Alotnya Mengintegerasikan Transportasi Massal di Kota Pahlawan 

Mau naik trasnportasi umum tapi ribet banget

Surabaya, IDN Times - Kehadiran dua trasnportasi massal, yaitu Suroboyo Bus dan Trans Semanggi memunculkan harapan baru warga Surabaya. Warga sudah membayangkan kemacetan Surabaya akan berkurang sejalan dengan menurunnya emisi karbon. Harapan itu pula yang sempat muncul di benak salah warga bernama Iwan We. Ia pun mulai membiasakan diri naik transportasi massal di Surabaya.  Iwan mengaku ingin membantu mengurangi emisi karbon dan kemacetan.

Alih-alih niat baiknya ini terkabul, Iwan justru mendapat masalah baru. Waktu tempuh yang ia butuhkan lebih lama. Selain itu, kocek yang ia keluarkan dari kantong pribadi pun nyatanya lebih banyak. Lebih dari itu, dua moda itu bak kakak beradik yang berada di tempat yang sama, namun tak saling menyapa. Sama sekali tak terintegerasi.

Iwan mencontohkan pada Sabtu (28/1/2023) lalu saat menumpangi dua bus ini dari Graha Pena menuju ke Gunung Anyar. Dengan kendaraan pribadi, Iwan biasanya hanya butuh sekitar  setengah jam. Sementara, saat menggunakan Suroboyo Bus dan Trans Semanggi ia butuh kurang lebih dua jam dengan tiga kali transit.  

“Secara waktu tidak dapat diandalkan, waktuku habis di jalan, harusnya maksimalkan satu jam lah, belum lagi bayarnya, ribet rek. Pada akhirnya ya orang akan berpikir naik motor lebih murah dan cepet,” ujarnya. 

Iwan yang juga salah satu anggota Forum Diskusi Transportasi Surabaya (FDTS) ini menilai bahwa kondisi ini terjadi karena transportasi massal di Surabaya tak lepas dari tumpang tindihnya pengelolaan dua moda tersebut. Jika Suroboyo Bus dikelola oleh Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Surabaya, Trans Semanggi Suroboyo merupakan tranportasi di bawah Kementerian Pehubungan (Kemenhub) RI. Sementara Bus Listrik dan Trans Jatim dikelola Damri.

“Masyarakat itu gak lihat siapa yang mengoperasikan. Artinya, tahunya di Surabaya itu ada layanan tranasportasi. Bahkan masyarakat sering bingung antara Suroboyo Bus dengan Trans Semanggi Suroboyo, cara bayarnya juga. Problem seperti ini tidak ada upaya untuk menyelesaikan,” ungkap dia. Jika transportasi dikelola dengan baik, Iwan yakin masyarakat akan perlahan meninggalkan kendaraan pribadi. Sebaliknya, jika pemerintah kota tak bisa memberi solusi, jangan harap minat masyarakat akan meningkat. 

Gambaran sepinya minat warga untuk naik trasportasi massal di Surabaya bisa terlihat jelas dari data Kementerian Perhubungan tahun 2022. Penumpang transportasi massal di Koridor 2 Surabaya misalnya, angkanya cenderung fluktuatif. Bahkan, tak jarang dalam sebulan load factor atau persentase keterisian penumpangnya tak sampai 50 persen.  

 

Anggota DPRD Kota Surabaya, Aning Rahmawati pun mengamini tak terintegrasinya moda transportasi massal jadi salah satu faktor rendahnya minat penumpang. Alotnya integerasi terjadi karena belum ada titik temu antar pengelola. Belum lagi, salah satu modanya, yaitu Trans Semanggi, dikelola oleh pihak ketiga melalui layanan Buy The Service (BTS). 

“Antara pemerintah pusat dengan pihak ketiga ini tanpa melalui Pemerintah Kota, sehingga mereka belum menemukan (pemecahan masalah). Harusnya konsep BTS itu kita free,” ujarnya.

Menurut Aning, solusi yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai pengelola tunggal transportsi massal di Kota Pahlawan. 

"Kita sudah dorong (membuat BUMD), selama ini kan masih pakai UPTD. Asisten II Pemerintah Kota itu juga bilang akan dijajaki, BUMD itu akan mengelola transportasi di Surabaya," tutur dia. 

Aning menambahkan, bukan cuma soal integerasi, regulasi transportasi massal selama ini belum menjadi prioritas. “Regulasi ini untuk Prolegda 2023, nanti di tahun perubahan anggaran kita minta Dinas Pehubungan memasukkan regulasi transportasi,”ungkap dia. 

Selain regulasi, anggaran transportasi massal juga minim. Anggaran transportasi di Surabaya, kata dia, hanya 15 persen dari total anggaran Dishub Surabaya yakni Rp70 miliar. Jumlah itu bahkan hanya 0,61 persen dari APBD Kota Surabaya. 

"Jadi jika Surabaya ingin mewujudkan moda transportasi sesuai kebutuhan dan mengurai kemacetan, maka cara yang harus ditempuh adalah meningkatkan PAD," kata dia.

 

Alotnya Mengintegerasikan Transportasi Massal di Kota Pahlawan Bus listrik trans Semanggi. (Dok. Diskominfo Kota Surabaya)

Kasi Angkutan Jalan dan Penumpang Dinas Perhubungan (Dishub) Surabaya Ali Mustofa juga tak menampik jika pembahasan integerasi transporasi massal antara Kemenhub RI, Dishub Surabaya dan Dishub Jatim masih alot. Salah satu poin yang masih terus dibahas adalah soal tiket satu kali.  

“Ini memang kita perlu untuk duduk bersama, karena mamang masing-masing pemerintah daerah memikiki kebijakan sendiri-sendiri. Kita mencoba untuk bagaimana menurunkan egosektoral kita,” ujar dia.

Meski integerasi dengan pemerintah pusat belum terjadi, namun Pemkot Surabaya, kata dia, sudah mencoba mengintegerasikan transportasi massal yang mereka miliki dengan dengan angkutan pengumpan atau feeder. Keduanya dalam satu operator yang sama yakni di bawah Dinas Pehubungan Kota Surabaya, yang sama-sama menggunakan APBD Surabaya. 

Meski transportasi di Surabaya masih jauh dari kata ideal, pemerintah kota tetap menargetkan akhir tahun 2023 ini 40 persen masyarakat beralih transportasi dari pribadi ke massal. 

“Setiap tahun kita berusaha menambah angkutan feedernya, dengan feeder akan mempermudah masyarakat untuk naik Suroboyo Bus maupun Trans Semanggi, itu kita harapkan kita bisa naik 40 persen di tahun ini,” pungkasnya. 

Baca Juga: Hasil Survei: Suroboyo Bus Belum Ramah Difabel

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya