Silang Sengkarut Aborsi Legal Bagi Anak-anak Korban Perkosaan

Surabaya, IDN Times - Tubuh E (12) bergetar. Perutnya yang semakin membuncit menegang. Matanya mulai panas. Air mata pun tumpah. Ia menjerit keras dengan suara kecilnya. Berbagai trauma dan ketakutan berkelebat di matanya saat melihat MA (55), pelaku pemerkosaan hingga membuatnya hamil.
E hanya melihat MA (55) dari layar monitor ruang sidang Pengadilan Negeri Jombang. E harus memberikan kesaksiannya mengenai kasus pemerkosaan yang menimpa dirinya. Sedangkan MA sebagai terdakwa mengikuti persidangan dari tahanan. Meski melihatnya dari jauh, E sudah ketakutan dan ingin muntah melihat wajah MA.
Beberapa menit awal sidang itu tampaknya sudah cukup menggambarkan bagaimana besarnya beban yang diemban oleh si mungil E. Di usianya yang masih belia, ia menjadi korban pemerkosaan. Tak sampai di situ, ia juga harus mengandung anak saat ia juga masih berstatus sebagai anak-anak. E dan orangtuanya sebenarnya sudah berusaha mengajukan aborsi untuk meringankan beban dan trauma. Namun, dengan berbagai halangan, aborsi pun batal terjadi. Mimpi-mimpi E terancam pupus. Hak-hak anak yang dimiliki E juga terampas. Entah bagaimana ia akan meneruskan hidupnya meski MA akhirnya divonis 14 tahun penjara.
1. Tetangga perkosa E hingga hamil
Kehamilan E terbongkar saat ia mengeluh tidak enak badan kepada orangtuanya, sekitar pertengahan tahun 2021. E pun dibawa ke Puskesmas setempat di Kabupaten Jombang untuk memeriksakan diri. Setelah diperiksa oleh dokter, E dicurigai tengah mengandung. Kabar ini jadi petir di siang bolong bagi orangtuanya. Kondisi kandungan E dipastikan dengan alat tes kehamilan. Dua kali dites, dua-duanya menunjukkan hasil positif.
“Baru korban bercerita kalau dia diperkosa oleh MA, tetangganya sendiri yang sudah seperti kakek-kakek, ya,” ujar pendamping korban dari Women Crisis Center Jombang, Ana Abdillah kepada IDN Times, Minggu (28/11/2021).
Mendengar cerita miris dari anaknya, orangtua E naik pitam. Mereka melaporkan kasus pemerkosaan ini kepada kepolisian setempat. Setelah dilimpahkan ke Polres Jombang, MA akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Terbongkarlah kelakuan bejat MA kepada E yang ternyata sudah dilakukan selama berbulan-bulan.
MA rupanya memperdaya E yang tak lain adalah tetangganya sendiri. MA, dengan dalih tak pernah dijatah istrinya, mengiming-imingi E dengan uang Rp100-200 ribu. E diperdaya oleh lelaku hidung belang itu agar mau meladeni nafsu bejatnya. MA juga meminta agar E tidak membicarakan perbuatannya kepada siapa pun.
Biasanya, MA memanfaatkan waktu bermain E untuk memperkosanya. Pemerkosaan ini setidaknya sudah dilakukan 3 kali, menurut pengakuan MA, dalam kurun waktu April-Juni 2021. Pemerkosaan dilakukan di rumah kosong dan di rumah MA ketika istrinya sedang keluar.
“Pas korban main sama teman-temannya. Korban main terus diperdaya, diiming-iming. Terjadilah kekerasan seksual. Itu dilakukan beberapa kali,” sebut Ana.
2. Keluarga E sempat mengupayakan agar ia mendapatkan akses aborsi legal
Entah kelakuan MA keberapa yang membuat E mengandung. Saat diperiksa pertama kali, ternyata kehamilan E sudah memasuki usia sekitar 4 minggu. Padahal, gadis cilik itu baru 3 kali mengalami menstruasi. Ketika itu, kehamilannya memang masih belum tampak di tubuh mungil E.
Orangtua E semakin sedih melihat kondisi putri mereka. Selain usia yang masih belia, kondisi ekonomi keluarga yang kurang dari cukup membuat kehamilan E menjadi semakin berat. Belum lagi, masa depan E yang entah jadi apa jika dia memiliki anak di usia dini. Tak ada jaminan pula batin E akan sembuh dari trauma kalau terus menerus merawat bayi hasil pemerkosaan itu.
“Orangtua korban datang ke kami. Sudah konseling berkali-kali mengenai konsekuensi aborsi. Tapi sampai akhir, orangtuanya berkeyakinan bahwa anakku itu butuh sehat secara mental, secara lingkungan, dan lain-lain. Sehingga kepentingan terbaik anak harus mendapat layanan itu,” sebut Ana.
Mereka pun bersama-sama mencari jalan agar E mendapatkan layanan aborsi secara legal. Ana berpedoman pada Pasal 75 (2) Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan atau UU Kesehatan. Dalam pasal tersebut, jelas bahwa aborsi akibat hasil pemerkosaan adalah tindakan legal.
Ana mengaku bahwa mengawal upaya aborsi dari korban pemerkosaan adalah hal baru di Jombang. Ia pun meminta bantuan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Timur untuk mengawal kasus ini. Kemudian, mereka mengalami sejumlah kendala.
Pertama, Ana merasa bahwa tidak ada kejelasan prosedur untuk mengajukan aborsi aman dan legal bagi korban perkosaan. Salah satu landasan yang digunakan untuk melaksanakan aborsi legal ini adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Sayangnya, dalam PP itu tak ada petunjuk teknis bagaimana langkah pengajuan aborsi legal.
“Kementerian Kesehatan belum punya pedoman teknis terkait aborsi korban perkosaan. Sistem hukum kita masih gagap untuk menjelaskan bagaimana teknisnya sehingga secara sistem bagi anak-anak yang mengalami perkosaan karena bujuk rayu dan terpedaya itu tidak didukung oleh sistem untuk mendapat akses layanan aborsi,” keluh Ana.
Kedua, Ana sempat diminta untuk melampirkan surat rekomendasi aborsi dari Polres Jombang. Dalam surat itu, harus dinyatakan bahwa E adalah benar-benar korban pemerkosaan. Namun, yang dipertanyakan Ana, apakah Polres memang berwenang untuk mengeluarkan keputusan mengenai kelayakan korban mendapatkan aborsi atau tidak.
Keraguan Ana pun terjawab. Pihak Polres memutuskan untuk keberatan jika harus mengeluarkan rekomendasi E agar bisa mendapatkan aborsi legal. Berbagai alasan dipakai terutama mengenai keselamatan dari E.
“Katanya gak serta merta menyetujui, harus ada pertimbangan medis, harus ada ahli yang mau angkat bicara dengan kondisi korban dan sebagainya,” ungkapnya.
Padahal, awalnya, surat keterangan dari kepolisian ini mereka butuhkan agar E bisa diproses pada pemeriksaan medis. Tapi, kepolisian juga butuh surat rekomendasi medis. Ana bingung melihat birokrasi yang carut marut ini. Selain tidak adanya petunjuk teknis, belum ada pula daftar layanan kesehatan yang ditunjuk pemerintah agar bisa memberikan fasilitas aborsi legal.
Setelah menunggu berminggu-minggu, Ana baru mendapatkan informasi bahwa RSUD dr Soetomo menerima layanan ini. Namun, usaha mereka sudah terlambat. Kehamilan E terlanjur besar dan sudah tidak diperbolehkan untuk aborsi.
“Korban tidak bisa diaborsi karena sudah ada detak jantung dan lain sebagainya. Ini yang disayangkan oleh orangtuanya,” sebut Ana. Menurut PP Kesehatan Reproduksi, batas kehamilan yang boleh diaborsi adalah kurang dari 40 hari sejak haid terakhir.
3. Aborsi tak dilanjut dengan dalih khawatir keselamatan E
Ketika dikonfirmasi IDN Times, Kasatreskrim Polres Jombang AKP Teguh Setiawan bukan serta merta melarang aborsi E. Mereka memiliki sejumlah pertimbangan yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan E. Keputusan pembatalan aborsi ini juga disebut hasil diskusi rapat bersama pada 19 Juli 2021 dan dihadiri perwakilan dari Polres Jombang, Perwakilan dari RSUD Jombang, perwakilan dari Dinas PPA T2P2A, perwakilan dari Dinas Sosial, perwakilan dari WCC Jombang dan Perwakilan dari LPA.
"Jadi itu bukan keputusan polisi, tapi keputusan bersama. Dan yang paling utama kita menjaga kesehatan korban. Coba bayangkan anak (korban) yang masih umur 12 tahun harus diaborsi, orang dewasa saja kalau aborsi sangat membahayakan,” sebut Teguh, Selasa (30/11/2021).
Tak hanya mengkhawatirkan kondisi E, Teguh juga mengisyaratkan kekhawatiran atas pertanggungjawaban dari hasil aborsi E nantinya. Ia tak tahu siapa yang akan turun tangan jika terjadi sesuatu kepada anak-anak korban pemerkosaan tersebut.
"Coba bayangin kalau diaborsi, ini masih anak-anak, mohon maaf kalau ada kegagalan aborsi, siapa yang menanggungnya? Apakah polisi, atau Pemkab? Jadi ini kita mengutamakan keselamatan,” tuturnya.
Sebagai gantinya, Teguh menawarkan sejumlah solusi kepada keluarga E. Korban diberi fasilitas untuk melakukan pemeriksaan kandungan di RSUD Dr. Soetomo Surabaya sebulan sekali dan biayanya ditanggung Pemkab Jombang.
“Kalau orangtua ini tidak menghendaki anak itu, sudah ada pihak yang akan mengadopsi. Hal itu kita sepakati bersama, bukan Polres yang memberikan keputusan tapi kesepakan bersama akhirnya diambilah kesimpulan kehamilan anak ini tidak diaborsi," ujarnya.
Sayangnya, Ana mengaku hingga saat ini belum ada bantuan nyata kepada keluarga E seperti nutrisi ibu hamil dan jaring pengaman sosial. Apalagi, keluarga E tergolong kurang mampu. Jaminan-jaminan masa depan E seperti kepastian kesehatan dan pendidikan setelah persalinan pun belum jelas.
“Fasilitas mobil dinas untuk periksa-periksa ke Surabaya saja itu pun kita minta. Tapi konkret jaminan kesejahteraan sosial dan nutrisi belum ada,” ungkap Ana.
Baca Juga: Selain Paksa Pacar Aborsi, Bripda RB Disebut Miliki Selingkuhan
4. Kasus-kasus miris anak korban perkosaan hingga hamil di Indonesia
Perjuangan panjang dan melelahkan dari keluarga E untuk mendapatkan keadilan dan masa depan lebih cerah bagi korban pemerkosaan ini bukan menjadi pengalaman baik bagi kasus-kasus kekerasan seksual. Perjalanan orangtua E seperti menggambarkan, betapa susahnya seorang korban perkosaan mendapatkan akses aborsi ilegal. Padahal, korban merupakan anak-anak yang masih memiliki masa depan panjang di kemudian hari.
Kisah anak-anak hamil akibat korban perkosaan di Indonesia memang tidak indah. Dari pada kasus sukses, lebih banyak cerita miris. Salah satu kasusnya juga ditangani oleh Ana baru-baru ini. Kasus ini berawal dari penemuan jasad bayi mungil di sebuah sungai di daerah Jombang.
“Awalnya dikira kasus pembuangan bayi. Setelah ditelusuri ternyata itu kasus aborsi ilegal. Dan ternyata, korbannya itu juga masih di bawah umur,” sebut Ana.
Tentu saja, aborsi ilegal yang dilakukan tanpa pengawasan tenaga kesehatan ini amat sangat berisiko bagi keselamatan sang ibu. Tapi, pikiran para korban terlanjur pendek. Jika ingin menempuh jalur legal, perjalanannya terlalu panjang dan melelahkan bagi jiwa dan raga anak-anak seperti mereka.
Jika aborsi terasa terlalu berisiko bagi korban, skenario kedua yang terjadi adalah pembunuhan bayi setelah dilahirkan. Tak sedikit kasus serupa terjadi di Indonesia. Salah satunya terjadi pada tahun 2017. Seorang siswi SMK di Bogor berinisial DNA (17) membunuh bayinya sendiri setelah melahirkan secara mandiri di kamar mandi. DNA membekap sang buah hati dengan kaus dalam karena bingung menghadapi kelahiran bayi hasil perkosaan itu.
Kejadian mengenaskan lainnya juga dialami MN (15) siswi SMK di Purwokerto. MN dilarikan ke rumah sakit karena mengeluh sakit perut pada Januari 2018. Ternyata, MN melahirkan anaknya sendirian di kamar mandi. Panik, MN menenggelamkan anaknya di bak kamar mandi hingga tewas.
Kisah miris juga sempat menggemparkan Kota Surabaya pada 2010 lalu. Mayat bayi ditemukan terlilit kabel di toilet sekolah salah satu SMA negeri di Surabaya. Ternyata, bayi itu dilahirkan pagi harinya oleh siswi baru berinisial AR (15). AR merupakan korban perkosaan yang menyimpan rapat-rapat kehamilannya selama 9 bulan dari orangtuanya. Kondisi rumah yang tak akur, tak ada support system, dan kebingungan-kebingungan perempuan ini membuat ia harus menghabisi buah hatinya.
Sayangnya, seluruh kasus ini berakhir sama. Sang ibu yang masih berusia di bawah umur dan merupakan korban perkosaan ini dijadikan tersangka atas pembunuhan bayi. Mereka sebenarnya tak ingin berbuat tindakan kriminal. Mereka hanya korban yang sedang kebingungan dan keadilan. Sedangkan, cara legal yaitu melalui safe abortion masih sulit diakses.
5. Jika anak korban perkosaan sampai melahirkan, haknya dan sang anak bisa hilang
Persoalan aborsi oleh anak-anak korban pemerkosaan ini sering kali berfokus pada hak hidup sang janin, si calon anak. Padahal, jangan dilupakan bahwa sang calon ibu juga merupakan anak-anak yang masih memiliki sejumlah haknya. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang (Alit) Indonesia, Yuliati Umrah.
“Ini kalau lahir, hak si ibu sebagai anak-anak itu secara otomatis gugur. Ini kan sama dengan kita menghilangkan proses tumbuh kembang si ibu ini yang seharusnya dia masih bisa mengikuti proses tumbuh kembang secara optimal sampai 18 tahun,” sebut Yuliati.
Yuliati menjelaskan, ketika seorang anak melahirkan anak, maka hak-haknya sebagai anak-anak telah luntur karena ia memiliki tanggung jawab pengasuhan terhadap bayinya. Sering kali, kejadian ini berakhir dengan si bayi diasuh oleh kakek neneknya atau bahkan diadopsi. Dengan demikian, anak tersebut juga turut kehilangan haknya untuk diasuh oleh orangtuanya serta kehilangan kesempatan mendapat ASI eksklusif.
“Jadi dua orang yang akan kehilangan hak. Pelanggarannya jadi dobel,” tutur Yuliati.
Yuliati sungguh tak ingin ada anak yang gugur hak-hak anaknya karena melahirkan akibat perkosaan. Dia sudah tidak bisa lagi menjadi subyek hukum yang melindunginya. Yang tersisa dari anak tersebut adalah predikatnya sebagai orangtua.
Apalagi, Yuliati juga menyoroti kesiapan mental seorang anak untuk melahirkan. Ia mengingatkan akan ancaman baby blues yang kerap dialami oleh seorang ibu.
“Kasus kematian ibu karena baby blues itu tinggi. Kematian ibu yang melahirkan itu salah satu faktornya adalah baby blues, depresi pascamelahirkan. Saya sendiri saja ketika harus begadang karena bayi butuh ASI 2 liter per hari. Mereka jadwal bangun tidurnya per dua jam. Bayangin, saya yang dewasa saja tidur bangun tiap dua jam itu capek banget dan gak bisa digantikan karena ASI. Mampu gak seperti itu?” ungkapnya.
Baca Juga: Pemerkosa Anak di Jombang Divonis 14 Tahun Penjara
6. Aborsi dan melahirkan bagi anak-anak sama-sama berisiko tinggi
Salah satu yang dijadikan alasan pencegahan aborsi E adalah berisikonya tindakan aborsi bagi anak-anak. Padahal, nyatanya melahirkan di usia belia juga tak kalah berbahayanya. Bahkan, hamil di bawah usia 20 tahun termasuk dalam kehamilan risiko tinggi, apalagi di usia 12 tahun.
“Risikonya sama saja (aborsi dan melahirkan di usia anak-anak). Tapi semua risiko itu bisa diminimalkan jika dilakukan di faskes,” ujar Dokter Spesialis Ginekologi RSUD Dr Soetomo Surabaya, dr. Muhammad Yusuf, Sp.OG(K), Senin (29/11/2021).
Yusuf menjelaskan, aborsi baik untuk anak-anak maupun orang dewasa memiliki risiko yang sama yaitu pendarahan dan infeksi. Keduanya dapat terjadi jika ada kesalahan dalam proses aborsi yang tidak aman. Baik pendarahan dan infeksi ini bisa mengancam nyawa sang ibu.
Namun, Yusuf menegaskan bahwa risiko aborsi bisa diminimalisir jika dilakukan dengan baik oleh para tim profesional di fasilitas layanan kesehatan. Dalam hal ini, RSUD Dr Soetomo menyediakan layanan aborsi legal sesuai UU Kesehatan yaitu bagi kehamilan dengan kondisi darurat medis serta kehamilan akibat korban perkosaan.
“Kalau dirawat terus orang-orang kompeten yang ikut merawat. Semua risiko itu bisa minimal,” ungkap Yusuf.
Dia menjelaskan, perlu ada prosedur yang ditempuh oleh pihak yang ingin mendapatkan layanan aborsi seperti konseling-konseling. Jika aborsi tetap menjadi pilihan usai rangkaian sesi konseling, maka RSUD Dr Soetomo bisa mengabulkan permintaan tersebut. Yusuf memastikan bahwa proses aborsi yang legal dilakukan oleh tim terdiri dari dokter spesialis di masing-masing bidangnya mulai obgyn, anastesi, dan lain-lain untuk meminimalisir risiko.
“Tapi yang jadi catatan, siapa pun tidak bisa memaksa dokter spesialis kandungan untuk pro choice atau pro life. Makanya kenapa disediakan RS pemerintah yang banyak dokternya, biasanya lebih mudah,” imbuh Yusuf.
Di sisi lain, Yusuf tak menampik bahwa risiko kehamilan di usia dini sedikit lebih tinggi apalagi jika dialami anak-anak. Pasalnya, fisik anak-anak sebetulnya belum siap untuk hamil hingga melahirkan. Belum lagi kondisi psikis yang dialami anak tersebut terutama jika ia merupakan korban perkosaan. Kondisi psikis ini juga bisa berpengaruh pada proses persalinan.
“Dia sebenanrya rahim dan tubuhnya belum siap untuk kehamilan. Risiko persalinan macet, risiko dia akhirnya menghadapi operasi, itu lebih tinggi dari wanita usia siap reproduksi. Apalagi korban perkosaan ada potensi dia abandon, anemia, akhirnya risiko pendarahan lebih besar,” jelas Yusuf.
Akan tetapi, Yusuf menegaskan bahwa aborsi legal boleh diberikan kepada korban perkosaan saat masih memenuhi kriteria. Salah satunya yaitu usia kehamilan yang belum lebih dari 40 hari. Jika kehamilan telah lebih dari 40 hari, organ-organ janin sudah berfungsi dan menjadi lebih berbahya bagi sang ibu.
7. Trauma bekerpanjangan akan dialami oleh anak-anak korban perkosaan, keluarga adalah modal utama untuk bangkit
Yang tak boleh dilupakan dari bencana kehamilan tak diinginkan yang dialami oleh anak-anak ini adalah kondisi psikologisnya. Dosen Fakultas Psikologi (FPSi) Universitas Airlangga (UNAIR) Margaretha Rehulina, S.Psi., G.Dip.Psych., M.Sc., menyebutkan beberapa kemungkinan dampak psikologis yang bisa dialami oleh anak-anak korban pemerkosaan yang melahirkan bayinya.
“Jadinya prolonged trauma atau trauma berkepanjangan,” sebut Margaretha.
Selain itu, kehamilan dan persalinan juga membuat tekanan batin yang besar, belum lagi stigma negatif yang akan menempel kepada korban dan anaknya seumur hidup.
Belum lagi, lanjut Margaretha, sistem hukum di Indonesia pada praktiknya masih belum berpihak kepada korban kekerasan seksual. Contohnya yaitu sidang yang dialami E saat ia harus melihat wajah pemerkosanya di layar. Peristiwa tersebut bisa menjadi retraumatisasi terhadap korban kekerasan seksual yang memperlambat proses penyembuhan batinnya.
Margaretha menambahkan, aborsi dan kehamilan yang tak diinginkan sama-sama bisa membawa trauma bagi korban. Menurut dia, yang sebetulnya dibutuhkan para korban ini adalah dukungan dari orang-orang terdekatnya atas keputusan apa pun yang akhirnya akan diambil.
Margaretha mengaku pernah mendampingi seorang penyintas yang juga korban perkosaan hingga hamil. Penyintas mengalami perundungan dan pengucilan dari masyarakat. Ia juga dikeluarkan dari sekolah dan terpaksa tinggal berdua bersama neneknya di luar daerah. Hebatnya, nenek penyintas ini bisa menemani dan memberikan dukungan penuh bagi cucunya untuk melewati segala nasib buruk yang dialami.
“Dengan kondisi perutnya yang besar, usia 7-8 bulan, dia bisa bercerita kalau setelah melahirkan dia ingin melanjutkan sekolah. Dia ingin jadi seorang guru,” tutur Margaretha.
Kisah penyintas yang dibantu Margaretha sangat bisa dialami oleh E. Dengan segala kerumitan hidup yang ia alami, asa untuk bangkit bagi E masih terbuka lebar. E punya modal besar, yaitu keluarga yang terus memberikannya semngat.
“Korban memiliki orangtua yang luar biasa, selalu membesarkan hati anaknya. Keluarganya sangat memikirkan masa depan anaknya,” ungkap Ana.
Setidaknya, E kini mendapat keadilan dari lembaga peradilan. MA diputus bersalah dan divonis 14 tahun penjara dengan denda Rp60 juta oleh Pengadilan Negeri Jombang. Vonis ini lebih tinggi dari tuntutan JPU yaitu 12 tahun. Ana pun berharap para pemangku kebijakan lain bisa menggunakan prespektif korban untuk mengambil keputusan dalam kasus kekerasan seksual.
“Saya sudah konsultasi ke tokoh ulama, Kiai Husen. Beliau menyampaikan pandangannya kebolehan safe aborsi itu untuk melindungi jiwa si anak ini. Karena dampaknya kan sampai mati. Saya harap, akan ada petunjuk teknis yang lebih jelas dan menjamin masa depan anak-anak ini agar tetap bisa meraih cita,” tutup Ana.
Baca Juga: Praperadilan Ditolak, Kasus Anak Kiai Jombang Tak Kunjung Disidangkan