Selama PPKM Darurat-Level, Penularan COVID-19 di Jatim Justru Naik!

Berbeda dengan di India lockdown 21 hari kasusnya turun

Surabaya, IDN Times - Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 3-4 resmi diperpanjang 26 Juli - 2 Agustus 2021. Namun, sejumlah fakta mengungkap bahwa penerapan PPKM Darurat dan Level selama 23 hari, 3-25 Juli tak mampu membendung pandemik COVID-19 terutama di Jawa Timur (Jatim).

1. PPKM Darurat dan Level bikin positivity rate malah naik

Selama PPKM Darurat-Level, Penularan COVID-19 di Jatim Justru Naik!

Pakar Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair), dr. Windhu Purnomo membeberkan fakta-fakta babak belurnya hulu hingga hilir penanganan COVID-19 di Jatim. Nah, untuk melihat hulu, ia mengajak untuk melihat positivity rate. Angka di indikator mengandung jumlah orang yang positif COVID-19 dengan jumlah orang yang dites.

Nah, pada 2 Juli 2021 sebelum penerapan PPKM Darurat, positivity rate di Jatim mencapai 35,61 persen. Angka tersebut menurut Windhu sangat tinggi. Sebab, standar positivity rate dari organisasi kesehatan dunia (WHO) hanya lima persen.

"Kan kita tidak boleh lebih dari lima persen, tapi ini lebih dari tujuh kali lipat. Itu sebelum PPKM Darurat, kita sudah lebih tinggi dari seharusnya lebih dari lima persen," ujarnya saat dihubungi via telepon, Senin (26/7/2021).

Lebih lanjut, ketika diterapkan PPKM Darurat 3-20 Juli 2021 bukannya membuat positivity rate di Jatim turun. Justru, angkanya melonjak hingga 39,50 persen. Padahal di India diberlakukan lockdown 21 hari kasusnya turun seperdelapan dibanding sebelum melakukan lockdown.

"Kita malah naik! Terus tanggal 23 Juli jelang PPKM Level 4 berakhir, tambah naik lagi makin mengerikan menjadi 42,68 persen Jawa Timur. Jadi risiko penularan di masyarakat makin tinggi," ungkap Windhu.

Baca Juga: IDI Jatim: Kalau Mau Lihat Data Kematian Sebenarnya, Lihat Kuburan

2. Hospitality rate dan mortality rate meningkat tajam ketika PPKM Darurat dan Level

Selama PPKM Darurat-Level, Penularan COVID-19 di Jatim Justru Naik!

Kemudian untuk hilirnya, Windhu mengajak melihat hospitality rate atau rawat inap di rumah sakit. Pada 2 Juli 2021 angkanya 28,11 per 100 ribu penduduk. Artinya, setiap 100 ribu penduduk Jatim yang dirawat di rumah sakit sebelum PPKM Darurat antara 28-29 pasien.

Namun ketika sudah diterapkan PPKM Darurat 20 Juli 2021, hospitality rate malah naik menjadi 37,08 per 100 ribu penduduk. Lalu, pada 23 Juli 2021 menjelang berakhirnya PPKM Level 4, mengalami kenaikan 37,58.

"Jadi yang mengalir ke rumah sakit makin besar, itu akan menyebabkan kematian kalau tidak ditangani dengan baik kalau rumah sakit penuh, apalagi BOR kita sudah di atas 80 persen, BOR kita ini merah pada 20-23 Juli. Kita sudah kesulitan cari bed (tempat tidur) di rumah sakit," terangnya.

Lantaran tak tertangani, dampaknya banyak yang meninggal dunia. Selanjutnya, Windhu mengungkap mortality rate atau kematian rata-rata per 100 ribu penduduk. Pada 2 Juli 2021, ada 1,27 per 100 ribu penduduk yang meninggal karena COVID-19.

"Tanggal 20 (Juli 2021), malah naik 5,55 per 100 ribu, naik empat kali lipat. Tanggal 23 Juli naik 5,63 per 100 ribu. Jadi baik hulu hingga hilir baik hilir sekali (kematian) makin memburuk di Jawa Timur," ungkap dia.

3. Harusnya pakai UU Kekarantinaan Kesehatan saja bukan bikin strategi lain

Selama PPKM Darurat-Level, Penularan COVID-19 di Jatim Justru Naik!Ilustrasi lockdown (IDN Times/Arief Rahmat)

Apabila merujuk dengan data yang ada, Windhu melihat kalau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PPKM Mikro, PPKM Darurat hingga PPKM Level itu tidak banyak berbeda. Malahan, kepatuhan masyarakat semakin menurun dengan banyaknya penularan yang terjadi.

"Kalau mau menilai kasus penularan makin naik, positivity rate makin meningkat itu artinya kan masyarakat makin menjelek. Memang mobilitas turun, tapi ada orang yang yang keluyuran tidak pakai prokes yang baik," ungkapnya.

Faktor utama masih adanya orang yang keluar rumah, sebab isi dari PPKM Darurat dan Level 3-4 tidak menghentikan mobilitas. Di ketentuan Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) tetap boleh pergi dengan persyaratan tertentu. Hal ini beda dengan yang tertuang di Undang-undang (UU) Kekarantinaan Kesehatan.

"Di sana (UU Kekarantiaan) ada karantina wilayah dan PSBB. Itu betul-betul menghentikan mobilitas," kata Windhu.

Harusnya, sambung dia, Presiden Joko 'Jokowi' Widodo melakukan penanganan pandemik COVID-19 sesuai payung hukum yang ada. Saat ini sudah ada UU Wabah dan UU Kekarantinaan Kesehatan. "Jangan gunakan strategi lain di luar itu dong, PPKM ini gak ada di Undang-undang," ucapnya.

"Dulu kita sudah pernah benar PSBB, sesuai UU Kekarantiaan Kesehatan. Sayangnya hanya nama, implementasinya tidak baik apa yang ada di atas kertas. Makanya kita tidak berhasil. Yang berhasil cuma DKI (Jakarta) berhasil menahan laju penularan," pungkas dr. Windhu.

Baca Juga: Di Rumah Saja! 33 Daerah di Jatim Masuk Zona Merah

Topik:

  • Zumrotul Abidin

Berita Terkini Lainnya