (GEI) menyebut Indonesia memiliki potensi teknis tenaga surya jauh lebih besar mencapai 3000-20.000 GWp dibandingkan data resmi yang dirilis Kementrian ESDM tahun 2017 sebesar 207 GW.

Untuk mengetahui potensi tersebut, IESR menggunakan data geospasial sehingga lahan yang cocok untuk PLTS dapat diidentifikasi.

"Kajian ini merekomendasikan kepada pemerintah untuk memperbaharui sumber data energi terbarukan sehingga dapat memberikan sinyal yang lebih baik untuk mengembangkan energi surya ke depan. Ini juga mendukung upaya PLN untuk mengembangkan tenaga surya, dan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan Rencana Umum Energi Daerah,” ujar Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.

Ia melanjutkan, target bauran energi Indonesia di tahun 2020 baru mencapai 11,5 persen, sementara sesuai komitmen persetujuan Paris, Indonesia berupaya mencapai target 23 persen bauran energi. Dalam laporan “Deep decarbonization of Indonesia’s energy system: A pathway to zero emissions by 2050” oleh IESR, potensi sumber energi surya di Indonesia mencapai20 ribu GWp.

Fabby mengatakan, melihat potensi tersebut, Indonesia secara teknis dan ekonomis mampu mencapai bebas emisi di sektor ketenagalistrikan pada tahun 2045, jauh lebih cepat dibandingkan sektor transportasi dan industri yang mencapai kondisi yang sama pada 2050. Catatannya, Indonesia harus segera membuat akselerasi energi terbarukan, melakukan penghentian proyek PLTU batubara sebelum 2025, penghentian jenis subcritical dan modernisasi jaringan.

"Dibandingkan sektor transportasi dan industri, sektor ketenagalistrikan merupakan low hanging fruit dalam upaya dekarbonisasi sistem energi Indonesia," jelasnya.

Petani itu meniru, bukan hanya teori

Nyala Tenaga Surya di Kebun Naga, Harapan Baru Petani Pacu Produksi Nyala lampu di kebuh buah naga saat malam hari, bisa memicu produktivitas panen di luar musim. IDN Times/Mohamad Ulil Albab

Bisa dibayangkan, berapa keuntungan petani bila energi listrik yang dipasang di lahan pertanian buah naga sudah gratis, bersumber dari panas matahari.

Saat ini, luasan tanaman buah naga di Kabupaten Banyuwangi tahun 2021 mencapai 3.786 hektar dari total 66.152 hektar luas sawah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 3.132 hektar pertanian buah naga telah menggunakan lampu. Dari luasan tersebut, terdapat 12.971 petani yang masih bergantung ke listrik PLN.

Nanang Kurniawan, petani buah naga asal Kecamatan Muncar, yang menggunakan penerangan sumber listrik PLN mengatakan, ia sudah bisa merasakan untung yang cukup besar bila bisa mendapat harga terendah Rp10 ribu per kilogram, saat panen di luar musim.

"Bisa dikalikan saja, setiap musim panen biaya listrik saya Rp800.000, untuk pemasangan Rp6 juta daya 5.500 VA. Saya tanam seperempat bisa keluar 2 ton, harga Rp10 ribu saja itu sudah untung sekali, apalagi kalau Rp30 ribu per kilo," kata Nanang.

Lewat penerangan lampu, Nanang bisa panen hingga 4 kali dalam satu tahun. Kendati demikian, untuk penggunaan listrik Nanang harus terus membayar ke PLN. Risiko tersebut harus ia tanggung, terutama bila kondisi tanaman buah naga terserang hama.

"Namanya rugi semua pernah mengalami. Ya kalau misalkan listriknya bisa gratis dari panas matahari, ya tidak khawatir telat bayar," ujarnya.

Saat mengetahui jumlah investasi pemasangan PLTS yang besar, Nanang berharap, setidaknya ada subsidi atau pinjaman bunga rendah dari pemerintah agar para petani bisa percaya diri dan mau memanfaatkan PLTS.

"Menurut saya, petani itu mau saja, apalagi bisa gratis listrik jangka panjang. Karena tipikal petani itu tidak mau hanya dikasih janji dan teori. Kalau sudah melihat sendiri buktinya, listrik bisa dihasilkan dari panas matahari, pasti tertarik. Ada contoh, ya ada aksi," katanya.

"Tapi kalau investasi awal pemasangan PLTS sampai Rp30 juta per seperempat hektar, ya bagi kami berat," tambahnya.

Baca Juga: Genjot Energi Bersih, Kapasitas Pembangkit Listrik EBT Tembus 386 MW

Topik:

  • Zumrotul Abidin

Berita Terkini Lainnya