Menelisik Medok Surabaya, Akulturasi Budaya Tionghoa-Jawa

Dialek Cino Suroboyo melawan warisan penjajah

Surabaya, IDN Times - Kita mungkin kerap melihat atau mendengar tutur kata medok khas warga Tionghoa di Surabaya, seperti kata 'Kok Isa' yang berarti kok bisa, 'Uayu Pol' yang berarti sangat cantik, 'Lu jok gitu' yang berarti kamu jangan begitu, dan masih banyak lagi tutur kata lain. Tutur kata ini tak lepas dari akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa yang berkembang di Surabaya.

Budayawan Tionghoa Surabaya, Freddy H Istanto menjelaskan, Lasem, Rembang, Jawa Tengah disebut-sebut sebagai pusat mendaratnya orang-orang Tiongkok ke Indonesia. Kemudian mereka menyebar ke seluruh nusantara, termasuk Kota Surabaya dan membangun rumah hingga kelenteng. Masyarakat Tionghoa sudah ada di Surabaya sejak tahun 1293. 

"Kelenteng- kelenteng awal itu selalu dibangun dekat sungai, sebagai rasa syukur kepada dewa laut yang membawa mereka selamat sampai tujuan," ujar Freddy kepada IDN Times, Minggu (4/2/2024)

Beberapa kelenteng yang dibangun dekat Sungai adalah Kelenteng Jalan Gula, Kelenteng Jalan Dukuh, Kelenteng Boen Bio dan lain sebagainya. Hingga kemudian lahir pemukiman-pemukiman Tionghoa.

Sifat dan sikap yang mudah beradaptasi para imigran yang membuat mereka cair dan mudah melebur dengan penduduk lokal. Demikian juga ketika mereka tinggal dan menetap di Indonesia.

"Hampir semua bagian Nusantara ditemukan etnis ini, termasuk di Papua. Imigran awal ke Indonesia adalah bujangan atau pria-pria kuat yang mampu sampai ke Nusantara," ungkap dia. 

Kemudian mereka menikah dengan penduduk lokal dan terjadilah percampuran budaya. Lahirlah budaya baru, yang disebut Peranakan yakni percampuran budaya Tiongkok dan lokal. 

"Sebenarnya tidak ada pribumi asli di Indonesia. Kata pribumi dan non-pribumi lebih pada konteks politik dan kekuasaan," jelasnya. 

Freddy menjelaskan, sebenarnya sejak mendarat di Nusantara, Tionghoa berperan di semua bidang kehidupan. Tionghoa hanya focus di bidang bisnis, itu hanyalah labeling-labeling politik.

"Peran-peran sosial budaya mereka tidak berhenti dalam hal perdagangan. Banyak tokoh Sosial, Budaya, politik yang menjadi bagian kemajuan bangsa Indonesia," terang dia. 

 Hampir di semua bidang kehidupan, orang Tionghoa punya sumbangan besar bagi kemajuan kotanya. Begitu juga halnya di Surabaya.

"Misalnya di bidang media, Jawa Pos awalnya didirikan oleh orang Tionghoa, di bidang sastra, Surabaya punya beberapa tokoh seperti Lan Fang Alm," katanya. 

Hidup bersama dan terlibat dalam segala aspek ini lah yang kemudian memunculkan akulturasi budaya antara masyarakat Surabaya asli dengan Tionghoa. Termasuk juga dalam bahasa. 

"Salah satu ciri khas Tionghoa Surabaya, adalah dialek pasar Atom-an. Yaitu Bahasa perpaduan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Surabaya-an. Seperti 'lu jok gitu' artinya kamu jangan begitu, ada juga 'beli baju ne ndik mana,' artinya beli baju dimana dan lain-lain," tutur dia. 

Kemudian ada juga panggilan khas seperti Koko yang artinya kakak laki-laki, Cece artinya kakak perempuan, Shu-shuk artinya paman dan Ai yang artinya bibi. 

"Dialek-dialek 'Cino Suroboyo' ini bahkan mampu membenamkan istilah-istilah tinggalan Belanda seperti Om dan Tante," katanya. 

Menurutnya, panggilan dan bahasa 'Cino Suroboyo' ini tak sekadar panggilan. Tapi ada sebuah transisi peralihan kekuasaan pemerintahan, ekonomi dan lain sebagainya. 

Baca Juga: Sejarah Kedatangan Warga Tionghoa ke Lampung, Sejak Hindia Belanda?

Topik:

  • Zumrotul Abidin

Berita Terkini Lainnya