Kisah Sudut Kota: Melawan Stunting dari Pinggiran Rel Kereta

Perjuangan keluarga untuk lepas dari status stunting

Surabaya, IDN Times – Jam tangan menunjuk di angka 08.45 WIB. Gang Donorejo, Kelurahan Kapasan, Kecamatan Simokerto, Kota Surabaya, sedang padat-padatnya. Para pedagang tampak sibuk meladeni pembelinya. Ada yang mengiris tempe, ada yang membungkus sayur, ada yang asyik bercanda sambil memotong bagian dada ayam di atas meja. Sungguh, pemandangan yang khas di salah satu gang sudut Kota Surabaya.

Gang Donorejo itu hanya selebar 2,5 meter. Tapi, para warga setempat kerap menyulapnya menjadi pasar tumpah pada pagi hari. Akses jalannya pun otomatis menyisakan setengah meter saja. Warga tak mempersoalkannya. Terpenting bagi mereka, ekonomi di sekitar bisa berputar. Demi asap dapur biar tetap mengepul.

Di balik riuh rendah pasar tumpah itu, berjajar rumah di sekitar rel kereta. Rumah-rumah di sini berukuran minim, 3 x 3,5 meter. Seperti yang ditempati Reni Yulianti (38) bersama suami dan empat anaknya di RT 03 RW 01. Rumah Reni hanya berjarak sekitar dua meter dari rel kereta. Fasilitas yang dimiliki tentu sangat terbatas. Hanya dapur, satu kamar tidur dan satu kamar mandi.

Ketika toilet kamar mandi penuh, tak jarang anak Reni yang masih balita buang air di dekat rumah. Bila tak diawasi, mereka membasuh dengan air seadanya. Sekilas, kehidupan mereka jauh dari Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang dikampanyekan pemerintah. Namun perlahan Reni mulai menerapkan PHBS, setelah satu anaknya terindikasi stunting dan satu lagi prastunting.

Stunting itu diketahui di tengah wabah

Kisah Sudut Kota: Melawan Stunting dari Pinggiran Rel KeretaWarga yang tinggal di tepi rel kereta di Kelurahan Kapasan, Kecamatan Simokerto, Kota Surabaya. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Cerita stunting ini bermula sebelum pandemik COVID-19 merebak. Waktu itu anak ketiga Reni yang berinisial AP terindikasi prastunting. Karena berat dan tinggi badannya tidak sesuai dengan usianya yang menginjak 2 tahun. "Awal ketahuan ya itu timbangannya kurang," kata dia. Belum sempat mendapatkan intervensi, virus SARS CoV-2 diumumkan masuk Indonesia pada Maret 2020. Posyandu yang berada di berbagai wilayah di Kota Pahlawan pun mati suri.

Sekitar bulan Februari 2021, posyandu kembali beroperasi. Berat dan tinggi badan AP semakin tidak ideal. Dalam riwayat catatan, selalu masuk kategori garis merah atau kurang hingga Juni 2023 ini. "Sudah dua tahun ini sudah dapat bantuan permakanan untuk anak saya yang ketiga, alhamdulillah cukup membantu gizinya," kata Reni. Meski kategori kurang, Reni mengakui ada perkembangan pada anaknya. Berat badan AP terus bertambah tiap bulannya,

Belum selesai dengan masalah AP, Reni harus dihadapkan ancaman stunting terhadap anaknya yang nomor empat berinisial AA (3). Usia AA dengan AP hanya terpaut sekitar 1,5 tahun. "Kalau yang nomor empat ini prastunting kata orang puskesmas, makanya dapat sosialisasi itu disuruh kasih makanan bergizi," kata dia. Kendati mendapat cap stunting dan prastunting, AP dan AA tampak aktif ketika bermain dengan sebayanya. "Semuanya aktif, gak sakit-sakitan juga. Cuman yang nomor tiga itu kecilnya pas masih bayi sering sakit. Sekarang sih nggak, alhamdulillah," beber Reni.

Masukan berupa saran dan imbauan dari petugas puskesmas perlahan diterapkan oleh Reni. Dia mulai mengajak keluarganya terutama anak-anak untuk makan-makanan yang bergizi. Tak hanya itu saja, PHBS mulai dilakukan dalam kesehariannya. Meski dengan segala keterbatasan yang ada. Reni tak segan memarahi anaknya jika buang air sembarangan. Termasuk bermain air kotor sisa cucian. Dia tak mau kecolongan anak keempatnya menjadi stunting. Dia ingin mencegah mumpung masih prastunting.

"Sekarang ini dipantau terus sama puskesmas, kemudian juga Kader (Kader Surabaya Hebat). Sekarang dua minggu sekali ada yang ke sini nimbang cek berat badan dan tingginya," kata dia.

Seorang KSH yang juga Wakil Ketua RT 03 RW 01, Sunarti (52) mengakui kalau anak-anak Reni yang stunting maupun prastunting menunjukkan kemajuan. Mereka menjadi anak yang aktif. Bahkan diakui secara kecerdasan, sangat tanggap dengan orang sekitar. "Anaknya tanggap, ceria, pinter nyanyi kadang selawatan juga. Memang cerdas, cuman berat badannya saja yang kecil," bebernya.

"Kami juga terus memotivasi keluarganya agar tetap optimis anak-anaknya ini bisa sembuh, asal diberi makanan bergizi. Hidup sehat begitu. Dari kelurahan, kecamatan memberikan perhatian. Intinya kami anjurkan hindari makanan yang gak sehat, tiap hari diberi permakanan dan vitamin," imbuh Sunarti. Tapi diakuinya, kalau membiasakan PHBS di wilayahnya memang butuh waktu ekstra.

Sunarti bersyukur semua warganya sudah memiliki jamban sendiri. "Semua sudah ada semua (jamban sendiri) biarpun tinggal di bantaran rel dan tanah milik KAI," ujarnya. "Dulu pakai ponten umum, tapi sekarang sudah gak ada, karena sudah punya toilet sendiri biarpun kecil-kecil rumahnya," imbuhnya. Dia menambahkan jamban di rumah-rumah warganya itu tak semua biaya sendiri. Ada pula yang mengajukan ke pemerintah. Ini karena warga sadar akan pentingnya jamban di rumah masing-masingnya. 

Kendati begitu diakui Sunarti masih ada kawasan yang belum memiliki jamban sendiri. Seperti rumah-rumah di seberang rel dekat kampungnya yang sudah masuk Kelurahan Tambakrejo. Di sana, mayoritas masih memanfaatkan ponten umum yang tersedia. Mereka harus bergantian sembari membawa uang Rp1.000 ketika mandi, cuci dan kakus (MCK).  

Ketua RT setempat, Ahmad Husaini mengakui bahwa tak semua warganya memiliki jamban. Meski begitu, perlahan-lahan, warga sudah banyak yang berinisiatif membuat jamban sendiri. "Jumlah Kepala Keluarga (KK) di sini ada 60. Satu rumah ada yang dua tiga KK, tapi tidak semua tidak memiliki jamban," katanya.

Baca Juga: Kisah dari Tepi Rel Kereta, Perjuangan Mendapatkan Sanitasi Layak

PHBS masyarakat jadi sorotan penyebab stunting

Kisah Sudut Kota: Melawan Stunting dari Pinggiran Rel KeretaPonten umum di bantaran rel kereta kelurahan Tambakrejo, Kecamatan Simokerto Surabaya. (IDN Times/khusnul Hasana).

Penerapan PHBS di wilayah pinggiran seperti tepi rel kereta, bantaran sungai dan pesisir memang butuh kerja keras. Terutama untuk menertibkan sanitasinya. Padahal, tingkat kebersihan sanitasi berpengaruh pada angka stunting. Semakin kotor sanitasinya, maka semakin berpeluang keluarga di dalamnya terjangkit penyakit, salah satunya ialah stunting. Pernyataan ini dibeberkan ahli gizi dan pegiat sanitasi.

"Memang ada beberapa penyebab gizi buruk, ada penyebab langsung dan tidak langsung. Nah, penyebab langsung kaitannya dengan asupan gizi dan penyakit infeksi. Penyebab tidak langsungnya itu pola asuh, kemudian kebersihan dan sanitasi lingkungan," ujar Dosen Prodi Gizi Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), Paramita Viantry. Khusus penyebab tidak langsung ini, sambung dia, terkait dengan PHBS dan ketersediaan jamban sehat.

Ketua Asosiasi Pengelola dan Pemberdayaan Sanitasi Indonesia (Appsani), Koen Irianto Uripan mengakui, sanitasi memang menjadi pekerjaan rumah di Indonesia khususnya Jawa Timur (Jatim). Angka buang air sembarangan diakuinya masih tinggi, meski perlahan mulai dilakukan upaya intervensi untuk mewujudkan sanitasi laik berupa jamban sehat. Upaya ini juga masuk dalam program Open Defecation Free (ODF) atau stop buang air besar sembarangan.

Saat ini, kata Koen, dari 38 daerah di Jatim ada sebanyak 24 kabupaten/ kota dinyatakan ODF. Yakni Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Lumajang, Banyuwangi, Mojokerto, Nganjuk, Madiun, Magetan, Ngawi, Bojonegoro, Lamongan, Gresik, Sampang, Pamekasan, Kota Kediri, Kota Blitar, Kota Malang, Kota Mojokerto, Kota Madiun, Kota Blitar, Kota Batu dan Kota Surabaya. Sementara ada 14 kabupaten/ kota yang dinyatakan belum ODF atau masih OD.

"Progress penanganan sanitasi di Jatim ini cukup bagus, terakhir Surabaya pada 2023 menyatakan diri tidak ada yang buang air besar sembarangan," kata Koen. "Kalau yang belum mencapai status ODF itu kebanyakan di kawasan gunung dan pesisir," imbuh dia. Wisudawan terbaik program pascasarjana Universitas Airlangga tahun 2021 ini mendorong pemerintah agar menggalakkan program ODF di seluruh wilayah Jatim untuk mewujudkan masyarakat sehat bebas stunting.

Intervensi pemerintah dan berbagai pihak mulai berbuah manis

Kisah Sudut Kota: Melawan Stunting dari Pinggiran Rel KeretaKepala BKKBN Jatim, Maria Ernawati saat menerima kunjungan untuk membahas stunting. Dok. BKKBN Jatim

Berbagai upaya intervensi memang telah dilakukan oleh pemerintah terhadap stunting. Seperti bantuan permakanan, vitamin, pemantauan secara intens, program sanitasi bersih dan jamban sehat. Nah, intervensi tersebut mulai membuahkan hasil. Data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Jatim, angka prevalensi stunting berdasarkan survei status gizi Indonesia tahun 2022 sudah di bawah nasional. Prevalensi stunting nasional sebesar 21,6 persen, sedangkan Jatim sebesar 19,2 persen.

"Di Jatim tahun 2022 (19,2 persen) ada penurunan 4,3 (persen) dari 2021 lalu yang masih 23,5 (persen)," kata Kepala BKKBN Jatim, Maria Ernawati.

Meski turun, Erna—panggilan karib Kepala BKKBN Jatim—mengakui masih menaruh perhatian daerah-daerah yang menjadi kantong stunting. Adapun data tahun 2022, Jember menjadi penyumbang tertinggi stunting. Sementara Surabaya prevalinsinya paling rendah dari 38 kabupaten/ kota di Jatim. Rincian data yang dihimoun IDN Times, Jember 34,9 persen, Bondowoso 32 persen, Situbondo 30,9 persen, Ngawi 28,5 persen, Lamongan 27,5 persen, Bangkalan 26,2 persen, Kota Batu 25,2 persen, Tuban 24,9 persen.

Selanjutnya, Bojonegoro 24,3 persen, Lumajang 23,8 persen, Kota Probolinggo 23,3 persen, Malang 23 persen, Jombang 22,1 persen, Kediri 21,6 persen, Sumenep 21,6 persen, Kota Pasuruan 21,1 persen, Pacitan 20,6 persen, Pasuruan 20,5 persen, Nganjuk 20 persen, Trenggalek 19,5 persen, Banyuwangi 18,1 persen, Kota Malang 18 persen, Madiun 17,6 persen, Tulungagung 17,3 persen, Probolinggo 17,3 persen, Sidoarjo 16,1 persen, Magetan 14,9 persen, Blitar 14,3 persen, Kota Kediri 14,2 persen, Ponorogo 14,2 persen, Kota Blitar 12,8 persen, Mojokerto 11,6 persen, Gresik 10,7 persen, Kota Madiun 9,7 persen, Kota Mojokerto 8,4 persen, Pamekasan 8,1 persen, Sampang 6,9 persen dan Kota Surabaya 4,8 persen.

Erna menyampaikan angka di kabupaten/kota itu sudah turun dibandingkan tahun sebelumnya. Nah, turunnya prevalensi stunting disebabkan dukungan berupa intervensi dari pemangku kebijakan di provinsi dan kabupaten/ kota yang luar biasa. "Terbukti dari dikeluarkannya regulasi tim percepatan pendamping keluarga. Baik di level provinsi maupun di tingkat kabupaten/ kota sampai desa. Saya rasa juga ada peran banyak elemen masyarakat multisektor termasuk akademisi yang berperan melalui penelitian dan pendampingan," ungkap dia.

Melihat intervensi terhadap stunting yang dilakukan secara pentahelix tersebut, Erna optimistis prevalensinya tahun ini turun sesuai target. Bahkan melampauinya. "Kalau pemerintah menargetkan di tahun 2024 itu 14 persen, kami komitmen capai di 13 persen. Untuk tahun ini target di Jawa Timur 16,8 persen. Kami sudah 19,2 persen di tahun ini bisa turun 16,8 persen," tegas dia.

Nah, untuk mencapai target tersebut BKKBN Jatim akan lebih intens dalam pendampingan keluarga yang berisiko stunting. Seperti calon pengantin, remaja, ibu hamil dan anak balita. "Itu kita damping, masing-masing dari keluarga berisiko stunting berbeda. Kalau pada calon pengantin bisa didorong merencanakan keluarga yang berkualitas baik fisik maupun mental, kepada yang lain nanti perlakuannya berbeda lagi," kata Erna menjelaskan.

Optimistis capai target pengentasan stunting

Kisah Sudut Kota: Melawan Stunting dari Pinggiran Rel KeretaIDN Times/Istimewa

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim mengamini data yang disampaikan BKKBN terkait menurunnya prevelensi stunting. Gubernur Khofifah Indar Parawansa, menyampaikan apresiasi kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penurunan angka stunting di Jawa Timur ini. "Terima kasih semuanya kita sudah pada posisi 19,2 persen, WHO bilang jangan melampaui 20 persen ini menjadi semangat panjenengan semua, mungkin bisa ditambahkan menjadi Ibu-ibu asuh bagi anak-anak yang terindikasi stunting di Jawa Timur," katanya.

Dipaparkan mantan Menteri Sosial ini, dalam program penurunan angka prevalensi stunting diperlukan kemitraan yang kuat di antara stakeholder terkait. Dalam hal ini BKKBN sebagai koordinator penanganan stunting secara nasional. Kemitraan BKKBN dengan struktur di kabupaten/ kota juga dengan TP PKK kabupaten/ kota.  "Bangun strong partnership di semua lini dan sektor, selain BKKBN, PKK juga bergerak bersama ada BKOW dan Dharma Wanita, DP3K Jatim serta Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, saya rasa menjadi kekuatan yang luar biasa," ujarnya.

Ketua Tim Penggerak PKK Jawa Timur, Arumi Bachsin Emil Dardak menyatakan bahwa dirinya bahagia mengetahui bahwa kini Jatim berada di bawah presentase Stunting yang ditetapkan oleh WHO yaitu 20 persen dan Jatim kini berada di angka 19,2 persen. Terkait hal itu, Arumi optimis bahwa angka ini dapat menurun hingga mencapai 14 persen pada 2024 melalui bantuan pemerintah, stakeholder, serta semua lapisan masyarakat. Utamanya, apabila semangat untuk mengupayakan penurunan ini dimulai dari dalam keluarga sendiri. 

"Memang di satu sisi kita bahagia karena sudah ada di bawah angka yang ditetapkan WHO tapi tetap kita masih mengingat masih ada PR hingga 14 persen di tahun 2024 kurang dari satu tahun ini," katanya.  "Harapan kami TP PKK dibantu stakeholder, salah satunya pemerintah, di semua lapisan masyarakat utamanya keluarga yang tangguh bisa bersama mencapai angka ini," pungkas Arumi.

Baca Juga: Stunting Jatim Tinggi, MPASI Jadi Solusi

Topik:

  • Zumrotul Abidin

Berita Terkini Lainnya