Pakar Hukum Sebut Vonis Bebas Stella Makin Tunjukkan Kecacatan UU ITE

Undang-undang ini harus segera direvisi

Surabaya, IDN Times - Pakar hukum dari Universitas Merdeka Malang, Eka Nugraha Putra menilai bahwa vonis bebas yang diterima oleh Stella Monica semakin menjadi bukti cacatnya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menurut dia, ada banyak kejanggalan selama proses hukum yang dijalani oleh perempuan 25 tahun tersebut. 

Diberitkana sebelumnya, terdakwa kasus pencemaran nama baik karena curhat soal skincare, Stella Monica diputus tidak bersalah, pada Selasa, (14/2/2021). Ia tidak terbukti telah melakukan pencemaran nama baik hingga merugikan klinik L'Viors.

Ia dinyatakan tak terbukti melanggar Pasal 27 ayat 3 Jo Pasal 45 ayat 3 UU RI Nomor 19 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ia masih berstatus sebagai konsumen klinik L'Viors sehingga memiliki hak untuk memberikan penilaian. Selain itu, Pasal 27 (3) seharusnya dilaporkan oleh orang perorangan, buka institusi seperti klinik L'Viors.

1. Klinik kecantikan bukan subjek hukum

Pakar Hukum Sebut Vonis Bebas Stella Makin Tunjukkan Kecacatan UU ITEStella Monica bersama tim kuasa hukumnya usai mendengar vonis bebas dari majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Selasa (14/12/2021). IDN Times/Fitria Madia.

Eka mengatakan, hal paling mendasar yang diabaikan oleh hakim adalah soal subjek hukum. Menurutnya, subjek hukum dalam pidana pencemaran nama baik adalah individu, bukan institusi. Dasarnya, kata Eka, ada pada pasal 27 Ayat 3 UU ITE yang merujuk pada pasal 310 dan 311 KUHP.

"KUHP tidak mengakui subjek hukum badan hukum seperti korporasi, organisasi dan lain-lain. Klinik kecantikan juga bukan orang," ujarnya, saat dihubungi Rabu (15/12/2021).

2. Dasar putusan MA yang digunakan JPU lemah dan tak jelas

Pakar Hukum Sebut Vonis Bebas Stella Makin Tunjukkan Kecacatan UU ITEStella Monica di kursi terdakwa saat mendengarkan vonis bebas dari majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Selasa (14/12/2021). (IDN Times/Fitria Madia)

Eka juga menentang pendapat Jaksa Penuntut Umum yang menyebut adanya dasar hukum bahwa sebuah institusi menjadi subjek hukum. Dalam repliknya, JPU Rista dan Farida menyebut bahwa Mahkamah Agung melalui putusan Nomor 183 K/ Pid/2010 telah memutuskan bahwa badan hukum bisa menjadi subjek hukum pencemaran nama baik.

Putusan MA Nomor 183 K/ Pid/2010 itu sendiri merujuk pada kasus seorang terdakwa bernama Fifi Tanang yang diadili lantaran melakukan pencemaran nama baik terhadap sebuah institusi. 

Namun, menurut Eka, putusan MA tersebut tak bisa menjadi pembenar untuk menjerat Stella dengan pidana. Alasannya, Fifi dinyatakan bebas di tingkat kasasi. Selain itu pelapor dalam kasus ini juga tak memenuhi syarat. 

"Seharusnya pelapornya adalah Dirut. Sementara, di kasus ini pelapornya adalah pengacara Dirut, jadi tidak memenuhi unsur delik pengaduan. Sejauh ini memang belum ada putusan (yurisprudensi) yang menyatakan badan hukum bisa menjadi korban pencemaran nama baik." ujarnya.

Di sisi lain, Stella juga berhak menyampaikan keluhan atas jasa layanan kecantikan yang ia dapatkan. Penyampaian keluhan konsumen sendiri sudah diatur dalam Undang-undang nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Baca Juga: Saksi Ahli Sebut Stella Monica Tak Cemarkan Nama Baik L'Viors

3. SKB tak ampuh, revisi UU ITE adalah keharusan

Pakar Hukum Sebut Vonis Bebas Stella Makin Tunjukkan Kecacatan UU ITEEkspresi Stella Monica memeluk ibundanya usai mendengar vonis bebas dari majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Selasa (14/12/2021). IDN Times/Fitria Madia

Berbagai kejanggalan itulah yang menurut Eka cukup menjadi dasar revisi UU ITE. Salah satu poin yang menurutnya wajib direvisi adalah Pasal 27 Ayat 3. Ayat itu melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Lantaran banyak multitafsir, Eka pun menyarankan poin ayat tersebut didefinsi ulang. 

Kalaupun pada akhirnya pasal ini tetap ada, sebaiknya tidak masuk dalam perbuatan pidana. Pelaku seharusnya cukup disanksi ganti rugi atau kompensasi kepada korban. Sementara yang terjadi saat ini adalah sebaliknya.

"Negara ikut campur urusan penghinaan yang sebetulnya urusan individu, pidananya penjara, fasilitas negara, pidana denda, uangnya juga buat negara. Artinya pelapor atau korban gak dapat ganti rugi apa-apa juga," ujar dia.

Alasan lain yang menurut Eka bisa menjadi dasar revisi UU ITE adalah tak ampuhnya Surat Keputusan Bersama (SKB). Surat yang ditandatangani oleh Kapolri, Jaksa Agung dan Menkominfo itu mulanya dibuat untuk meminimalisir multitafsir UU ITE. Sayangnya, setelah SKB itu terbit, beberapa kasus janggal yang menggunakan undang-undang itu masih saja terjadi.

"Misalnya jurnalis Asrul di Palopo yang divonis 3 bulan karena berita dia. Padahal itu kan produk jurnalistik," ujarnya. "Sejak awal harusnya memang bukan SKB yang keluar, tapi revisi UU ITE."

Baca Juga: [BREAKING] Stella Monica Divonis Bebas

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya