Mandiri Pangan dengan Lahan Tidur, Cerita Warga di Kaki Suramadu

Membantu ketahanan pangan, keluar dari jeratan kemiskinan

Surabaya, IDN Times - Suraji (45) tampak sibuk memilah botol plastik bekas siang itu, Jumat, (4/11/2022). Layaknya tukang sampah lain, warga Tambak Wedi, Kecamatan Kenjeran, Surabaya ini juga memilah untuk mencari barang-barang terbuang yang masih memiliki nilai ekonomi. Lumayan katanya untuk menambah pendapatan bulanan.

Tapi, tugas Suraji belum usai. Ia sadar kebutuhan hidup tak bisa ditutup hanya dengan penghasilan menjadi tukang sampah. Berbekal arit, Suraji bergegas ke sebuah tanah yang berisi tanaman bayam tak jauh dari rumahnya. Di tengah terik sinar matahari, ia menyiangi gulma-gulma yang tumbuh subur di samping lahan bayam. Beberapa bayam yang terlihat sudah cukup umur ia panen sebelum kemudian dijual. 

Uang hasil menjual panen itu akan kumpulkan untuk kemudian dibagi dengan tujuh anggota kelompok tani lainnya. “Hasilnya lumayan, satu orang satu bulan dapat Rp500 ribu, ya cukup untuk tambah-tambah,” kata dia sambil menghisap dalam-dalam kreteknya. Suraji sendiri tergabung dalam kelompok tani Kelompok Tani Tandur Makmur bersama enam orang lain.

Jumlah ini belum ditambah gajinya sebagai tukang sampah dan hasil dari memilah sampah. Baginya, jumlah ini cukup untuk sekadar bertahan hidup. Apalagi, ia hidup seorang diri, tanpa anak dan istri. “Dulu sebelum bertani dapat Rp1,3 juta, sekarang nambah jadi Rp1,8 juta, ya Alhamdulillah cukup,” kata dia. 

Tapi, jangan bayangkan lahan tempatnya bertani adalah sebuah tanah subur dengan sistem pengairan ideal. Tanah seluas 1,5 hektare di sekitar kaki jembatan Suramadu itu sebelumnya merupakan lahan tidur. Bahkan, di beberapa sisi digunakan untuk membuang sampah warga setempat. 

Mandiri Pangan dengan Lahan Tidur, Cerita Warga di Kaki SuramaduSuyono saat memanen tanaman miliknya. IDN Times/Khusnul Hasana

Kisah manis lain diceritakan oleh Suyono (55). Pria yang juga Ketua Kelompok tani Tandur Makmur ini mengatakan bahwa ia dan enam tetangganya sejak Maret 2022 lalu mendapat amanah untuk merawat lahan tidur milik Pemkot Surabaya. Penunjukan itu merupakan bagian dari program padat karya untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). 

“Di sini untuk sambilan saja. Tapi lumayan untuk tambah-tambah,” kata Suyono. Anggota dari kelompoknya pun memiliki beragam latar belakang, mulai tukang sampah, Satpam, hingga Lansia pengangguran. 

Mereka menanam bermacam sayur, mulai bayam, sawi, jagung, cabai keriting, pisang, mentimun, terong hingga singkong. “Dapatnya tidak menentu, tergantung musimnya. Tapi rata-rata satu bulan kami dapat Rp4 sampai Rp5 juta dan dibagi tujuh anggota kelompok,” ujar dia.

Beda dengan Suraji, Suyono sendiri menggantungkan hidup sepenuhnya pada pertanian. Selain merawat lahan milik pemerintah kota, Suyono juga memiliki 1,5 hektare lahan yang ia tanami padi dan blewah. 

1,5 hektare lahan pertanian Tambak Wedi ini, bukan satu-satunya lahan tidur milik Pemerintah Kota Surabaya yang dialihkan menjadi lahan pertanian. Setidaknya, ada 18 lahan aset yang diubah untuk bercocok tanam dan digarap oleh warga MBR. Lahan itu kebanyakan adalah lahan Bekas Tanah Kas Desa (BTKD) di Surabaya. 

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, Antiek Sugiharti mengatakan, lahan tidur itu tak serta merta ditanami. Pemkot sebelumnya melakukan survei untuk melihat potensinya. Mereka kemudian akan memberikan rekomendasi, apakah lahan bisa digunakan untuk lahan pertanian atau perikanan. 

“Dari daftar yang masih ada potensi pertanian, dilakukan pengolahan lahan dengan pembersihan lahan, penggemburan, pemupukan dan pembuatan guludan,” ujar Antiek kepada IDN Times. 

Di tahap awal, lahan akan ditanami tanaman pangan perintis seperti jagung dan singkong untuk memperbaiki kondisi tanah. Ketika lahan tersebut dianggap siap untuk digarap, maka melalui program padat karya dimanfaatkan untuk MBR sebagai lahan budidaya pertanian. “Total lahan tidur untuk padat karya ada 2,89 hektar. Dengan potensi panen total 15,93 ton,” ucap dia.  

Lahan tidur untuk pertanian ini sepenuhnya dirawat oleh warga MBR seperti Suraji dan Suyono. Begitu juga dengan hasil panennya, bisa untuk dijual atau untuk dikonsumsi sendiri. “Kalau di bawah saya langsung itu ada 210 orang MBR yang (menggarap lahan) padat karya,“ terang dia.   

Untuk mendapatkan nilai ekonomis usaha, di tahap awal pengembangan lahan, kata Antiek, pemerintah memberi bantuan produksi, mulai dari benih, bibit, pupuk hingga alat pertanian. 

Menurur Antiek Pemkot Surabaya memang berani jor-joran membiayai MBR untuk menggarap lahan tidur. Selain ingin warganya mentas dari kemiskinan, mereka juga tak mau begitu saja membuang potensi pertanian di kota metropolitan itu. Maklum, Surabaya mampu memanen ribuan ton hasil pertanian  tiap tahunnya. 

Baca Juga: Jaga Ketahanan Pangan Saat Pandemik, Malang Dorong Pertanian Kota

Sementara itu, Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi pun berkomitmen untuk terus berupaya mempertahankan ketahanan pangan dengan mengoptimalkan aset milik Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. "Jadi kita memang menyiapkan ada beberapa lahan pemkot yang dimanfaatkan oleh masyarakat Surabaya yang belum bekerja, salah satunya adalah digunakan untuk pangan, seperti ketela pengganti beras. Ini juga nanti Insyaallah kita akan kolaborasi dengan koperasi," kata Eri. 

Apa yang dilakukan Suraji dan Suyono serta Pemerintah Kota ini juga menjadi jawaban kecil atas ancaman krisis pangan. Apalagi, Presiden Joko “Jokowi” Widodo  kerap memberi peringatan tentang krisis ekonomi 2023 dan ancaman krisis pangan. Meski hanya sejengkal lahan, mereka diharapkan bisa mandiri dan nantinya bisa lepas dari jerat kemiskinan.

Baca Juga: Seni Tani, 'Bangunkan' Lahan Tidur di Perkotaan untuk Pertanian

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya