Riset UB Sebut Tingkat Toleransi Jatim Masih dalam Kondisi Baik

Bom hingga kasus Syiah sempat jadi catatan negatif

Surabaya, IDN Times - Jawa Timur patut berbangga karena memiliki tingkat toleransi yang baik. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti Universitas Brawijaya melalui Indeks Toleransi Jawa Timur 2020.

“Jawa Timur menjadi daerah dengan skor Indeks Toleransi 73,8, atau dapat dikatakan baik,” kata peneliti dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Muhammad Lukman Hakim dalam keterangan tertulisnya, Selasa, (9/11/2020).

1. Jadi modal penting di tengah catatan kelam intoleransi di Jatim

Riset UB Sebut Tingkat Toleransi Jatim Masih dalam Kondisi BaikIDN Times/Sukma Shakti

Lukman mengatakan bahwa ada beberapa indikator dalam survei ini, seperti tingkat minimalisasi perbedaan agama, inklusifitas, eksklusifitas dan egoisme, kepercayaan dan cara menghargai kelompok lain, keyakinan, serta menghargai kebebasan orang lain. Lukman menambahkan bahwa hasil lengkap dari riset ini akan dirilis pada akhir tahun nanti.

Hasil penelitian tersebut dinilai sebagai modal bagus untuk menjaga masyarakat agar tidak terpancing melakukan tindak kekerasan berlatar agama. Terlebih, Jawa Timur memiliki catatan kelam dalam hal intoleransi, mulai pengusiran komunitas Syiah di Sampang hingga bom bunuh diri gereja di Surabaya. Belum lagi, saat ini banyak polemik berlatar agama yang bisa memantik intoleransi seperti pembunuhan seorang guru di Prancis. 

2. Intoleransi bisa menyempitkan kesadaran tentang kerukunan di masyarakat

Riset UB Sebut Tingkat Toleransi Jatim Masih dalam Kondisi BaikFoto Nathan dan Evan, dua bocah yang menjadi korban bom Surabaya, Mei 2018 lalu. IDN Times/Vanny El Rahman

Hal senada dikatakan Abdul Wahid, peneliti dari Pusat Kajian Media, Literasi, dan Kebudayaan FISIP Universitas Brawijaya. Menurutnya, intoleransi merupakan gejala global yang menyempitkan kesadaran tentang kerukunan di masyarakat.

“Intoleransi merupakan salah satu bagian dari radikalisme yang dapat meminggirkan kelompok minoritas. Tanpa memahami konteks politik di Prancis misalnya, sebagian besar masyarakat dapat terbawa semangat agama sempit untuk membela sekaligus menolak yang berbeda dari keyakinannya,” ujar Wahid.

Wahid mengatakan, Hal ini didasarkan pada penelitian tentang radikalisme yang dilakukan pada 2019 lalu. Banyak kelompok minoritas seperti Ahmadiyah dan penghayat kepercayaan Agama Baha’i menjadi sasaran kekerasan, baik fisik maupun verbal. Hal itu terjadi karena sempitnya pemahaman tentang perbedaan.

Baca Juga: Pagi Mencekam di Ngagel Jaya Utara

3. Intoleransi juga terjadi di dalam kelompok yang memiliki persamaan idealisme

Riset UB Sebut Tingkat Toleransi Jatim Masih dalam Kondisi BaikSuasana di Rusun Jemundo, Sidoarjo tempat pengungsi Syiah Sampang. IDN Times/Reza Iqbal

Wahid melanjutkan, intoleransi ternyata tak hanya terjadi pada kelompok yang berbeda idealisme. Saat melakukan penelitian kepada pada mahasiswa dan tokoh masyarakat di Kota Malang, ia menemukan fakta bahwa intoleransi juga terjadi pada kelompok yang memiliki keyakinan sama.

“Temuan paling menarik adalah saling tuding salah menyalahkan tidak hanya terjadi antar kelompok, tapi juga dalam kelompok itu sendiri. Sebanyak 75 persen responden muslim pernah disebut kafir,” ungkap Wahid.

Data tersebut menjadi catatan penting bahwa toleransi di masyarakat harus dijaga berbagai pihak. Pria yang juga mengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi ini menegaskan, pemerintah harus terus mempromosikan toleransi agar masyarakat tidak terjebak pada tindak kekerasan berlatar agama.

Baca Juga: Tak Semua Berikrar, 21 Pengungsi Masih Bertahan dengan Keyakinan Syiah

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya