Mengurai Konflik Air di Kalipuro, Butuh Edukasi dan Peran Pemerintah

Masih ada ratusan rumah di Papring belum memiliki aliran air

Banyuwangi, IDN Times - Sejak 2014, ratusan warga dari tiga lingkungan di Kelurahan Kalipuro, Kecamatan Kalipuro,  Kabupaten Banyuwangi mengalami konflik horizontal perebutan sumber mata air. Konflik diperparah dengan absennya pemerintah dalam mendampingi manajemen pengelolaan air.

Konflik tersebut dipicu oleh rasa khawatir, bahwa sumber mata air tidak akan cukup bila sudah dikuasai kelompok masyarakat tertentu. Hingga saat ini, sumber mata air di lingkungan Sumber Nanas menjadi tumpuan kebutuhan air rumah tangga di lingkungan Papring dan irigasi persawahan di lingkungan Sawahan.

Konflik bermula saat warga yang tinggal di lingkungan Sawahan takut suplai air untuk irigasi persawahan berkurang. Sedangkan warga di Lingkungan Papring yang tinggal di hulu, merasa perlu mengambil air dari mata air Sumber Nanas untuk kebutuhan hidup sehari hari. 

Sebelumnya, sebagian warga Papring mengambil air dari mata air Sumber Dilem yang ada di kampungnya sendiri. Hanya saja, pada akhir 1990-an, debit air di Sumber Dilem menurun akibat pengambilan bambu yang tak terkendali dan pendangkalan mata air.

Konflik perebutan air pada tahun 2014, antara warga Sawahan, Papring dan di paling hulu, Sumber Nanas, berakhir dengan kesepakatan: warga Papring bisa mengambil air dari Sumber Nanas, namun dari rembesan sungai di bawah aliran pancuran tempat mandi warga. 

Hingga saat ini, sebanyak 300 KK dari 600 KK warga di lingkungan Papring, masih bergantung dari sumber mata air di Sumber Nanas. Warga Papring menyebutnya sebagai air limbah, karena diambil di bawah tempat mandi umum.

"Kalau menurutku mata air di Sumber Nanas cukup untuk memenuhi kebutuhan warga di Papring maupun untuk irigasi di Sawahan. Hanya saja, selama ini kan gak ada pengaturan air, sampai banyak yang terbuang-buang. Misalnya yang bisa menyalur, kalau sudah penuh jedingnya kan terus mengalir terbuang itu," kata Pendiri Sekolah Adat Kampoeng Baca Taman Rimba (Batara), di Lingkungan Papring, Widie Nurmahmudy, Selasa (17/11/2020).

1. Butuh edukasi manajemen pengelolaan air

Mengurai Konflik Air di Kalipuro, Butuh Edukasi dan Peran PemerintahPompa Hidram yang dipasang di bawah jurang sedalam 20 meter, mampu mendorong air hingga pemukiman penduduk di wilayah Papring, Kalipuro, Banyuwangi. IDN Times/Mohamad Ulil Albab

Sejak awal November 2020, Himpunan Teknik Mesin Politeknik Negeri Banyuwangi, lewat program hibah desa binaan, telah memasang pompa hidram (hydraulic ram pump) di sumber mata air.  

Lewat pompa yang memanfaatkan energi terbarukan dari sumber mata air di sekitar penduduk Papring, mata air kapasitas 16 liter per menit, air bisa dipompa ke permukiman penduduk setinggi 20 meter sebesar 1 liter per menit. 

Air tersebut, ditampung menggunakan tandon bervolume 550 liter, cukup untuk memenuhi kebutuhan skala kecil belasan warga. Saat ini penggunaan air dari pompa hidram menjadi contoh manajemen buat warga. Warga hanya boleh memanfaatkan air seperlunya untuk minum dan memasak.

Widie melanjutkan, konflik perebutan air yang berujung tidak dibolehkannya warga mengambil air di bawah pancuran tempat mandi, sebenarnya bisa ditata lagi. Asalkan bisa memberikan rasa saling percaya. 

Persoalan utamanya, kata Widie, karena air yang sudah disalurkan dari Sumber Nanas dinilai telah dikomersilkan oleh warga Papring. Pengelola air atas nama kelompok Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum (Hippam) dan perorangan, terbangun secara swadaya, seperti gotong royong memasang pipa. Biaya pembelian pipa sendiri, muncul dari kekuatan modal perorangan dan kelompok tertentu. 

Hanya saja, selama ini belum ada edukasi bagaimana mengelola air secara adil, sehingga tidak hanya menguntungkan orang atau kelompok tertentu saja. Beberapa pihak pun mulai mempertanyakan izin pendirian Hippam.

Meski demikian, pengelola air mulanya juga mengeluarkan biaya puluhan juta rupiah untuk modal awal. Saat ini di Papring sendiri ada sekitar 20 kelompok Hippam maupun perorangan.

Widie yakin, bila diawali dengan cara yang baik, ditata ulang dan pemerintah bersedia membantu, pasti semua bisa ditata. Khususnya, agar warga kurang mampu yang tidak bisa mendaftar saluran air dengan biaya jutaan rupiah bisa terbantu. 

"Harapannya ada yang merapikan manajemennya, dibuatkan tandon besar, kemudian dibuat sistem seperti PDAM. Karena itu kan jumlah banyak dan butuh bahan banyak. Dan sistem bayarnya bukan menguntungkan personal, karena selama ini yang menerima keuntungan hanya perorangan. Sementara untuk perawatan tidak ada, kalau ada kerusakan, warga masih harus keluarkan uang," kata Widie.

2. Butuh kehadiran pemerintah

Mengurai Konflik Air di Kalipuro, Butuh Edukasi dan Peran PemerintahMasyarakat Papring bersama jajaran Perhutani KPH Banyuwangi Utara sepakat menjaga sumber mata air Sumber Dilem, dengan tidak mengambil bambu di kawasan tersebut. IDN Times /Mohamad Ulil Albab

Kehadiran pemerintah, kata Widie, sangat penting karena masalah perebutan dan penguasaan sumber mata air sudah sangat kompleks. Kelompok maupun perorangan yang menjual air dari kesepakatan pascakonflik telah mengeluarkan uang pribadi hingga puluhan juta rupiah untuk menanggung saluran pipa sepanjang 4-5 kilometer. 

Saneto, salah satu pengelola sumber mata air di Papring yang mengambil saluran sumber dari Sumber Nanas mengatakan, ada alasan tersendiri mengapa dirinya harus menarik biaya hingga Rp1,5-Rp 2 juta ke warga yang ingin mendapatkan air dari pipanya. Pertama, dia butuh biaya besar untuk memasang pipa ke Sumber Nanas. 

"Saya itu sampai jual sapi sama sepeda motor, harga sapi Rp15 juta, sama motor yang saya gadaikan sekitar Rp20 juta. Itu belum biaya lain untuk warga yang waktu itu bantu-bantu," kata Saneto. 

Saat ini, Saneto memiliki 16 pelanggan yang menikmati air dari pipa yang telah dipasangnya. Dari jumlah tersebut, Saneto menarik biaya bulanan sebesar Rp10 ribu. Meski demikian, biaya perawatan yang besar saat pipa rusak membuatnya juga harus menarik iuran tambahan ke pelanggannya. 

"Kalau misalkan dirapikan, paling tidak harus ada kompensasi dari pemerintah. Selama ini kan kami jalani secara swadaya, gotong royong bersama warga," katanya. 

Baca Juga: Kisah Rusady, Penggagas Kampung Ikan Hias di Banyuwangi

3. Mata air Sumber Nanas bak gula yang dikerumuni semut

Mengurai Konflik Air di Kalipuro, Butuh Edukasi dan Peran PemerintahWarga Papring dan Sumber Nanas saat dialog di kawasan sumber mata air yang diperebutkan di tahun 2014. Warga bersama mencari solusi terbaik untuk saluran air bagi warga Papring. IDN Times/Arsip warga Papring

Sementara itu, Muhamad Tali (33), warga Sumber Nanas yang tinggal di bagian hulu mengibaratkan, mata air yang bersumber dari tempat tinggalnya seperti gula yang dikerumuni semut.  

"Kami itu ibaratnya seperti gula. Meski pun manis, tapi gulanya itu tidak tampak, terlalu manis yang disalahin gulanya, serbasalah posisi kami di sana. Kalau waktu konflik (2014), misalkan awalnya itu mintanya baik-baik, kulonuwun (minta izin), ya ceritanya mungkin beda," kata pria yang akrab disapa Mattali itu saat ditemui di rumahnya, Jumat (9/10/2020).  

Mattali mengatakan, saat konflik perebutan air pada 2014, masyarakat Sumber Nanas tidak senang dengan cara melibatkan aparat dan pemerintah. Catatan selanjutnya, mereka juga tidak mau bila air yang diambil diperjualbelikan. 

Air yang diambil dan disalurkan ke masyarakat Papring, kata Mattali, memang berada di bawah pancuran tempat mandi, hasil musyawarah penyelesaian konflik. Hingga saat ini warga Sumber Nanas memang tidak mengizinkan menyambung air secara langsung ke sumber mata air. 

"Terus selalu melibatkan aparat, jadi sini tidak suka. Saya tahu mereka butuh air, tapi ya jangan diperjualbelikan. Waktu itu sampai dua truk satpol PP, TNI, pak camat juga. Ya kami tetap mempertahankan. Kami manusia, bisa pakai cara baik baik, gak perlu kekerasan," katanya. 

Mattali melanjutkan, warga yang sejak awal tidak senang dengan kedatangan aparat, berujung menaruh curiga akan ada kelompok yang mengambil keuntungan dari rembesan air tersebut.

"Silakan ambil, tapi jangan sampai melewati batas ini. Saya sudah tahu semua kalau dikomersialkan, ramai waktu pendaftaran. Ada yang bayar Rp2 juta, Rp 2,5. Kalau di awal masuknya semuanya baik, ya pasti tidak seperti ini. Wong kita sama-sama manusia," katanya. 

Rembesan yang diizinkan warga Sumber Nanas berjarak sekitar 30 meter dari pancuran tempat mandi. Mattali mengatakan, pancuran tempat mandi tersebut sebenarnya tidak dipakai, kecuali saat musim kemarau panjang. 

"Jadi itu bukan air limbah, karena tidak ada yang mandi di sana. Kecuali kalau musim kemarau panjang, kami mandi di atas. Paling lama satu bulan lah, kalau hujan turun sudah gak ada. Ada yang mandi satu dua orang, tapi kami punya dua tempat dari tandon itu, kami yang di bagian utara. Jaraknya sekitar 30 meter, jadi ini sumber, tandon, dan pancuran air. Nah, mereka ambil di bawah pancuran ini," jelasnya. 

Saat ditanya apakah ada kesempatan kedua untuk warga Papring agar bisa mengambil air langsung dari sumber mata air di Sumber Nanas, tidak lagi di rembesan bawah pancuran tempat mandi, Mattali menjawab jika kemungkinan itu masih ada. Catatannya harus melalui tokoh yang dipercaya di Papring dan dikenal memiliki kontribusi sosial positif buat masyarakat. 

"Kalau misalkan ini yang minta masang dari tokoh masyarakat yang punya peran positif, seperti Mas Widie (pendiri Kampoeng Batara), mungkin tidak akan terlalu ribet," jelasnya.

4. Upaya konservasi bambu dan pencarian solusi

Mengurai Konflik Air di Kalipuro, Butuh Edukasi dan Peran PemerintahUpaya penyelesaian konflik perebutan air antara masyarakat Papring, Sumber Nanas dan Sawahan tahun 2014. IDN Times/Dok arsip warga Papring

Melalui pendidikan alternatif, sekolah adat Kampoeng Batara, Widie rutin mengampanyekan potensi kerajinan anyaman bambu di kampungnya untuk meningkatkan rasa percaya diri generasi muda. Tidak hanya kerajinannya, sejak 2016 Widie bersama relawan dan masyarakat mulai mengampanyekan pentingnya menanam bambu. 

Setiap tahun, relawan Kampoeng Batara bersama masyarakat akhirnya menanam bambu di bantaran sungai dan kawasan sumber mata air lokal. Harapannya, selain merawat ragam jenis bambu dan ketersediaan bahan kerajinan anyaman, bambu yang ditanam juga memiliki fungsi meningkatkan debit sumber mata air. 

"Kampanye penanaman bambu itu kan memang untuk menyelamatkan air agar volumenya tidak berkurang. Penanaman bambu sudah dilakukan sejak tahun 2016,  per tahun kami tanam sekitar 50-an bibit, waktu acara pelatihan dan ulang tahun Kampoeng Batara," kata Widie. 

Tidak adanya budaya menanam bambu, kata Widie, karena masyarakat masih menganggap bambu sebagai tanaman pengganggu bila berada di kebunnya sendiri. Warga yang mayoritas menjadi perajin anyaman bambu lebih memilih berburu tanaman bambu di hutan kawasan Perhutani. Padahal, sejak dulu bambu menjadi ikon. Bahkan kata Papring sendiri diambil dari akronim panggonan pring (tempatnya tanaman bambu). 

"Untuk menanam di kampung, di tegalnya sendiri gak mau, karena dianggap mengganggu tanaman lain, bikin pertumbuhan tidak bagus, kurus. Makanya, kampanye ini lebih untuk edukasi pentingnya menanam bambu itu apa. Karena kan secara ekonomi tidak langsung tampak menghasilkan," ujarnya. 

Belajar dari pengalaman, bahwa sumber mata air yang tidak terjaga akan menyusut debitnya, warga Papring mulai membuat kesepakatan baru. Akhir Oktober 2020, masyarakat bersama Perhutani sepakat tidak akan menebang pohon maupun bambu di kawasan Sumber Dilem, menjadikannya hutan perlindungan. 

Asper KBKPH Ketapang, KPH Banyuwangi Utara, Suwandi akhirnya juga turut mendukung gerakan masyarakat menanam bambu. Bambu-bambu yang ada di kawasan Sumber Dilem kemudian didata, mulai dari jenis dan pemberian plat nama. Upaya ini, kata Suwandi penting, meski ada kegiatan penanaman, bila tidak ada kekompakan menjaga bersama akan percuma. 

"Dalam kawasan perlindungan, harus ada kesadaran dulu, kalau kita tanam mereka tidak peduli, ya rusak juga nantinya. Jadi kali ini para pengepul, pencari, perajin ini kami ajak bareng-bareng untuk mau menanam bambu, sekaligus membangun komitmen menjaga dan melestarikan jangan sampai debit airnya menurun," kata Suwandi, Jumat (9/10/2020).  

Luasan kawasan KPH Bayuwangi Utara mencapai 50 ribu hektare, terbagi di wilayah administrasi Kabupaten Situbondo dan Kabupaten Banyuwangi. Bambu-bambu tersebut tersebar secara sporadis di bawah tegakan pohon pinus. 

"Zona bambu ini memang sporadis, ada yang di hutan alam, lindung dan hutan produksi. Kalau di RPH Gombeng yang dimanfaatkan masyarakat ada di bawah tegakan pinus," ujarnya. 

5. Butuh kehadiran pemerintah

Mengurai Konflik Air di Kalipuro, Butuh Edukasi dan Peran PemerintahPemasangan pipa yang berada di bawah sumber mata air bekas tempat mandi tahun 2014. Pipa tersebut berjarak sekitar 30 meter di bawah sumber mata air yang terdapat tempat pemandian umum. IDN Times/Dok arsip warga Papring.

Pompa hidram yang menjadi solusi akses air bersih untuk warga memang hanya menjangkau skala kecil kebutuhan warga. Meski demikian, hadirnya pompa hidram menjadi pelajaran penting untuk menghargai air, menggunakan air seperlunya. Air cukup dipakai untuk minum dan memasak.

Sementara itu, masih terdapat 300 KK dari total 600 KK di lingkungan yang bergantung pada rembesan mata air dari Sumber Nanas. Dari 300 KK, setidaknya 50 persen belum memiliki akses air bersih ke rumahnya karena tidak sanggup berlangganan secara komersial.

Sebagai tokoh masyarakat, Widie menilai, butuh edukasi dari pemerintah bila ingin menata ulang. Sehingga, ada pengelolaan air yang adil dan profesional. 

"Terutama pemerintah, jangan hanya datang beri bantuan, tapi berikan juga pemahaman tentang pemanfaatan air, pengetahuan pengelolaan. Bahwa air boleh dinikmati siapa saja, tapi harus sesuai porsinya, misalkan kalau jedingnya penuh ya sudah, jangan sampai terbuang percuma. Kemudian pengelolaan dari yang punya legalitas, selama ini tidak ada. Ini bisa ditangani bersama," ujarnya. 

Asper KBKPH Ketapang, KPH Banyuwangi Utara, Suwandi juga ingin bersama menata ulang kembali penggunaan sumber mata air yang masih liar dan belum memiliki legalitas.  

Pihaknya bersama Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) bakal mengajak masyarakat untuk membuat perjanjian kerja sama terkait penggunaan sumber mata air dan upaya konservasi. 

"Selama ini tidak ada legalitasnya, nanti di perjanjian kerja sama harus ada bagaimana mereka bisa menjaga kelestarian sumber mata air. Kalau mau dikomersialkan, silakan diatur di situ, yang penting jangan sampai menyalahi aturan. Misalkan perawatan sumber mata air berapa persen, perbaikan saluran air berapa. Intinya, agar tidak ada monopoli air dari kelompok tertentu. Jadi semua sama-sama merasakan," kata Suwandi. 

6. Berjanji siap mendampingi

Mengurai Konflik Air di Kalipuro, Butuh Edukasi dan Peran PemerintahWarga saat gotong royong memasang saluran pipa dari mata air di Sumber Nanas menuju Papring pada 2014. Pipa yang dipasang antara Sumber Nanas dengan Papring panjangnya sekitar 4-5 kilometer. IDN Times/Dok warga Papring

Sementara itu, Lurah Kalipuro, Slamet Suryono mengatakan, pengelolaan air di Papring selama ini memang masih belum ada yang legal dan mendapatkan pelatihan manajemen. Menurutnya, warga perlu mengajukan izin secara legal. 

"Orang-orang itu nyalur air tanpa pakai meteran, air mengalir lepas, hingga terbuang. Kalau dikelola secara profesional kasih meteran, kasih keran, jadi warga bisa banyak yang menikmati. Harus izin, nanti dinas terkait yang mendampingi. Kalau kami memfasilitasi, membantu kalau misalkan butuh pengantar dari kelurahan," kata Slamet saat dihubungi, Senin (16/11/2020). 

Slamet lantas menawarkan studi tiru ke wilayah Secang yang sudah memiliki kelompok Hippam legal. Slamet berjanji siap mendampingi.  

"Bisa contoh di Secang, saya siap antar ke sana. Administrasinya seperti apa, izinnya bagaimana. Kalau Hippam ada izinnya, juga dikomersialkan, tapi kan ada pengurusnya," jelasnya. 

Slamet mengatakan, konflik masyarakat di Papring, Sawahan, dan Sumber Nanas memang sudah terlalu dalam dan kompleks. Saat konflik terjadi, Slamet mengaku bingung melakukan mediasi, hingga muncul kesepakatan warga bisa memasang pipa di rembesan di bawah pancuran tempat mandi. 

"2014, itu sudah lancar, saya sempat cek, saya mediasi sampai 16 kali. Airnya dari Sumber Nanas, saya cek jedingnya ya belum pakai keran. Solusi terbaiknya menurut saya PDAM ini bisa masuk, masak di sana itu jalannya sudah rusak, PDAM juga gak masuk," jelasnya. 

Senada dengan Slamet, Kasie Pembangunan dan Pengembangan Air Bersih Dinas PU Pengairan Kabupaten Banyuwangi, Hary Soeprapto juga menilai saluran PDAM menjadi menjadi solusi terbaik untuk masyarakat di Lingkungan Papring. Menurutnya, persoalan perebutan sumber mata air butuh pendekatan tersendiri. Masyarakat yang selama ini menyambung pipa secara mandiri juga harus berbenah. Hanya saja, saat ini untuk menyambung pipa air PDAM ke Papring kondisi topografi yang berbukit menjadi tantangan tersendiri. 

"Harapan kami bisa ke PDAM itu, solusi terbaik, karena legalitasnya jelas. Kalau di Papring soal gravitasi," ujar Soeprapto, Selasa (17/11/2020). 

Bila di satu desa atau kelurahan terdapat banyak kelompok, menurutnya harus diatur secara terpadu. Seperti di Papring, terdapat 20 perorangan dan kelompok yang mengelola air secara komersial. Menurutnya, perlu ada tatanan Hippam induk di satu desa. 

"Harapan kami ada satu desa satu Hippam, perkara di tiap dusun ada Hippam, itu tetap jadi Hippam dusun. Hippam induknya tetap di tingkat desa. Satu desa satu induk Hippam. Hippam dusun pelaporannya di induk Hippam," kata Soeprapto. 

"Kalau yang di Papring, salah tatanan mulai dari awal, setahu saya ada sekitar 20 kelompok masyarakat yang pengambilan air sendiri. Kalau bisa harus ada badan hukum, itu enak untuk bantuan dari provinsi atau pusat," jelasnya. 

Baca Juga: Sedot Air Tanpa Listrik, Solusi Kekeringan di Kawasan Bukit Banyuwangi

Topik:

  • Dida Tenola

Berita Terkini Lainnya