Perjuangan Wahyu Merawat Sang Ibu Isoman COVID-19

Bantuan pemerintah tak mampir, benar-benar serba mandiri!

Surabaya, IDN Times - Sore itu, suara batuk memecah suasana rumah yang terletak di kawasan Ngagel Tirto, Surabaya. Wahyu Hestiningdiah (30) segera mengecek asal suara itu. Ternyata suara itu dari sang ibu, Hartik Suryani (59) sedang batuk-batuk. Wahyu lantas mengecek kondisi sang ibu yang suhu badannya juga panas.

"Batuknya kering pas hari Jumat itu (25/7/2021), besoknya (Sabtu) masih batuk terus badannya panas, saya batin, kok panas ya padahal watuk biasa," ungkapnya saat dihubungi, Rabu (4/8/2021).

1. Positif COVID-19 usai swab di RSI Wonokromo

Perjuangan Wahyu Merawat Sang Ibu Isoman COVID-19Hartik Suryani saat sudah sembuh dari COVID-19. Dok. keluarga wahyu

Mengetahui suhu tubuh ibunya panas, Wahyu langsung inisiatif memberikan obat penurun panas. Keesokan harinya, Minggu (27/7/2021), batuk kering sang ibu tak kunjung membaik. Namun suhu tubuhnya sudah normal.

"Seninnya pamit mau periksa ke puskesmas, tapi aku feeling ini batuknya gak biasa soalnya panas juga. Terus aku antarkan ke UGD RSI (Wonokromo)," katanya.

Ketika berangkat ke sana, Wahyu sudah membawa kursi lipat sendiri. Persiapan itu ia lakukan karena khawatir tidak ada bed maupun tempat duduk untuk sang ibu. Tapi ternyata di sana masih ada bed, kemudian segeralah sang ibu diperiksa.

"Masih sisa satu bednya, ditawarin bagaimana penanganannya. Aku ikut standar rumah sakit, itu disuruh swab antigen dan foto thorax. Ternyata positif antigen," beber Wahyu.

Usai diperiksa, Wahyu diminta pihak rumah sakit langsung membayar. Ia sempat mengajukan BPJS Kesehatan namun ditolak. Alasannya kalau COVID-19 dibawa ke UGD gak bisa pakai BPJS Kesehatan, harus pasien umum. "Dari pada eyel-eyelan (berdebat, red) malah nanti gak ditangani, ya sudah aku bayar," tukasnya.

"Ketika sudah dibayar, barulah diinfus. Terus aku konsultasi ke dokternya. Katanya rumah sakit penuh, kalau mau rawat inap ya inden. Harus nunggu 20 pasien. Sempat ditawarin ke rumah sakit lain, tapi persyaratannya harus swab PCR. Opsi lainnya isoman," dia mengungkapkan.

Wahyu pun memilih isoman saja. Total yang ia habiskan untuk penanganan, swab antigen, injeksi atau infus dan foto thorax ialah Rp1,1 juta. Kemudian ia masih diharuskan menebus obat yang hanya digunakan tujuh hari, Rp1,3 juta. Keluar dari UGD sekitar Rp2,4 juta.

2. Lakukan penanganan mandiri saat isoman

Perjuangan Wahyu Merawat Sang Ibu Isoman COVID-19Hartik Suryani saat sudah sembuh dari COVID-19. Dok. keluarga wahyu

Sesampainya di rumah, Wahyu langsung membedakan kamar mandi untuk dirinya dengan sang ibu. Ia mengalah harus membuat tempat mandi sementara di tempat mencuci baju. Lalu, peralatan makan minum juga dibedakan.

"Area rumah yang boleh dilewatin ibuku juga aku batasin, baju yang habis dipakai itu disiram air panas, baru dicuci." ungkapnya.

Tak sampai di situ, selama merawat sang ibu, Wahyu mengganti sprei ibunya, menyapu seluruh rumah, mengepel serta membersihkan kamar mandi setiap hari ketika ibunya sedang berjemur. "Selama itu aku maskeran dan sarung tangan," tukasnya.

"Pokoknya serba dibedain, hampir dua minggu tiap pagi dan sore mengepel dan menyapu karena rumahku gak tingkat," dia melanjutkan.

Satu hal yang sempat membuat ibunya Wahyu panik yakni ketika anosmia, kehilangan indera penciuman dan perasa. "Tiga hari gelisah, tidur gak bisa, batuknya masih kekel juga. Itu masa dropnya, lemes juga badannya. Untungnya ingin sembuhnya tinggi, jadi mau makan dan nyamil," terangnya.

3. Tak ada bantuan makanan saat isoman

Perjuangan Wahyu Merawat Sang Ibu Isoman COVID-19Hartik Suryani saat menjalani tes swab. Dok. keluarga wahyu

Sementara untuk memenuhi kebutuhan makannya, Wahyu memanfaatkan aplikasi pesan antar makanan sembari menunggu hasil swabnya. Diakuinya, di situ pengeluarannya  cukup menguras kantong. Ibunya isolasi mandiri sampai 12 hari karena harus menunggu hasil Swab PCR keluar. "Aku juga ikut isolasi, ketika antigen dan PCR ku menyatakan negatif, aku baru keluar," katanya.

Hal itu dilakukan Wahyu karena untuk mengantisipasi ia terjangkit COVID-19 dan bisa menurlarkan ke tetangga sekitar. Terlebih di perkampungannya, banyak warga yang menjauh ketika tahu tetangganya sedang terpapar virus corona.

"Jadi ada yang COVID-19 malah dijauhi, satgas kampungku juga lambat," bebernya.

Padahal, sambung Wahyu, ia sudah melapor ke anggota satgas kampung kalau ibunya sedang isoman di rumah. Namun tidak pernah ada bantuan, minimal berupa makanan yang diberikan. "Beruntungnya teman-teman masih ada yang ngirim makanan. Alhamdulillah kami bisa melaluinya," ungkapnya.

"Kalau dikalkulasi selama isoman bisa habis sampai Rp7-8 juta, untungnya ibuku tanpa oksigen. Kalau ada yang bilang isoman lebih murah itu salah, malah lebih mahal," pungkasnya.

Topik:

  • Zumrotul Abidin

Berita Terkini Lainnya