Kisah April Berjuang Membebaskan Anaknya dari Stunting Usai Sembuh TBC

Perkembangan sang anak pun terganggu

Surabaya, IDN Times - Aprilia Sari, (27) seorang ibu muda dari Surabaya harus berjuang membebaskan anak perempuanya dari stunting. Cerita bermula saat sang anak yang kala itu berumur 1 tahun divonis menderita Tuberculosis (TBC). Penyakit yang menyerang paru-paru ini membuat nafsu makan sang anak menurun. Bobotnya pun perlahan susut. Beruntung, dengan pengobatan rutin, anak April sembuh setahun kemudian. 

Tapi masalah tak selesai di sana. Sang anak sudah kadung sulit makan. Kondisi ini pun berpengaruh pada pertumbuhan sang buah hati. "Pas kena TBC itu makan minum gak mau, jadi badannya kurus, pertumbuhannya lambat," ujar April, kepada IDN Times, Sabtu (20/8/2022). "Dia baru bisa jalan itu usia 2,5 tahun. Sampai sekarang masih harus terapi bicara," April menambahkan.

Anaknya yang kini berusia 4,5 tahun itu hanya memiliki berat sekitar 12 kilogram. Padahal harusnya, anak seusianya memiliki berat 16 sampai 17 kilogram. April pun kini harus berjuang mengatrol berat badan sang anak. Ia melakukan segala cara, mulai dari memberi makanan bergizi hingga susu formula.

"Sudah saya kasih makanan yang dia suka, ya tetap tidak mau. Kita dapat bantuan susu formula dari pemerintah datangnya tidak pasti," sebut April. Kini, sembari terus merapal doa, April berharap ada jalan keluar lain agar sang anak bisa terbebas dari stunting dan bisa tumbuh layaknya anak-anak lain. 

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kota Surabaya, Tomi Ardiyanto, tak menampik kisah April. Pemkot Surabaya, kata dia, terus mengupayakan agar semua balita bebas stunting dengan menyuplai berbagai nutrisi. Bahkan, menurut Tomi, Pemkot pun melakukan langkah antisipasi dengan memberikan pemahaman kepada calon pengantin hingga sosialisi kepada ibu hamil.

Antisipasi lain dilakukan Pemkot dengan mencegah pernikahan dini. Sebab, salah satu pemicu stunting adalah perkawinan di bawah umur. "Umur kurang dari 19 tahun reproduksi perempuan belum matang," ujarnya.

Ia pun menyebut angka stunting di Kota Pahlawan sejak 2017 hingga 2022 terus mengalami penurunan. "Tahun 2017 ada 19.363 kasus, 2018 ada 16.220 kasus, 2019 ada 15.391 kasus 2020 ada 12.788 kasus dan 2021 ada 6722 kasus dan 2022 per Mei ada 1316 kasus," kata Tomi. Menurut Tomi, Pemkot Surabaya melalui Posyandu juga terus memantau ibu hamil, sebelum melahirkan. "Itu kita memberika edukasi pola makan, pola kesehatan."

Upaya untuk menekan stunting juga dilakukan oleh Pemerintah Provinsi. Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Jawa Timur, Arumi Bachsin mengatakan, angka stunting di Jawa Timur (Jatim) terbilang masih tinggi, yakni mencapai 23,5 persen selama 2021. Angka itu sedikit lebih rendah dari nasional yang mencapai 24,4 persen. Namun, angka ini masih jauh dari angka prevalensi atau jumlah total yang ditargetkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yakni 14 persen. Sadar kondisi di Jawa Timur jauh dari angka ideal, ia pun meminta semua pihak untuk dapat menekan angka stunting, setidaknya di bawah 20 persen.

Menurut Arumi, ada banyak sebab yang menyebabkan angka stunting masih cukup tinggi. Salah satunya tentang minimnya informasi yang didapat "Juga bisa terjadi karena faktor ketidaktahuan atau keterbatasan informasi," ujarnya. Untuk itu, Pemprov pun membuat Komunitas Isi Piringku. Komunitas ini bertugas menyosialisasikan panduan sekali makan dengan asupan nutrisi yang berimbang. 

Ibu-ibu seperti April tentu berharap apa yang dilakukan pemerintah benar-benar bisa menjadi solusi. Sebab, persoalan anak emoh makan tak akan selesai dengan acara seremonial atau paparan angka-angka positif demi pencitraan.

Baca Juga: Cegah Stunting dengan Pemenuhan Gizi di 1000 HPK

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya