Kasus Tertinggi, Warga Jatim Korban Carut Marut Penanganan COVID-19

Pemerintah masih temui beberapa kendala penanganan COVID-19

Surabaya, IDN Times - Jawa Timur menjadi provinsi yang memiliki kasus COVID-19 tertinggi di Indonesia. Berdasar data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), hingga Sabtu (25/7/2020) tercatat ada 20.256 kasus positif di Jatim dengan 11.965 kasus sembuh dan 1.572 meninggal dunia. Jumlah itu sekaligus melebihi DKI Jakarta yang sempat menjadi episentrum corona di awal pandemik.

Tingginya kasus di Jatim dengan durasi deteksi sedikit lambat daripada Jakarta pun diakui oleh Gubernur Khofifah Indar Parawansa. Mantan menteri sosial ini membeberkan perihal sulitnya penanganan COVID-19 pada awal pandemik. Bahkan, sampai hari ini penanganan itu masih menjumpai berbagai kendala.

1. Susahnya lakukan tracing dan testing pada awal pandemik

Kasus Tertinggi, Warga Jatim Korban Carut Marut Penanganan COVID-19Gubernur Jatim khofifah Indar Parwansa memaparkan data terkini COVID-19. Screenshoot YouTube/tempodotco

Khofifah mengatakan, pada saat Jakarta sudah banyak menemukan warganya yang positif COVID-19, di Jatim justru belum terkonfirmasi ada kasus. Tak lama setelah itu, tepatnya Maret 2020, dia mendapat laporan ada tiga kasus positif. Tim Penyakit Infeksi Emerging dan Remerging (Pinere) RSUD dr Soetomo langsung jemput bola.

"Itu dr Darsono (Ketua Tim Pinere) langsung jemput bola. Kami juga koordinasi dengan tim epidemiologi dari FKM Unair," ujarnya saat live streaming bersama Tempodotco, Sabtu malam (25/7/2020).

Dari koordinasi yang dilakukan, Khofifah mendapat kesimpulan bahwa butuh tes cepat berbasis swab PCR. Namun, infrastruktur pengetesan belum siap. Sebab tidak banyak laboratoriun yang mampu melakukannya. Ditambah lagi jumlah reagen masih terbatas dan harus memesan dari luar negeri.

"Hari itu kami cari reagen aja susah setengah mati. Kami pesan waktu itu dari Korea (Selatan), bisa lebih satu bulan reagennya baru datang. Nanti reagen datang ekstratornya kurang, nanti setelah itu ada kebutuhan dari luar daerah kalau mereka di-swab harus membawa spesimennya dengan TCM. Cari TCM lagi susah," ungkapnya

"Artinya, memang akses yang didapatkan tidak sesederhana itu untuk mendapatkan TCM, reagen," dia melambahkan.

2. Terungkap positivity rate Jatim 18 persen, jauh dari ambang batas WHO

Kasus Tertinggi, Warga Jatim Korban Carut Marut Penanganan COVID-19Ilustrasi virus corona (IDN Times/Arief Rahmat)

Kondisi itu, lanjut Khofifah, terus dibenahi oleh Pemprov Jatim melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) COVID-19. Hasilnya, dia menyebut sekarang telah ada 43 laboratorium dan mobil PCR yang siap mengetes spesimen swab. Berdasarkan data pemprov, rinciannya ada 43 mesin PCR dan 22 TCM yang mampu menguji 2.500-3.000 spesimen tiap harinya.

"Ini sangat membantu tracing diikuti testing, testing diikuti tracing. Ini terus kami lakukan secara masif sampai hari ini," ucapnya.

Tes masif itu perlahan mengungkap jumlah rata-rata kasus positif atau positivity rate di Jatim. Khofifah mengatakan mencapai 18 persen. Angka ini masih jauh dari standar organisasi kesehatan dunia (WHO) yang mematok batas ambang ideal 5 persen. Namun, Khofifah menjelaskan kalau tingginya positivity rate dipengaruhi tes massal.

"Jadi begini, positivity rate ini dari berapa yang di-swab. Bahwa, akan berbeda swab di Jatim dengan provinsi lain. Maka tingkat rapid test Jatim tinggi sekali. Tingkat rapid test di Jawa Timur 700 (ribu) lebih.  Saya ingin menyampaikan kalau mereka di-rapid reaktif, mereka di-swab. Atau mereka yang sudah PDP, mereka di-swab," jelasnya.

Dia menambahkan, 1 dari 52 penduduk di Jatim telah dites COVID-19 dengan rapid test. Sedangkan yang telah dites swab ialah 1 dari 341 penduduk di Jatim. "Jadi kalau di-rapid nonreaktif, ya sudah tidak di-swab," tambahnya.

Baca Juga: Gugus Tugas COVID-19 Bubar, Khofifah Sesuaikan dengan Komite Nasional

3. Sebut rapid test lebih mudah, murah, dan akurat

Kasus Tertinggi, Warga Jatim Korban Carut Marut Penanganan COVID-19Ilustrasi Rapid Test Tim IDN Times (IDN Times/Herka Yanis)

Alasan mendasar gubernur kelahiran Surabaya ini tidak memperbanyak tes swab lantaran mencari reagen tidak mudah dan tidak murah. Sedangkan rapid test, alatnya dirasa lebih mudah didapat dan jauh lebih murah dibandingkan swab PCR.

"Saya ingin membandingkan, dari berbagai alkes tes. Rapid test lebih mudah dan murah," bebernya.

Mengenai minimnya akurasi rapid test, Khofifah justru membantahnya dengan artikel yang dibacanya. Sayangnya dia tidak menyebut artikel apa yang dimaksud. Dia hanya menyampaikan akurasi PCR sekarang ini 63 persen sedangkan rapid test 75 persen.

"Ada narasi dalam artikel sesuatu, tiap hari kita lakukan perdebatan, lab PCR katanya tingkat akurasinya 63 persen. Awal-awal memang 95 persen. Kemudian rapid test ada yang 75 persen," katanya.

"Jadi banyak sekali artikel yang bisa kita jadikan keputusan bagaimana dengan jumlah masyarakat (Jatim) yang cukup besar, 40 juta. Bagaimana kemampuan kita mengakses reagen, ekstraktor, dan lab PCR untuk bisa memberikan deteksi dari kemungkinan mereka yang ada atau tanpa gejala klinis, tapi mereka kategori orang berisiko misalnya," dia mengungkapkan.

Baca Juga: Hari Anak Nasional, Khofifah: Masa Pandemik Bikin Stres

Topik:

  • Dida Tenola

Berita Terkini Lainnya