Keluarga dan Tingginya Angka Bunuh Diri di Kota Pahlawan

Masalah keluarga mendominasi motif bunuh diri di Surabaya

Surabaya, IDN Times - RR (23) mengenang betul peristiwa yang dialaminya lima tahun lalu. Sebuah tragedi pahit yang akan menjadi pelajaran hidup sekaligus titik balik baginya. Peristiwa itu adalah usaha bunuh diri yang coba dilakukannya. Mahasiswi sebuah kampus swasta di Surabaya ini pun membagikan kisah pahitnya.

"Itu aku umur 19 tahun, faktor depresinya akumulatif. Akarnya tapi masalah keluarga," ujarnya membuka percakapan saat ditemui IDN Times, Senin (13/1).

RR merupakan anak tunggal, sejak kecil ia kerap ditinggal sendirian di rumah oleh orangtuanya. Kondisi itulah yang menurutnya membentuk dirinya sebagai pribadi yang introvert atau tertutup. Ketimbang sambat dan menceritakan masalahnya pada orang lain, ia memilih memendamnya sendiri.

"Aku introvert. Ada beberapa momen faktor di dalam keluarga," kata RR.

Puncaknya terjadi saat RR duduk di bangku kuliah. Tanpa ia sadari, permasalahan keluarga membuatnya depresi, linglung, bahkan mendadak bisu. "Ada masalah keluarga jauh lebih besar. Aku lumpuh dibawa ke rumah sakit sekitar dulu. Akhirnya aku dibawa ke RS Menur (rumah sakit jiwa)," ungkap RR.

Di RSJ Menur, RR segera ditangani tenaga medis. Dia diberi obat dan penanganan khusus, tubuhnya pun kembali normal lagi. Kemudian dia disarankan untuk rutin ke psikiater sembari konsumsi obat. Tiga bulan intens ke psikiater, rupanya tak membuat RR merasa lebih baik.

"Suatu ketika aku merasa capek. Aku kepikiran bunuh diri. Itu setelah mau jalan empat bulan berobat," lanjutnya.

Dan peristiwa itu pun terjadi. Di puncak kebuntuannya, ia menelan 23 butir pil obatnya secara bersamaan. Padahal, pil itu seharusnya dihabiskan selama dua pekan. Walhasil, tubuh RR tak kuat menahan dosisnya. Jalannya sempoyongan, kepalanya terasa berat.

RR yang kala itu sedang dalam perjalanan pulang dari kampus pun menghentikan langkahnya. Ia memilih sebuah Balai RW perkampungan untuk beristirahat. Namun, ia justru tak sadarkan diri sebelum pingsan.

Beruntung, tindakan RR ini sebelumnya ternyata sudah dipantau kakak tingkatnya. "Kakak tingkatku gerak cepat nyelametin aku. Panggil dosen, dan ngawal aku dari belakang tapi aku gak sadar waktu itu," kata RR.

"Waktu di Balai RW aku pingsan, dan langsung diselametin kakak tingkatku itu terus diberi susu steril. Harusnya aku gak selamat jadi terselamatkan," tambahnya. Ia pun bersyukur dan merasa mendapat kehidupan kedua.

Pasca kejadian itu, RR mulai mengobati diri. Dia memutuskan mengambil cuti kuliah. Keluarganya kini tahu kalau RR butuh tempat untuk cerita. Perlahan dia membuka diri mau cerita masalahnya ke keluarga maupun teman dekat. Dia kini tahu bagaimana cara meluapkan perasaan ketika tertekan.

"Aku sekarang kalau tertekan ya nangis, kalau gak gitu nulis. Dulu itu bingung ngungkapin antara marah dan sedih, biasa diam saja," bebernya.

Dosen RR juga memberi perhatian kepada mahasiswanya tersebut. Dia memberikan saran kepada RR agar mengolah perasaan ke karya. Kebetulan juga, RR menekuni seni rupa. "Setelah cuti aku disarankan dosenku untuk melukis. Ini berkelanjutan. Aku sedih langsung nulis atau melukis," ucapnya.

Lambat laun, karya-karya lukisan RR mulai dipajang di beberapa pameran. Dia kini bisa lebih produktif untuk melanjutkan hidup ke depan.

Apa yang terjadi pada RR hanya potret kecil dari fenomena bunuh diri di Kota Pahlawan. IDN Times mencatat ada 19 orang yang mengakhiri hidupnya selama 2019. Dari jumlah itu, 15 korban merupakan laki-laki. Motifnya pun beragam. Tapi yang paling banyak ialah masalah keluarga dan asmara. 

Psikolog dari RS Mitra Keluarga Sidoarjo, Naftalia Kusumawardhani bahwa bunuh diri tidak serta-merta dilakukan secara spontan. Korban umumnya sudah memiliki perencanaan sebelumnya.  "Apabila tidak mendapat tanggapan orang sekitar termasuk keluarga maka bisa ke percobaan bunuh diri," terangnya.

Ia juga mengamini bahwa masalah keluarga menjadi penyebab tertinggi bunuh diri. Paling banyak korban mengalami kekerasan rumah tangga, perselingkuhan, penganiayaan, hingga tuntutan berlebihan terhadap prestasi akademis. 

"Mereka, terutama anak-anak, tidak mampu melepaskan diri dari lingkungan keluarga tersebut. Stressor berupa tekanan tersebut hadir terus menerus, sementara mereka tidak berdaya dan belum memiliki sumberdaya cukup untuk meninggalkan kondisi keluarga demikian itu," jelasnya.

 

Keluarga dan Tingginya Angka Bunuh Diri di Kota PahlawanInfografis bunuh diri di Kota Surabaya. IDN Times/Mia Amalia

Meski masalah keluarga menjadi penyebab tertinggi, namun perilaku bunuh diri tidak mempunyai penyebab tunggal. Ada banyak faktor yang memengaruhinya. "Seperti gangguan jiwa, depresi, dan sejumlah masalah psikologis lain dapat menjadi pendukungnya," terang Naftalia.

Dalam kasus kasus ini ia meminta orangtua mengubah model pengasuhan agar anak-anak merasa lebih dihargai dan disayang tanpa syarat. Sementara bagi korban yang sudah memiliki pasangan, ia mengimbai mereka untuk mulai mencari bantuan bila terjadi konflik perkawinan. 

"Para pelaku kekerasan rumah tangga, yang lebih banyak suami atau ayah, mulailah bertanya pada diri sendiri: Apa yang ingin dicapai? Kepuasan? Pengakuan akan kekuasaan tanpa batas? Atau apa? Carilah bantuan, tidak perlu malu untuk menghubungi tenaga profesional," terang Naftalia.

Sementara itu, jika merujuk studi awal bunuh diri yang pernah dilakukan oleh Emile Durkheim, salah satu perintis ilmu sosiologi, kecenderungan bunuh diri disebabkan oleh kondisi kebingungan seseorang terhadap situasi yang tidak bisa diatasinya.

Biasanya pelaku bunuh diri merasa ketiadaan ikatan kuat antar anggota keluarga atau masyarakat. Lepas atau lemahnya ikatan batin, kekerabatan maupun kekeluargaan di antara anggota masyarakat itu dapat menyebabkan seseorang yang dirundung masalah, merasa hidup sendiri atau kesepian.

"Sehingga ia tak bisa berpikir jernih tentang norma-norma baik yang bisa menghindarkan dirinya dari perbuatan bunuh diri," kata Dosen Sosiologi Unair, Tuti Budirahayu.

Dalam istilah sosiologi, Tuti melanjutkan, keadaan seperti itu disebut dengan situasi anomie. Yaitu situasi di mana seseorang tidak memiliki pegangan norma atau kontrol sosial yang jelas, tentang mana perilaku benar dan salah.

Untuk meminimalisir situasi anomie, maka seseorang harus memiliki ikatan yang kuat terhadap kelompoknya agar saling mengingatkan dan menguatkan.

"Nasihat, petuah, wejangan, curhat, saling berbagi beban persoalan antaranggota kelompok adalah hal-hal baik yang harus terus dilakukan agar rasa kesepian, sendiri atau merasa ditinggal oleh orang lain atau lingkungan dapat diminimalisir," tandas Tuti.

Pemerintah Kota Surabaya sebenarnya juga tak tinggal diam terhadap fenomena ini. Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini mengeluarkan surat edaran. Isi surat bernomor 460/1746/436.7.7/2020 bahwa pemkot siap memfasilitasi warganya yang mengalami gangguan psikis.

Keluarga dan Tingginya Angka Bunuh Diri di Kota PahlawanBekas pecahan kaca mobil boks berserakan di jalan usai tertimpa pria yang mencoba bunuh diri di fly over Banyu Urip, Surabaya, Rabu (29/1). IDN Times/Fitria Madia

Surat yang dikeluarkan sejak Rabu (12/2) itu berisi empat poin penting. Pertama warga diminta proaktif melapor ke Command Center 112 apabila mengetahui ada warga lain mengalami gangguan psikis, terlebih sering membicarakan kematian dan ingin bunuh diri.

Kemudian memiliki ciri-ciri lain; mulai menghubungi keluarga dan orang dekatnya untuk meminta maaf dan ucapan selamat tinggal. Mengunjungi dan berada di tempat-tempat membahayakan.

Apabila ada tanda-tanda tersebut, pemkot sudah menyiapkan pendampingan psikologi di Pusat Pendampingan Keluarga (Puspaga) di Mal Pelayanan Publik Siola lantai 2. Serta di puskesmas se-Surabaya. Warga yang mengalami gangguan psikis dijamin akan dimudahkan dalam pendampingan.

Selain itu, Pemkot juga melibatkan Potensi Sumber Kesejahteraan. Seperti Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat (IPSM) maupun relawan sosial. Mereka diharapkan bisa berperan memberi dukungan psikososial guna membantu fungsi sosial individu sehingga risiko bunuh diri dapat dicegah lebih dini.

Semua masalah dalam kehidupan ini pasti ada solusinya. Tugas kita semua mencari solusinya tanpa henti. Dan mati bukanlah jawaban.

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya