Jeritan Korban Kekerasan di Kota yang Katanya Ramah Anak

Padahal Surabaya selalu mendapat predikat kota ramah anak

Surabaya, IDN Times - Masih jelas di ingatan SN (41) kala keponakannya B (13), tiba-tiba merajuk, meminta menjenguk sang ibu di rumah sakit. Tak sekadar menjenguk, sesampainya di rumah sakit, remaja asal Kecamatan Tegalsari, Surabaya ini dengan terbata menceritakan tentang peristiwa kejam yang menimpa dirinya.

B mengaku dicabuli oleh kakaknya sendiri A (17), ayahnya E (43) dua pamannya R (47) dan I (43). Sang kakak bahkan memperkosanya dalam kondisi mabuk berat. Bagai petir di siang bolong, kabar itu pun membuat sang ibu sangat terpukul. Di hari itu pula, B dan sang ibu memutuskan untuk tak lagi pulang dan memilih mengungsi di rumah susun neneknya. 

SN sendiri tak menyangka jika empat orang pria yang tinggal serumah bersamanya itu menjadi pelaku kekerasan kepada keponakannya sendiri. Selama mereka tinggal bersama, dua saudara kandungnya E dan R serta ponakanya A dan iparnya I terlihat baik-baik saja. Tak pernah sekalipun SN melihat mereka melakukan hal-hal aneh. 

"Saya gak tahu kalau bapaknya kayak gitu, gak nyangka," ujar SN, Sabtu (20/1/2024). 

Rasa amarah dan sedih pun muncul dari wajah SN. Mengapa peristiwa itu harus dialami keponakan dan dilakukan oleh anggota keluarganya. 

"Saya pasti marah, kok bisa. Ingat kita punya anak perempuan, orang tua harusnya melindungi dan mengayomi. (Pengakuan ayah korban) kita tekan seperti apapun jawabannya tetap satu khilaf," ungkapnya. 

Selama ini B tinggal bersama SN di sebuah rumah kecil berukuran kurang lebih 6 kali lima meter dengan dua lantai. Rumah tiga kamar itu dihuni tiga Kepala Keluarga (KK) yang berjumlah 10 orang.

Tiga kamar itu, satu kamar ditempati SN dan suami, satu kamar ditempati B bersama ayah dan ibunya, satu kamar ditempati pelaku bernama R. Sementara kakak B tidur di ruang tengah lantai dua, dan pelaku I tidur di ruang tamu. 

"Sekarang korban tinggal di rumah neneknya di rumah susun bersama ibunya," katanya. 

Meski demikian, SN tak mau menghakimi anggota keluarganya. Ia menyerahkan mereka kepada polisi dan meminta agar mereka mempertanggung jawabkan kelakuannya. 

"Namanya saudara sejelek apapun tetap saudara gak akan dilepas begitu saja, pasti akan dijenguk," kata dia. Aksi empat pelaku ini pun dilaporkan ke Polrestabes Surabaya. Pada 15 Januari 2024 empat pelaku ini kemudian ditangkap. 

Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya, Hendro Sukmono mengatakan pelecehan yang dialami B ternyata sudah dilakukan sejak 2020, atau saat B duduk di kelas 3 SD. Hendro bilang, hasil pemeriksaan, hanya kakak B yang melakukan pemerkosaan. Sementara pelaku lain melakukan pelecehan dengan memegang payudara B.

"Tidak dilakukan bersama-sama, pelaku saling tahu (antara pelaku saru dengan lain melakukan pelecehan) tapi tidak saling membahas," ungkap dia. Sementara itu, ayah B, E mengaku melakukan hal ini karena khilaf. Selama ini, E tidur bersama B dan ibu B dalam satu kamar.  "Saya melakukan mulai kelas lima SD, tapi cuma gini aja (pegang payudara), saya kira istri saya, saya khilaf mas," ujar Hendro menirukan pelaku. 

E juga mengaku dia tak tahu anak laki-lakinya memperkosa anak perempuannya. Setelah kini mengetahui kejadian tersebut, E pun merasa malu dan marah.  "Saya gak tahu, saya malu, marah," ungkap dia. 

B bukan satu-satunya anak yang mendapat kekerasan, ada empat anak lainnya di Kota Surabaya yang bernasib sama dengan B. Empat anak tersebut yakni GEL (9), yang mendapat penyiksaan dari ibunya CA (26). GEL dipukul hingga disiram air panas oleh ibunya sendiri. Kemudian ada juga A (4) yang dicabuli oleh tetangganya RM (21) menggunakan sumpit dan kaki boneka. Lalu AA (16) yang diperkosa oleh anggota TNI AL berinisial SH (24) di sebuah hotel. 

Maraknya kasus kekeraaan pada anak ini tengah menjadi perhatian khusus. Apalagi Pemerintah Kota (Pemkot) tengah berjuang agar Surabaya bisa mendapat predikat Kota Layak Anak (KLA) Dunia atau Child Frendly City Initiative (CFCI).  Pemerintah Kota Surabaya telah enam kali mendapat predikat KLA dari Pemerintah Pusat. 

Sementara itu, Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi mengatakan kasus kekerasan pada anak tidak mempengaruhi upaya Surabaya menuju KLA Dunia. Sebab, bagaimanapun juga, kata dia, kasus kekerasan pada anak sangat mungkin terjadi di kota metropolitan seperti Surabaya. 

"Karena kan kejadian ini (kekerasan pada anak), kan dari sekian juta orang (warga Surabaya), (kekerasan dilakukan) berapa orang," ujar Eri. 

Eri menyebut, berdasarkan pendapat UNICEF dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA), suatu kota mendapat predikat Kota Layak Anak tidak dilihat dari kasus kekerasan yang terjadi di Kota tersebut. Tapi bagaimana semua elemen yang ada di dalamya bekerjasama agar kekerasan pada anak dapat dicegah. 

"Karena kejadian seperti ini itu tidak bisa ditinggalkan, podo karo wong berbuat kejahatan tidak semua bisa jadi baik, tetapi apa yang harus kita lakukan adalah menguatkan di masing-masing perkampungan," ungkap dia. 

Pihaknya telah melakukan berbagai upaya agar kasus semacam ini tidak terjadi lagi. Upaya tersebut seperti menggelar Sekolah Orang Tua Hebat (SOTH), Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) di balai RW hingga meningkatkan rasa empati sesama tetangga di perkampungan. 

"Inilah yang selalu saya katakan, inilah yang lebih penting yang harus kita tingkatkan dari pada pembangunan. Pembangunan itu ketok moto (kelihatan mata), tapi yang seperti ini dampaknya sangat luar biasa," jelas dia. 

Sementara itu, Kepala Kantor Unicef Perwakilan Indonesia untuk Wilayah Jawa, Tubagus Arie Rukmantara menjelaskan, sejak 2022, Wali Kota Surabaya telah mengirimkan surat kepada UNICEF yang mengungkapkan minat menjadi salah satu anggota Child Frendly City Initiative atau CFCI, yakni sebuah aliansi tingkat dunia bagi kota-kota yang sudah mendapat predikat layak anak di tingkat nasional. "Apabila disetujui, Kota Surabaya akan menjadi kota pertama di Indonesia yang mendapat gelar CFCI," ujar Arie. 

Di sisi lain, pada bulan Juli 2023, Kota Surabaya juga kembali menjadi Kota Layak Anak Utama, status tertinggi KLA yang diberikan KemenPPA RI. Prestasi ini makin meyakinkan UNICEF untuk memproses keanggotaan Surabaya menjadi salah satu CFCI. 

"Apabila semua target RKT berhasil tercapai di 2024, maka tahun ini Kota Surabaya bisa saja mendapatkan predikat CFCI. Syaratnya, semua kelompok Masyarakat, termasuk hexa helix seperti media, swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi, lembaga keuangan, anak-anak dan pemerintah kerja bersama, kolaborasi sepenuh tenaga mewujudkan RKT," jelas dia. 

Arie menjelaskan, keuntungan bila Surabaya menjadi CFCI. Selain punya reputasi dunia sebagai kota yang mewujudkan dan melindungi hak anak, bukan hanya terdepan di Indonesia. Kemudian dampak ekonominya, ketertarikan investor dan pegiat bisnis yang berfilosofi pembangunan berkelanjutan dan merata akan tertarik menumbuhkan ekonomi di Surabaya. Serta dampak Kesehatan mental dan psikologis bagi anak-anak Surabaya yang bangga dan nyaman tinggal di kota yang yang layak dihuni anak-anak.

"Bukan hanya anak Surabaya, tapi anak-anak warga asing yang datang dari berbagai penjuru dunia karena tertarik dengan status Kota Layak Anak Dunia Kota Surabaya," tutur dia.

Menurutnya, tujuan CFCI dan KLA bukanlah nol kekerasan. Tapi untuk membangun sistem respon yang gerak cepat melibatkan seluruh komponen warganya. "Kasus kekerasan dapat ditekan dan dicegah karena fasilitas anak banyak dan anak dilibatkan di rapat-rapat pembangunan," kata dia.

Maraknya kasus kekerasan  di Surabaya ini bahkan mendapat sorotan dari anak-anak Surabaya yang diwakili Forum Anak Surabaya (FAS). Ketua FAS, Neerzara Syarifah Alfarizi (18) mengaku miris melihat banyaknya kasus yang terjadi. Apalagi, Surabaya sudah menjadi langganan penghargaan layak anak. 

Ia pun mengaku gencar melakukan bebagai langkah preventif untuk mencegah kasus kekerasan anak agar tidak terjadi. "Kami sudah banyak juga melakukan kegiatan seperti seminar, kampanye dan lain-lain, cuma memang kota Surabaya populasinya banyak jadi kasus kekerasan seperti ini sering kecolongan," ujar remaja anak yang biasa disapa Caca kepada IDN Times, Sabtu (27/1/2024). Ia menyebut target sosialisasi juga harus dibenahi. Sebab, kebanyakan sosialisasi justru dilakukan kepada orang-orang yang sudah peduli.

FAS, kata dia, kini juga telah memiliki program Pelopor Pelapor dan kanal pengaduan bernama Sobat FAS di Telegram. Layanan ini diperuntukkan bagi anak-anak yang ingin mengadukan masalahnya, termasuk mengadukan kekerasan yang dialami. 

Caca berharap, kasus kekerasan pada anak tidak terjadi lagi. Seluruh elemen di Kota Surabaya harus berkolaborasi dengan baik dalam melakukan pencegahan. "Jadi pemerintah kota itu tidak bisa bekerja sendirian. Anak dan remaja itu harus dilibatkan dalam setiap kebijakan yang dibuat pemerintah," ucapnya. 

Bila anak-anak dilibatkan dalam menentukan kebijakan, hasil dari kebijakan itu akan bisa dirasakan oleh mereka. Temasuk kebijakan soal pencegahan kekerasan. 

"Aku harap sih masyarakat Kota Surabaya sudah peduli ya terhadap kekerasan dari mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi, harapannya kalau kekerassn pada anak terjadi itu, teman-teman sudah tahu cara melapor yang baik dan benar," pungkas dia

Baca Juga: Berkas Kasus Kekerasan Anak Anggota DPR Ronald Tannur Tak Juga Rampung

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya