Menyambung Asa ODHA Anak di Surabaya

Orangtua meninggal karena HIV

Surabaya, IDN Times - Sepintas rumah yang berada di Jalan Dukuh Kupang Timur XI Nomor 41 Surabaya itu tampak seperti rumah pada umumnya. Selain papan penanda yang sudah mulai usang, nyaris tak ada tetenger atau penanda apapun pada rumah berpagar hitam itu.

Namun, siapa sangka rumah itu merupakan tempat ratusan Orang Dalam HIV/AIDS (ODHA) anak menyambung asa. Rumah tersebut merupakan sebuah yayasan bernama Abdi Asih milik Liliek Sulistyowati (68) yang biasa dipanggil Vera. 

Ia sedang bersama seorang anak perempuan berusia sekitar tujuh tahun saat menyambut IDN Times dengan ceria. Wajah anak itu putih bersih dan rambutnya panjang. Ia adalah A, salah satu anak ODHA yang dirawat Yayasan Abdi Asih. Dua anak perempuan lainnya, N dan K ikut menghampiri. Wajah mereka begitu ceria meski satu dari mereka tubuhnya mulai menghitam digerogoti HIV. 

"Mereka betah di sini, kadang sampai 10 tahun, A sudah 7 tahun. Dia melebihi darah dagingku sendiri," ujar Vera ditemui pada Sabtu (9/12/2023). 

Tak lama, seorang anak laki-laki juga datang menghampiri, dia adalah S. Tubuhnya kurus hanya tinggal kulit dan tulang. Berbeda dengan empat anak perempuan, S terlihat lebih diam. Sesekali ia merengek kecil.

"Dia ini saat umur tiga bulan di Dinas Sosial Sidoarjo, kemudian dia umur berapa itu saya dipanggil. Akhirnya saya dampingi sampai empat bulan di rumah sakit," kata Vera kemudian merangkul S. 

Wajah ceria mereka menjadi obat atas kesedihan yang baru saja dialami Vera. Sebab, Vera belum lama ditinggal meninggal satu anak yang ia rawat. Anak itu bernama NR yang meninggal beberapa hari lalu. Vera bilang, NR hanya bertahan 10 tahun saja. Orangtua NR lebih dulu meninggal, kemudian Vera lah yang merawat NR. Air mata pun tak sengaja jatuh kala Vera mengenang anak-anak yang telah yang lebih dulu meninggalkannya. 

"Mereka datang silih berganti, tasnya bajunya saya simpan, ada R umur enam tahun, ayo R kita makan ceker, dia sudah mau berangkat (meninggal) aku peluk dia dipinggir jalan. Sama dengan F, semuanya punya kenangan yang indah untuk aku," ungkap Vera mengenang anak-anak yang pernah dia rawat. 

Sudah lebih dari 100 anak yang dirawat oleh Vera sejak yayasan itu ada pada 1995 silam. Vera harus berpindah-pindah tempat tak jauh dari eks lokalisasi Dolly karena ia hanya mengontrak. 

"Paling tidak 113 (anak yang dirawat selama yayasan berdiri). Yang sekarang tinggal di sini empat anak. Sama ada juga yang kita kos kan juga, kalau yang di sini kategori biasa-biasa saja belum masuk stadium, belum kena paru-paru," ungkap Vera. 

Vera membangun yayasan itu atas kepeduliannya terhadap HIV/AIDS pada pekerja-pekerja seks komersial (PSK) Dolly. Seiring berjalannya waktu, yayasan itu menjadi tempat untuk merawat penderita ODHA.  

Sebenarnya, bukan cuma anak-anak yang Vera rawat. Ada juga yang datang bersama ibunya. Kemudian ibunya meninggal di tempat Vera. Setelah orangtua mereka meninggal, Vera lah yang merawat anak-anak tersebut. 

Kini, anak-anak yang tinggal di Yayasan Abdi Asih adalah anak-anak yatim piatu. Mereka, ditelantarkan oleh keluarga karena tak mau merawat. Vera mendanai yayasan tersebut dari kantong pribadi. Salah satu penghasilan utamanya adalah dengan membuka usaha jasa boga alias catering. 

"Dulu RSUD Dr Soetomo belum punya tempat untuk HIV/AIDS, itu dikirimnya di tempat saya, sampai beberapa tahun dikirimnya di tempat saya," katanya. 

Dengan sabar Vera merawat mereka, memberi obat setiap pagi dan sore, rutin mengantarkan mereka ke RSUD Dr Soetomo, menyekolahkan mereka dan mendatangkan guru mengaji setiap hari. Vera merawat anak-anak tersebut, kerap hingga ajal menjemput.

"(Anak penderita AIDS bisa bertahan) paling lama 10 tahun," tutur dia. 

Meski bertahun-tahun telah merawat anak ODHA, bukan berarti Yayasan Abdi Asih mulus-mulus saja. Vera kerap kali mendapat diskriminasi dari masyarakat. Yayasan tersebut pun sampai harus pindah-pindah tempat. 

"Bukan hanya anak-anak yang dapat stigma buruk, sak aku-aku e pisan (aku juga dapat stigma buruk). Sampai pernah di balai RT saya disidang, wong dikuburkan saja itu tidak boleh di makam umum, harus di kuburan Mr X," tutur dia. 

Berbagai stigma buruk yang Vera terima, tak menyurutkannya untuk tetap merawat anak ODHA. Bagi Vera, merawat anak-anak ODHA merupakan sebuah hiburan. Apalagi, kini dia sudah sudah menginjak senja. 

"Yang membuat saya mau mengurus anak-anak itu karena mereka gak ada yang mengurus, wong keluarganya saja gak mau. Apakah saya dibayar, tidak. Saya dibayar sama Allah dikasih kesehatan," jelas Vera.

Merawat anak-anak ODHA adalah sebuah kebahagiaan tersendiri baginya. Atas hal ini, berbagai penghargaan pun diraih oleh Vera. Ia bahkan kerap diundang televisi nasional sebagai narasumber. 

Tak cuma A, N, K dan S. ODHA anak berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya, tercatat ada 7. Mereka bagian dari jumlah besar kasus HIV di Kota Surabaya. Di Kota Pahlawan sendiri sampai dengan bulan Oktober 2023 ada 1.122 kasus HIV. Jumlah tersebut mengalami peningkatan jika dibanding 2022 yang hanya 827 kasus. 

Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kota Surabaya, Nanik Sukristina mengatakan, indikasi terjadinya risiko penularan HIV pada anak disebabkan oleh kurangnya kepatuhan minum obat ARV bagi ibu yang telah terinfeksi HIV. Selain itu, juga tidak adanya dukungan dari keluarga, serta ketidakberdayaan seorang istri terhadap permasalahan kesehatannya.

“Sebagai upaya pengendalian, Surabaya terus konsisten dan masif dalam kegiatan skrining HIV terhadap seluruh kelompok populasi berisiko, tanpa membedakan status kependudukan,” tegasnya.

Nanik menyebut, Kota Surabaya telah melakukan perluasan layanan testing HIV melalui 122 layanan. Di antaranya pada 63 Puskesmas, 57 rumah sakit, dan 2 klinik utama. 

“Sedangkan, untuk pemberian layanan dukungan, perawatan dan pengobatan (PDP) HIV juga telah tersebar di 52 layanan di 38 puskesmas, 13 rumah sakit, dan 1 klinik utama,” jelasnya, 

Untuk mencegah HIV/AIDS pihaknya melakukan berbagai hal, mulai dari melakukan kampanye penyebarluasan informasi pencegahan dan penularan HIV bagi pelajar, membentuk petugas penjangkau untuk melakukan edukasi dan skrining HIV pada kelompok beresiko dengan sasaran waria, lelaki seks dengan lelaki, pengguna narkoba suntik (Penasun), serta pekerja rumah hiburan umum (RHU).

“Kami melakukan pemeriksaan HIV secara mobile atau bergerak menyasar pada RHU dan tempat-tempat yang diduga sebagai hotspot (lokasi) kelompok beresiko. Selanjutnya, melakukan layanan testing HIV yang di fasilitas oleh layanan kesehatan, seperti Puskesmas, rumah sakit pemerintah dan swasta, maupun klinik utama,” ujarnya.

Tak hanya itu, Dinkes Kota Surabaya terus melakukan pemeriksaan Early Infant Diagnosis bagi bayi usia minimal 6 minggu. Pihaknya juga melakukan skrining HIV secara rutin setiap tiiga bulan sekali bagi perilaku kelompok berisiko penularan virus HIV. Pemberian pengobatan ARV Test and Treat juga diberikan secara gratis, serta memperluas akses pengobatan HIV pada puskesmas dan rumah sakit.

“Kami membentuk pendamping sebaya dari komunitas ODHA di wilayah kerja untuk memberikan support psycho-sosial. Selain itu, kami juga memberikan dukungan PMT bagi ODHA untuk mempertahankan kondisi kesehatan dan meningkatkan imunitas, pendampingan, konseling dan kunjungan rumah (home care) untuk memperkuat kondisi psikologis pasien,” lanjutnya.

Dinkes Kota Surabaya juga berkolaborasi dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lain di lingkup Pemkot Surabaya dalam penanganan permasalahan kependudukan, seperti kebutuhan Akte dan Kartu Keluarga (KK). 

“Penguatan kelompok dukungan sebaya (KDS) melibatkan ibu hamil HIV dan anak-anak dengan HIV juga terus dilakukan. Penguatan konseling oleh dokter atau psikolog di layanan HIV baik bagi pasien, pasangan pasien, dan keluarga juga demikian,” pungkasnya

Sementara itu, konsultan infeksi Anak RSUD Dr. Soetomo, Dr. Dominicus Husada, dr., SpA(K) menjelaskan, angka harapan hidup anak penderita HIV/AIDS saat ini sudah meningkat. Secara ilmu, anak-anak yang menderita HIV/AIDS bisa hidup sampai tua seperti anak pada umumnya. Tentu saja dengan semua upaya pengobatan dan perawatan saat ini. 

"Di lapangan, pada kenyataannya, masalah terbesar adalah kepatuhan minum obat. Sekitar separuh dari anak-anak HIV ini kehilangan minimal satu dari orang tua mereka sehingga selanjutnya dirawat oleh keluarga yang lain. Malas minum obat akan menurunkan kualitas hidup. Juga harapan umur panjang. Pada remaja hal ini lebih berat lagi," ujar dia. 

Ia menyebut 99,9 persen HIV/AIDS pada anak terjadi karena penularan dari ibunya. Cara termudah dan saat ini paling berhasil agar ibu tidak menularkan HIV/AIDS pada anak adalah dengan memberi obat pada ibunya dan selanjutnya pada bayinya. 

"Bila ini dilakukan, risiko penularan hanya 1 banding 100. Itu mengapa banyak klinik HIV anak di negara maju sudah tutup," ungkapnya. 

Jika seorang ibu menderita HIV/AIDS namun tidak minum obat dan bayinya ketika lahir juga tidak minum obat, maka risiko tertular pada si bayi adlaah maksimal 40 banding 100. 

"Jadi ada 60 bayi pada situasi tersebut yang tidak tertular (oleh sebab yang tidak sepenuhnya diketahui). Namun jika ibu diobati sebelum melahirkan dan si bayi juga diobati setelah lahir maka 40 per 100 menjadi hanya 1 per 100," jelasnya 

Dia menyebut, saat ini belum ada penderita HIV sembuh karena minum obat. Ada empat penderita sembuh di dunia namun bukan melalaui minum obat dan kemungkinan besar tidak bisa diulang pada penderita lain.

"Dunia juga sedang mengamati tiga penderita lain yang juga dalam perjalanan kesembuhan. Mereka juga bukan karena minum obat," tuturnya  

Secara teori, jika obat HIV diminum pada minggu-minggu pertama setelah virus masuk maka penyembuhan bisa 100 persen. Hal ini yang mendasari program pencegahan pasca paparan. Jadi setelah terduga tertular, orang bisa minum obat sebulan dan pada umumnya tidak akan berkelanjutan sakit. 

"Sayangnya saat tertular itu, biasanya yang dirasakan hanya flu ringan dan meriang sehingga orang tersebut biasaanya tidak curiga sudah tertular HIV. Jika pengoabatan baru mulai diberikan setelah sekitar 2 bulan terpapar maka HIV akan sangat sulit disembuhkan," ungkapnya. 

Upaya pengobatan saat ini adalah memberikan obat HIV. Obat membuat kualitas hidup mereka jauh lebih bagus, namun mereka tidak bisa sembuh. "Kita sedang menunggu obat yang lebih canggih untuk bisa menyembuhkan. Jadi keadaan pasien HIV saat ini seperti diabetes atau hiperkolesterol atau darah tinggi. Artinya, tidak sembuh namun kualitas hidup terjaga selama rajin minum obat," pungkas dia. 

Dari penjelasan panjang lebar yang diutarakan oleh Pemerintah dan ahli tersebut, bukan tidak mungkin kasus HIV pada anak seperti yang dialami K, S, N dan A akan dapat diminimalisir. Anak-anak akan bisa hidup layaknya anak-anak pada umumnya.

Baca Juga: Ada 543.100 ODHA di Indonesia, Kemenkes Targetkan Selesai  2030

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya