Gagapnya Penanganan Kekerasan Seksual di IAIN Tulungagung

Korban pelecehan seksual malah diskors oleh kampus

Surabaya, IDN Times - Gangga (bukan nama sebenarnya), tak menyangka niatnya untuk merasakan pengalaman berkemah dari kakak tingkatnya malah berujung pada kekerasan seksual. Mahasiswi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung ini menjadi korban upaya pemerkosaan dan pelecehan seksual. Tak cukup sampai di situ, ia bahkan turut disalahkan atas peristiwa yang dialaminya. Seakan menjadi korban untuk kedua kalinya, Gangga kini diskors dari kampusnya selama satu tahun.

Kasus yang menimpa Gangga merupakan potret buramnya penegakan keadilan bagi para korban kekerasan seksual di kampus. Bukannya mendapatkan perlindungan, korban akhirnya malah turut disanksi. Hingga saat ini, belum ada solusi pasti atas bayang-bayang kelam kekerasan seksual di kampus yang sering kali tak tersingkap.

Kisah Gangga terungkap ke publik saat Lembaga Pers Mahasiswa IAIN Tulungagung, Dimensi menerbitkan sebuah tulisan pada 15 November 2020. Dalam laporan itu, pendamping Gangga sekaligus kru Dimensi, Fathur Rohman menceritakan kronologi kekerasan seksual yang dialami oleh mahasiswi semester 5 tersebut.

1. Kekerasan seksual terjadi saat perjalanan untuk berkemah

Gagapnya Penanganan Kekerasan Seksual di IAIN TulungagungIlustrasi Pelecehan (IDN Times/Mardya Shakti)

Peristiwa ini terjadi pada awal bulan September 2020. Saat itu, Gangga bersama pelaku, MAA berniat untuk berkemah bersama. Gangga ingin mempelajari cara MAA berkemah sebagai salah satu senior yang disegani. Kejanggalan dimulai saat MAA mengajak Gangga untuk berkemah berdua saja. Berdua, atau tidak sama sekali.

Setelah mengalami perdebatan, akhirnya Gangga tetap menyetujui hal tersebut. Mereka kemudian berangkat dengan berboncengan sepeda motor ke lokasi perkemahan di area Gazebo Wilis Kediri. Sepanjang perjalanan, semua masih berjalan normal. Hanya MAA sesekali melontarkan permintaan untuk dipijit karena pegal menyetir. Namun, Gangga masih tak ambil pusing dan tetap berpikir positif.

"Dalam benak Gangga, seorang organisatoris seperti MAA tak akan berbuat hal-hal di luar dugaan," tulis Rohman dalam laporannya.

Akan tetapi, semua petaka dimulai sejak kabut tebal dan hujan turun di tengah perjalanan mereka. MAA pun memutuskan untuk berhenti sejenak di sebuah warung bambu berlantai 2 yang tengah tutup. Mereka kemudian hendak menyantap sate kambing yang dibawa.

Perlahan-lahan, MAA mulai melancarkan aksi cabulnya kepada Gangga. Ia mendekatkan tubuhnya ke gadis yang tengah kedinginan itu. Tanpa persetujuan Gangga, MAA berkali-kali berusaha memeluknya meski selalu ditepis. Hingga akhirnya, MAA berusaha memperkosa Gangga dan melontarkan bentakan-bentakan bernada melecehkan. Teriakan dan tangisan terus keluar dari bibir Gangga sebagai bentuk upaya perlindungan dirinya.

Setelah satu jam berusaha memperkosa Gangga, MAA akhirnya menyerah. Ia pun menyetujui permintaan Gangga untuk pulang. Tapi ternyata, MAA masih belum puas. Sepanjang perjalanan kembali ke Tulungagung MAA terus berusaha melecehkan Gangga dengan sentuhan-sentuhan di tubuhnya. Hingga akhirnya Gangga minta diberhentikan di tengah jalan. Dari sana, Gangga turun dan pulang seorang diri menggunakan bus sembari menangis sepanjang perjalanan.

2. Kampus seolah tak berpihak pada Gangga sebagai korban

Gagapnya Penanganan Kekerasan Seksual di IAIN TulungagungMahasiswa IAIN Tulungagung gelar aksi kecam pelecehan seksual di kampus, IDN Times/ Bramanta Pamungkas

Gangga tak mau berdiam diri atas kekerasan seksual yang ia terima. Ia pun memilih untuk menceritakan kisahnya ke redaksi Dimensi dan mencari keadilan. Ia juga memberanikan diri untuk melapor ke rektorat kampus IAIN Tulungagung. Sayangnya, ia tak cukup nyali untuk melapor ke kepolisian lantaran takut ketahuan oleh orangtuanya dan malah dimarahi.

"Kami memang membuka posko pengaduan atas kekerasan seksual di kampus. Lalu, Gangga itu akhirnya melapor. Kita kawal kasus ini sampai tuntas," ujar salah satu kru Dimensi, Hendrik saat dihubungi IDN Times. Ketika kasus Gangga bergulir, Hendrik tengah menjabat sebagai Pimpinan Umum Dimensi dan turut menjadi saksi jalannya proses hukum di kampus.

Sejak awal, Hendrik menyaksikan bahwa kampus IAIN Tulungagung tak berpihak pada korban. Pihak kampus dianggap tak melihat dari sudut pandang Gangga yang masih trauma pada kekerasan seksual dan pelaku. Contohnya, ia diminta untuk berhadapan langsung dengan pelaku saat mediasi. Ia juga tak diperkenankan mengajak temannya sebagai pendamping.

"Kami (kru Dimensi) juga mendapatkan intimidasi dan tindakan represif. Saat peliputan kami dibentak-bentak sambil menggebrakkan meja katanya sering mengintimidasi kampus," imbuh Hendrik.

Namun, pihak kampus membantah tak memberikan pendampingan kepada Gangga. Kasubbag Humas dan Informasi IAIN Tulungagung, Ulil Abshor mengatakan bahwa kampus menyediakan pendamping psikologis sesuai permintaan Gangga.

"Pelapor (Gangga) meminta adanya assessment psikologis dan sudah kami sediakan," sebut Ulil saat dikonfirmasi IDN Times.

3. Gangga jadi korban kuadrat, ia turut disanksi oleh pihak kampus

Gagapnya Penanganan Kekerasan Seksual di IAIN TulungagungMahasiswa IAIN Tulungagung gelar aksi kecam pelecehan seksual di kampus, IDN Times/ Bramanta Pamungkas

Penderitaan Gangga tak cukup sampai di situ. Perjuangannya untuk meraih keadilan sepertinya tak membuahkan hasil. Alih-alih didampingi, dilindungi, atau dibela, Gangga malah diminta untuk memaafkan MAA. Desakan agar Gangga "berdamai" dengan MAA ini berasal dari berbagai pihak, bahkan dosen yang ia percaya sekali pun.

Hingga akhirnya, setelah melalui proses selama empat bulan, pihak kampus mengeluarkan putusan yang mengejutkan pada Selasa (19/1/2021). Memang, MAA mendapatkan sanksi berupa penangguhan ijazah selama satu tahun meski akhirnya ia tetap diwisuda. Namun ternyata, Gangga juga turut mendapatkan sanksi berupa skors selama satu tahun. Gangga dinonaktifkan sementara menjadi mahasiswa IAIN Tulungagung karena dianggap melakukan perbuatan yang menjurus ke arah zina.

"Mereka bersepakat untuk pergi bersama, berdua saja, naik ke gunung, menginap. Nah, kegiatan tersebut menurut penilaian pihak kampus mengarah pada perbuatan yang tidak etis," ujar Ulil Abshor.

Kampus menjerat Gangga menggunakan Kode Etik Mahasiswa IAIN Tulungagung. Niat Gangga yang ingin berkemah dianggap melanggar kode etik Pasal 6 ayat X karena mengarah pada perbuatan Zina.

4. Pihak kampus berkukuh bahwa tindakan korban mengarah pada zina

Gagapnya Penanganan Kekerasan Seksual di IAIN TulungagungMahasiswa IAIN Tulungagung gelar aksi kecam pelecehan seksual di kampus, IDN Times/ Bramanta Pamungkas

Ulil mengaku bahwa IAIN Tulungagung saat itu belum memiliki pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. Pedoman ini baru terbit tepat saat kasus Gangga bergulir yaitu pada bulan Oktober 2020. Namun sayangnya, meski ada pedoman tersebut kasus Gangga dan MAA tetap diselesaikan menggunakan KEM yang pada akhirnya membuat Gangga jadi korban kuadrat.

"Karena kejadiannya itu di luar Tri Dharma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Jadi kampus tidak bisa menangani," tutur Ulil.

Berdasarkan Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual yang IDN Times unduh dari situs resmi IAIN Tulungagung, memang salah satu unsur yang harus dipenuhi agar suatu peristiwa bisa disebut sebagai kekerasan seksual adalah terjadi saat kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Sebenarnya, dalam pedoman ini sudah ada unsur keterpaksaan dan menjamin hak korban. Sayangnya, kasus Gangga gagal ditangani degan pedoman yang layak.

"Karena tidak bisa ditangani dengan pedoman kekerasan seksual, kita masih bisa tangani dengan Kode Etik Mahasiswa. Kalau dosen yang melanggar ya nanti pakai Kode Etik Dosen," lanjut Ulil.

Hanya saja, pihak kampus sepertinya mengabaikan unsur konsensual dalam kasus ini. Gangga sejak awal tidak berniat untuk berbuat zina dengan MAA. Tindakan cabul yang ia terima pun tanpa persetujuannya. 

"Memang dasarnya adalah perbuatan yang mengarah. Indikatornya ya tadi, pergi berduaan dengan lawan jenis dan menginap," tegas Ulil.

5. Kasus kekerasan seksual di kampus yang merugikan korban kerap terjadi

Gagapnya Penanganan Kekerasan Seksual di IAIN TulungagungIlustrasi Pelecehan (IDN Times/Mardya Shakti)

Kasus kekerasan seksual di kampus yang berakhir tanpa keadilan bagi sang korban bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Contoh yang mudah adalah kasus Agni dari Universitas Gajah Mada (UGM). Kekerasan seksual yang diterima Agni selama masa Kuliah Kerja Nyata (KKN) kala itu menyita perhatian publik dan menjadi pemantik bagi para penyintas untuk memperjuangkan hak mereka. Sedihnnya, Agni harus menempuh jalur non-litigasi alias "damai" atas kasusnya yang berlarut-larut itu.

Tak hanya Agni, ada juga dosen predator asal Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim. Pemberitaan terkait dosen yang sering menyasar korban mahasiswa baru ini sempat santer terdengar di media massa. Meski perbuatannya sudah bertahun-tahun dilakukan, tak ada sanksi bagi dosen itu. Maklum, ia adalah dosen senior dan berpengaruh di kampus itu.

Sama seperti UIN Maulana Malik Ibrahim, kekerasan seksual di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang juga dilakukan oleh seorang dosen. Predator ini sudah mendapatkan banyak korban untuk memuaskan nafsunya. Namun, hingga kini belum ada kejelasan dari kasus tersebut.

Aktivis perlindungan perempuan, Benedicta Herlina Widiastuti mengatakan bahwa kekerasan seksual di kampus menjadi momok tersendiri bagi perempuan. Kekerasan seksual di kampus seakan menjadi gunung es. Sebenarnya, masih banyak lagi kekerasan seksual di kampus yang tak terungkap di permukaan.

"Tahun lalu, kekerasan dalam pacaran itu 50 persen lebih dari total laporan yang saya terima. Dan mayoritas, kekerasan seksual dalam pacaran itu dilakukan dalam lingkup kampus. Ini belum lagi yang dilakukan bukan oleh pasangan pacaran. Saat ini saja, saya juga sedang menangani kasus kekerasan seksual di kampus, lho," ujar perempuan yang sempat aktif di Women Crisis Centre Savy Amira ini.

Baca Juga: Lembaga Ini Sebut Pelecehan Seksual di IAIN Tulungagung Bukan Pertama

6. Anggapan bahwa laki-laki tak berkuasa atas hawa nafsunya memperburuk kasus kekerasan seksual

Gagapnya Penanganan Kekerasan Seksual di IAIN TulungagungMahasiswa IAIN Tulungagung gelar aksi kecam dugaan pelecehan seksual di kampus, IDN Times/ Bramanta Pamungkas

Herlina menjelaskan, kekerasan seksual di kampus menjadi salah satu kasus yang pelik. Keberadaan pihak kampus yang seharusnya adil dalam menangani kasus di lingkungan mereka malah merugikan korban. Seringkali, korban dan pelaku dipaksa untuk berdamai. Semua ini dilakukan tak lain dan tak bukan demi nama baik kampus.

Kasus kekerasan seksual ini semakin parah jika terjadi di kampus dengan kultur konservatif. Ia menyebutkan bahwa kampus agama, bukan hanya kampus Islam, juga termasuk dalam memperparah kondisi korban. Hal ini dikarenakan, ada pihak yang berinterpretasi bahwa perempuan berkedudukan lebih rendah di banding laki-laki. Sehingga, korban jadi semakin enggan melapor lantaran takut mendapatkan pandangan yang lebih buruk dari lingkungan sekitarnya.

"Akan lebih buruk keadaannya kalau kampusnya itu feodal. Kesenjangan kekuasaan antara korban dan pelaku itu tinggi. Misalnya di UGM, laki-laki dan perempuan dipandang berbeda di sana. Atau di kampus agama yang menggunakan dogma perempuan lebih rendah dari laki-laki," sebutnya.

Tak hanya itu, jika melihat kasus yang dialami Gangga, pola pikir keliru terkait kekuasaan seksualitas juga memperburuk kondisi korban. Herlina menilai, IAIN Tulungagung masih berpahaman bahwa laki-laki tak bisa mengontrol nafsu seksual mereka. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa Gangga turut disalahkan lantaran bersedia pergi dengan MAA. Padahal jelas-jelas, Gangga tak berniat untuk melakukan perbuatan seksual dengan MAA.

"Ini seakan-akan laki-laki tak punya kendali atas keinginannya. Ini juga, kalau dia pergi berboncengan maka sudah pasti laki-lakinya akan melakukan kekerasan seksual. Seakan-akan laki-laki tak punya kendali jadi bebas untuk melakukan itu. Cara pandang seperti ini lalu menyalahkan perempuannya," paparnya.

Herlina melanjutkan, pandangan seperti ini seakan menjadi lingkaran setan. Laki-laki seolah terlepas dari tanggung jawabnya atas kekerasan seksual yang ia lakukan dengan dalih lepas kontrol. Akhirnya, lagi-lagi perempuan yang disalahkan dan menjadi korban kuadrat.

"Seperti yang sering dilontarkan, kucing dikasih ikan asin pasti langsung dilahap. Ini kan sebetulnya malah merendahkan laki-laki. Dengan mereka memandang seperti itu, mereka memandang mahasiswanya ini bukan orang yang memiliki akal budi, orang yang memiliki tanggung jawab atas perbuatannya sendiri," jelasnya.

7. RUU PKS dianggap jadi solusi kekerasan seksual di kampus

Gagapnya Penanganan Kekerasan Seksual di IAIN TulungagungANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Isu kekerasan seksual di kampus sebenarnya bukan barang baru. Pemerintah pun sudah mulai menyadari mendesaknya wacana ini. Kementerian Agama pun menerbitkan Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Kampus. Harapannya, kampus-kampus agama Islam di Indonesia bisa turut memiliki pedoman tersebut. Meski pada akhirnya bernasib seperti IAIN Tulungagung yang baru menerbitkan pedoman saat kasus kepalang terjadi.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Makarim juga sempat membuat pernyataan bahwa pelaku kekerasan seksual dalam kampus harus ditindak tegas. Ia pun juga sedang menyusun pedoman serupa seperti milik Kemenag RI. Nyatanya, hingga saat ini pedoman tersebut belum diketahui batang hidungnya.

Namun, pedoman-pedoman atau aturan apalah itu tak berarti bagi Herlina. Menurutnya, yang salah pada lingkungan kampus bukanlah aturannya, melainkan pola pikir dari kepala-kepala yang ada.

"Mau ada pedoman seperti apa pun, kalau tidak dilakukan ya buat apa? Mahasiswanya juga akhirnya tidak tahu, seperti salah satu kampus di Yogyakarta. Yang harus dibenarkan itu pola pikirnya," sebut Herlina.

Menurutnya, solusi dari kekerasan dalam kampus adalah tak lain dan tak bukan yaitu disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Meski ada pedoman segala macam, jika piihak kampus tidak berpihak pada korban maka kasus seperti Gangga dan Agni akan terus terjadi. Oleh karena itu, korban bisa mencari perlindungan dan keadilan sendiri melalui RUU PKS.

RUU PKS juga dianggap bisa menjadi pemantik agar korban lebih berani melapor. Pasalnya, selama ini korban enggan melaporkan kekerasan seksual yang terjadi karena takut mendapatkan stigma buruk dari lingkungannya.

"Itu terjadi karena masih ada pola pikir keliru yang menyalahkan korban. Kalau ada RUU PKS, maka jelas bahwa dia statusnya itu korban. Sama seperti orang kemalingan. Dia gak akan disalah-salahkan karena gembok kurang kuat, lah, motor terlalu bagus, lah. Karena statusnya di hukum formal jelas, dia adalah korban. Maka dari itu, sahkan RUU PKS," tutup Herlina berapi-api.

Baca Juga: Pelecehan Seksual di IAIN Tulungagung, Terlapor dan Pelapor Disanksi

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya