Duka KPPS di Jatim, Menyabung Nyawa Demi Kawal Demokrasi

Mereka gugur, jangan sampai demokrasi juga ikut mati!

Surabaya, IDN Times - Karangan bunga memenuhi gang depan rumah Joko Budi (51) di Kulurahan Ngagelrejo, Kecamatan Wonokromo Surabaya, Jumat (16/2/2024). Suara ambulans menghambur seisi gang kecil Jalan Krukah Utara 7, mengantarkan Joko ke tempat peristirahatan terakhir.

Istri Joko, Fauziah Kadir menyeka air matanya sembari menguatkan diri untuk bercerita. Dia bilang , Joko memang sempat sakit dirawat di rumah sakit pada 27 Januari 2024. Kemudian sembuh dan menjalankan tugasnya sebagai Ketua Kelompok Penyelanggara Pemungutan Suara (KPPS) TPS 42, pada 14 Januari 2024.

Duka KPPS di Jatim, Menyabung Nyawa Demi Kawal DemokrasiSuasana rumah duka petugas KPPS di Surabaya. (IDN Times/Khusnul Hasana)

Jangankan Fauziah, banyak rekan sesama KPPS juga tidak menyangka Joko akan pergi secepat ini. Sebab, saat hari pencoblosan, dia masih berdiri tegak. Joko tumbang tatkala perhitungan suara presiden dimulai siang harinya. Tubuhhnya lemas. Dia pun dibopong ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr Soetomo Surabaya.

"Tanggal 14 sampai penghitungan presiden sudah gak kuat, keluhan lemas kemudian dirujuk, ternyata disana gula darah tinggi sampai gak sadarkan diri," jelas Fauziah. Joko pun sempat dirawat intensif selama tiga hari. Namun ,takdir berkata lain. Joko mengembuskan nafas terakhirnya pada Jumat (21/2/2024) pukul 08.15 WIB.

Baca Juga: KPU Jatim Catat 9 Petugas KPPS dan 2 Linmas Meninggal Saat Pemilu

Duka KPPS di Jatim, Menyabung Nyawa Demi Kawal DemokrasiFoto Sigit Widodo, Ketua KPPS di TPS 20 Kelurahan Polehan yang meninggal dunia . (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)

Tak cuma di Surabaya, di Malang, seorang Ketua KPPS bernama Sigit Widodo juga gugur usai bertugas. Ia dinyatakan meninggal dunia di Rumah Sakit Islam (RSI) Aisyiyah Malang pada Kamis (15/2/2024) malam, hanya sehari setelah hari coblosan. 

Anak pertama Sigit, Daniel Agista (24) menceritakan jika ayahnya bekerja lebih dari 24 jam. Sigit, kata dia, mulai sibuk sejak Senin malam (12/2/2024) dan baru kembali Kamis (15/2/2024) pukul 05.00 WIB.

"Bapak paginya sempat ngantar ibu sama adik kok sekolah, aktivitas biasa. Terus jam 5 itu bentar ke kelurahan karena ada data yang gak bisa ke-input," terangnya saat ditemui di rumah duka.

Baru sekitar pukul 07.00 WIB korban sempat tidur hingga pukul 15.00 WIB. Setelah bangun ini korban mengeluh masih kelelahan mengurus pemungutan suara kepada keluarganya. 

Keanehan muncul ketika malam hari, rasa lelah yang dialami Sigit tidak kunjung reda. Puncaknya saat ia menggendong keponakannya pada Kamis pukul 18.30 WIB. "Ngeluh sakit dan lemes itu habis ngangkat anaknya tante kemarin jam setengah 7 malem, minta ke RS saja. Tapi pas dibawa ke RSI itu ternyata sudah kritis dan dinyatakan meninggal di perjalanan," jelasnya.Berdasarkan diagnosa dari RSI Aisyiyah, korban mengalami berhenti jantung dan gagal nafas. Korban dinyatakan meningal pukul 19.30 WIB.

Banyuwangi juga menyumbang cerita sedih soal kematian Ketua TPPS. Adalah Dulhanan (50) yang juga meninggal saat bertugas. Petugas badan ad-hoc KPU Banyuwangi ini menjadi Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di TPS 18 Desa Singojuruh, Kecamatan Singojuruh. 

Dia sempat dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Berdasarkan video yang beredar, korban seperti mengalami kondisi sesak napas.Di rekaman tersebut, korban dalam posisi duduk dan harus dipasang alat bantu pernafasan. Tak lama sejak rekaman tersebut beredar, tersiar kabar jika Dulhanan meninggal dunia.

Tak cuma KPPS, beberapa anggota keamanan Lingkungan Masyarakat (Linmas) juga tercatat meninggal dunia. Salah satunya adalah Marjani (67). Warga Jalan Teluk Pelabuhan Ratu Gang Semar, Kelurahan Arjosari, Kecamatan Blimbing, Kota Malang ini meninggal dunia pada Senin (19/2/2024) pukul 06.00 WIB. 

Cerita-cerita itu seolah mengulang kabar duka pada Pemilu 2019 lalu. Kala itu, 894 meninggal dalam momen yang katanya pesta demokrasi ini. Tahun ini sendiri, hingga 20 Februari 2024 sudah ada 84 anggota KPPS yang wafat. Dari jumlah itu, 30 di antaranya berasal dari Jawa Timur. Ini belum termasuk dua Linmas yang juga ikut wafat serta ratusan yang dirawat di rumah sakit. 

KPU sendiri sebenarnya sudah melakukan upaya agar kematian KPPS pada tahun 2019 tak terulang. Mereka misalnya, membatasi usia KPPS, yaitu 55 tahun. Mereka juga diwajibkan untuk melampirkan surat keterangan sehat. Bahkan, KPU di masing-masing daerah juga bekerja sama dengan Dinas Kesehatan setempat untuk memantau kesehatan KPPS saat bertugas.

Dokter sekaligus dosen di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga (Unair) Andrianto sebelum pemilihan bahkan sudah menyoroti kemungkinan terulangnya kejadian tahun 2019. Menurut dia, surat keterangan sehat tidak banyak menjamin. Sebab, kebanyakan kasus kematian pada tahun 2019 adalah karena penyakit bawaan, terutama kardiovaskular yang bersifat asymptomatic.

“Penyakit-penyakit kardiovaskular sendiri banyak asymptomatic atau tanpa gejala, itulah yang harus menjadi kewaspadaan,” ujarnya, Selasa (13/2/2024).

Tapi apa lacur, tugas para anggota KPPS memang terlampau berat. Selain urusan administrasi yang bejibun, mereka juga harus bersiap berdebat dengan para saksi. Belum lagi Sistem Sekapitulasi Suara (Sirekap) yang masih banyak kendala sehingga memperlambat kerja mereka. 

Cerita beratnya tugas mengawal Pemilu dituturkan oleh satu KPPS di Kecamatan Sempu, Banyuwangi, FR (24). Menurut dia, proses mulai menemui kendala saat tiba penghitungan kotak suara calon DPR RI. Di situ saksi-saksi yang hadir mulai bertambah. Beberapa saksi menginginkan penghitungan berjalan lambat. Alasannya, agar benar-benar sesuai aturan dan tidak menemui kesalahan.

"DPD sama kertas provinsi itu juga lancar, agak melambat itu di DPR RI. Karena saksi minta kertas diperhatikan betul. Bahkan, waktu ada lobang coblosan di garis batas nama calon," katanya. Puncaknya, penghitungan berjalan sangat lambat saat mulai membuka kotak suara calon DPRD kabupaten.

Saksi di TPS yang sebelumnya sepi, kali ini banyak yang hadir. Selain itu masyarakat setempat, timses juga banyak yang hadir. Kebetulan, TPS tempat FR bertugas terkenal sebagai TPS neraka. "Pas kabupaten itu banyak sekali interupsi dari saksi. Bahkan, dari masyarakat yang mungkin Timses di luar TPS juga angkat bicara," katanya.

Beda cerita dengan Anton, anggota KPPS di Surabaya ini mengaku butuh banyak waktu  untuk menghitung dan membedakan jenis kelamin DPT antara pemilih laki-laki dan perempuan. Dari situ nanti masih akan dipilah lagi, DPT laki-laki atau perempuan yang hadir, DPT laki-laki atau perempuan yang tidak hadir.

“Karena sebelum perhitungan harus dihitung dulu jumlahnya. Kalau gak cocok harus mengulang lagi dari awal,” terangnya. Ia sendiri mengaku sangat lelah karena berangkat subuh dan baru pulang keesokan subuhnya lagi.

Duka KPPS di Jatim, Menyabung Nyawa Demi Kawal DemokrasiAnggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Idham Holik di Kantor KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Dua edisi Pemilu dengan cerita duka yang sama membuat banyak pihak meminta adanya evaluasi. Sebaliknya, KPU lebih memilih menyalahkan DPR. Anggota KPU RI, Idham Holik, menuturkan bahwa penghitungan suara yang dianggap sebagai salah satu penyebab beratnya beban kerja KPPS adalah hasil keputusan DPR.

KPU, kata dia, sudah mengusulkan agar dibuat metode penghitungan surat suara dengan dua panel. Sistem dua panel dibuat agar mengurangi beban kerja petugas KPPS. Sayangnya, usul itu ditolak oleh DPR RI.

Adapun maksud dua panel itu, penghitungan suara dilakukan oleh dua kelompok berbeda di TPS. Mekanismenya panel A untuk penghitungan Pemilu Presiden (Pilpres) dan DPD RI. Sementara, panel B Pemilu Legislatif (Pileg) DPR RI hingga Kabupaten/kota. Penghitungan suara dua panel ini dianggap KPU memudahkan KPPS untuk memangkas durasi penghitungan suara.

"Itu ada efisiensi waktu. Tapi pada saat kami rapat konsultasi dengan pembentuk undang-undang. Mereka masih memandang cukup satu panel. Sebagaimana yang telah dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024, persis sama dengan (Pemilu) 2019 lalu," imbuh dia.

Bagaimanapun alasan KPU, berapapun santunan yang mereka berikan, tak akan bisa mengembalikan para anggtoa yang gugur ke tengah-tengah keluarga mereka. Mereka mati menjaga demokrasi, jangan sampai demokrasi juga ikut mati!

Baca Juga: Keluarga Linmas yang Meninggal Jaga TPS Dapat Santunan Rp42 Juta

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya