Mereka yang Dirundung Semasa Sekolah

Langgengnya subkultur sok jagoan pemicu perundungan

Surabaya, IDN Times - Semuanya bermula dari tugas kelompok membuat keripik pare. RKA (12) salah satu siswa SMPN 2 Kota Batu jadi korban perundungan. RKA dikeroyok oleh teman-temannya, yakni AS (13), MI (15), KA (13), MA (13), dan KB (13), hanya karena tidak terima dapat bagian tugas mencetak cara membuat keripik pare. Bocah malang itu baru-baru ini dikabarkan meregang nyawa setelah dilarikan ke Rumah Sakit Hasta Brata Kota Batu.

Pemkot setempat akhirnya menetapkan setiap tanggal 31 Mei sebagai Hari Peduli Bullying Kota Batu. Selain menjadi penghormatan bagi korban, peringatan ini juga dimaksudkan untuk membangun kesadaran masyarakat terkait isu perundungan anak.

Meski keputusan Pemkot itu terkesan optimis, namun tak serta merta membuat rantai budaya perundungan di masyarakat putus begitu saja. Bahkan, pemulihan pada para penyintas bullying tak semudah membalikkan telapa tangan. IDN Times mencoba menelisik lebih dalam bagaimana para penyintas bullying semasa sekolah bisa pulih dan survive.

Perkara keceplosan sebut nama cowok di Facebook

Mereka yang Dirundung Semasa Sekolahwww.freepik.com

Ana (21) mengawali kisahnya ketika berada di bangku Kelas 6 salah satu Sekolah Dasar (SD) di Kota Surabaya. Ia memiliki kawan sepermainan yakni N dan beberapa anak lainnya. Sebagai teman dekat, N banyak berbagi cerita kepada Ana, termasuk soal laki-laki yang pertama kali ia sukai. N meminta Ana untuk merahasiakan nama laki-laki itu kepada siapapun.

"Satu waktu, aku keceplosan nama cowok yang disuka N waktu komentar di postingan teman di Facebook. Besoknya dia marah ke aku dan aku minta maaf. Oke dari situ clear kan kita main lagi," katanya.

Namun pasca hari itu, nampaknya kekesalan N kepada Ana belum sepenuhnya mereda meski ia sempat memaafkan Ana. Hal ini diketahui ketika Ana iseng mencoba login akun Facebooknya ke ponsel N karena saat itu ia tidak punya ponsel. 

"Aku lupa logout akunku. Besoknya pas login di laptop aku kaget karena kok aku banyak bikin status ngolok-ngolok N ya. Dan notif langsung penuh temen-temen yang kaget lihat aku ngetik begitu, padahal selama ini gak pernah," ujar mahasiswi ITS ini.

Dari situ Ana merasa N sebenarnya masih marah dan berusaha memfitnah Ana. Singkat cerita, ketika di sekolah mendekati jam pulang, N berkata agar jangan pulang dulu kepada Ana. Ternyata Ana dibawa N dan beberapa anak lain ke tempat parkir sekolah yang sudah sepi.

"Tanpa ada omongan tiba-tiba di situ aku disiram sebotol air sama N. Badanku langsung mematung dan aku langsung nangis sampai di rumah. Aku pulang dijemput temanku yang lain dan orang tua gak tahu karena posisinya kerja," jelas Ana.

Ana mengaku tidak pernah bercerita pada orang tuanya karena tidak terbiasa. Keinginannya besar untuk bolos sekolah agar tidak bertemu N. Namun jika ia bolos, orang tuanya pasti akan langsung tahu kalau ada masalah.

"Semenjak itu rasanya tiap mau berangkat sekolah berat banget karena takut ketemu N. Untungnya kita pisah waktu SMP dan sampai sekarang lost contact."

Baca Juga: Kematian Korban Perundungan Jadi Hari Peduli Bullying Kota Batu 

Dirundung satu angkatan sebab muka jerawatan

Mereka yang Dirundung Semasa Sekolahbullying di sekolah (pexels.com/RDNE Stock project)

Tak ada yang pantas dirundung termasuk karena penampilan. Sayangnya, dunia ini bukan tempat yang ideal. Setidaknya itulah yang dirasakan Vino (20). Mahasiswa Unesa ini mengaku pernah menjadi korban bullying kala tahun terakhirnya di bangku SD dan masih berlanjut hingga SMP. Baik verbal maupun fisik, keduanya pernah ia alami.

"Waktu SD kelas 5 dan 6 sih aku dibully gara-gara mukaku jerawatan banyak. Itu yang ngebully aku satu angkatan, cowok dan cewek, bener-bener pada ngejauhin aku," ujar Vino.

Vino sendiri enggan menyebutkan seperti apa spesifiknya ejekan yang ia terima. Ia telah lama berusaha melupakan kata-kata menyakitkan yang ditujukan pada dirinya karena menurutnya itu perundungan terparah yang pernah ia alami.

"Kalau waktu SMP itu aku pernah dirundung secara fisik. Cuma karena aku lupa bayar utang, itu dipukulin sama anak satu geng gitu. Nangislah aku sampai di rumah dan ibuku tahu akhirnya dilapor ke Kepsek," kata lelaki asal Gresik ini.

Memang orang tua dari kedua belah pihak yakni Vino dan si pelaku sudah dipertemukan. Sayangnya, kepala sekolah menganggap hal itu sebatas 'guyonan' dan diarahkan untuk menempuh jalur damai. Bahkan pelaku lolos tanpa sanksi sama sekali.

Diakui Vino pelaku memang kerap berbuat onar di sekolah bahkan tidak naik kelas. Uniknya, rumah pelaku berdekatan dengan rumah Vino. Meski di sekolah kerap diganggu, tetapi ketika di rumah mereka bermain selayaknya teman akrab.

"Istilahnya mungkin bermuka dua. Di situ aku jadi ragu sebenernya aku ini dirundung apa enggak sih. Tapi semakin ke sini semakin sadar kalau memang yang dia perbuat itu salah. Sekarang kami lost contact karena anaknya udah lama pindah," kata Vino. 

Vino yakin, pengalaman kurang mengenakkan itulah yang membentuk kepribadiannya sekarang. Hal itu jugalah yang mempengaruhi pergaulannya dengan kawan sebaya.

"Aku ngerasa karena itu jadi gampang gak enakan sama orang, lebih baik ngalah. Terus di pertemanan juga, lebih banyak teman perempuanku daripada teman laki-laki," pungkasnya.

Langgengnya subkultur sok jagoan di kalangan anak muda

Mereka yang Dirundung Semasa SekolahIlustrasi Bullying (pexels.com/Keira Burton)

Menyoal isu perundungan anak, Pakar Sosiologi Universitas Airlangga (Unair), Bagong Suyanto memandang problem ini telah ada dan menjadi perbincangan panjang sejak lama. Kendati demikian, isu ini belum tertangani dengan baik sampai sekarang.

"Praktik perundungan di sekolah adalah isu yang sudah lama dan belum juga tertangani hingga sekarang. Mata rantai perundungan sulit diputus karena sudah menjadi budaya. Penyebabnya subkultur sok jagoan di kalangan anak muda," jelas Bagong.

Sifat sok jagoan ini terus direproduksi dan diwariskan hingga menjadi subkultur. Beragam faktor yang membuatnya demikian, misalnya saja berkaitan dengan apa yang ditampilkan di media. 

"Seperti yang digambarkan dalam film, siswa yang dikategorikan bad boy, sok jagoan, suka berkelahi bukannya dinilai negatif, tetapi justru dinilai sebagai idola. Wacana yang salah tentang sosok bad boy perlu direkonstruksi dengan wacana baru yang tepat," katanya.

Begitupun dengan kesalahan pengasuhan dari orang tua ataupun lingkungan keluarga yang penuh dengan kekerasan mampu membentuk karakter sok jagoan pelaku perundungan anak. Padahal peran orang tua jadi kunci penting mencegah perundungan.

"Habitus keluarga sedikit banyak mempengaruhi. Ini soal pewarisan mata rantai kekerasan. Ketika melihat orang tua bertengkar atau anak jadi korban kekerasan di keluarga itu juga bisa karena anak cenderung imitatif perilakunya," jelas Bagong.

Pengawasan orang tua jadi kunci utama

Mereka yang Dirundung Semasa Sekolahgambar seorang anak jalan-jalan bersama orang tuany (unsplash.com/Nienke Burgers)a

Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jawa Timur, Tri Wahyu Liswati membeberkan data kasus kekerasan terhadap anak yang masuk ke provinsi sejumlah 104 kasus per tahun 2023. Kekerasan ini tidak hanya perundungan, melainkan juga kekerasan fisik lainnya, psikis, seksual, dan penelantaran.

"Kalau mbak lihat data di SIMFONI-PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) di situ Jatim jadi provinsi dengan pelaporan kasus kekerasan anak tertinggi kedua," imbuh Lis.

Terkait kasus perundungan di Batu, DP3AK langsung melakukan penjangkauan ke keluarga korban. Penjangkauan ini bisa dilakukan ketika korban dan pelaku berada di kota yang berbeda atau jika kasus sudah tergolong parah.

"Pada dasarnya provinsi dan kota/kabupaten ini kan punya kewenangan yang berbeda dalam menangani kasus dan kami sebisa mungkin tidak melangkahi itu. Tapi karena kasus di sana korban meninggal, kami berhak melakukan penjangkauan," paparnya.

Lis menyebut, ruang-ruang privat kerap dipilih pelaku perundungan dalam melancarkan aksinya. Berkaca dari kasus di Batu, Lis menekankan orang tua jadi punya peran penting dalam melakukan pengawasan terhadap anak.

"Kasus yang terjadi di SMP Batu itu kan pelakunya ada yang dari luar sekolah, kemudian dilakukan di luar jam sekolah sehingga hak pengasuhan kembali ke orang tua. Secara data pun, kekerasan tingkat tertinggi di usia SMP. SMA SD ada tapi kecil. Artinya usia peralihan di SMP ini perlu perhatian lebih," terangnya.

Orang tua perlu mengetahui lingkungan pergaulan anak dan di mana anak berada ketika sedang tidak di rumah. Menurut Lis, informasi perihal ini bisa didapat apabila dilakukan pendekatan yang baik terhadap anak. Orang tua perlu bersikap terbuka sehingga anak tidak takut untuk bercerita atau menyuarakan pendapatnya.

Lis paham bahwa terkadang hal tersebut menjadi tantangan terutama bagi para orang tua yang disibukkan oleh pekerjaan. Tak jarang ditemui orang tua yang akhirnya menyerahkan pengasuhan sang anak kepada pihak lain.

"Kita tahu terkadang ada orang tua yang membebankan tugas pengawasan itu ke orang lain, anak sengaja dimasukkan sekolah full day atau tempat ngaji, itu bukan solusi. Kembali lagi kuncinya pola asuh keluarga. Kami sering sosialisasi ini ke orang tua saat tahun ajaran baru."

Lis berharap, ke depannya masyarakat bisa lebih aware lagi dengan segala bentuk kasus kekerasan terhadap anak. Pelaporan bisa dilakukan oleh siapapun dengan menghubungi nomor 129 yang langsung terhubung ke DP3AK. 

"Jikapun tidak ada saksi mata, pelaporan langsung oleh korban tetap kami proses. Apa yang dialami bisa jadi bukti, nantinya kami lakukan mediasi kemudian asesmen. Bagi yang takut melapor karena malu diketahui aibnya, perlu dicatat bahwa identitas kami rahasiakan. Namun jadi berbeda jika kasus sudah viral duluan," tutupnya.

Baca Juga: Dari 5 Pelaku Perundungan di Kota Batu, Hanya 1 yang Berpeluang Ditahan

Kayla Jasmine Yasmara Photo Community Writer Kayla Jasmine Yasmara

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Surabaya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Zumrotul Abidin

Berita Terkini Lainnya