Jika Insentif Dipotong, RSDL Akan Semakin Susah Cari Relawan

Tak ada pemotongan saja, sudah susah cari relawan

Surabaya, IDN Times - Wacana pemotongan insentif tenaga kesehatan (nakes) yang menangani COVID-19 mencapai 50 persen ramai diperbincangkan di media sosial. Banyak yang menyayangkan jika kebijakan ini benar-benar diterapkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Salah satunya, dokter Rumah Sakit Darurat Lapangan (RSDL) Indrapura, Kota Surabaya, dr. Christrijogo Soemartono Waloejo.

1. Sejak awal pandemik susah cari relawan nakes

Jika Insentif Dipotong, RSDL Akan Semakin Susah Cari RelawanIlustrasi Tenaga Medis. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

dr. Chris mengaku khawatir tidak ada lagi nakes yang bertugas maupun menjadi relawan menangani pasien COVID-19 apabila ada pemotongan tersebut. Dia mengingat betul betapa susahnya awal-awal mencari nakes yang mau menjadi relawan di rumah sakit lapangan.

"Dengan insentif yang awal dulu saja susah, karena diambil dari ketentuan peraturan daerah Jawa Timur. Awal itu dokter umum Rp7,5 juta, perawat cuma Rp5 juta. Kemudian gak ada yang daftar," ujarnya saat ditelepon.

"Saya tunjukkan peraturan Kementerian Keuangan dokter umum Rp10 juta, perawat Rp7,5 juta. Baru mereka ada (yang daftar)," imbuh dr. Chris.

Baca Juga: Pemerintah Pangkas Insentif Tenaga Kesehatan 50 Persen, Ini Rinciannya

2. Jika dipotong takut gak ada yang mau bertugas

Jika Insentif Dipotong, RSDL Akan Semakin Susah Cari RelawanIlustrasi tenaga medis (IDN Times/Mia Amalia)

Apabila dari ketetapan itu dipotong, menurut dr. Chris, nakes yang belum pegawai negeri akan kesulitan memenuhi kebutuhannya. Karena ketika bertugas di lapangan, mereka hanya dapat jatah sekali makan. Belum lagi adanya risiko terpapar COVID-19.

"Apakah pemerintah membantu semuanya? Iya kalau di rawat di rumah sakit biasa. Tapi secara sosial, keluarga dan macam-macam mereka gak balik modal kalau sukarelawan itu. Tapi kalau saya pegawai negeri, saya dapat tunjangan pegawai negeri, saya cukup saja. Masih bisa praktek juga," ungkapnya.

"(Kalau benar dipotong) ya mohon maaf, mungkin perawatnya gak mau melanjutkan lagi. Karena idealnya seperti kemarin memang (aturan lama), itu ada gula-gulanya lah, kalau mau beli pentol bakso masih bisa," dia menambahkan.

3. Padahal biaya yang mahal pada fasilitas kesehatan dan pengobatan

Jika Insentif Dipotong, RSDL Akan Semakin Susah Cari RelawanIlustrasi tenaga medis (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

Lebih lanjut, dr. Chris menambahkan, kalau yang mahal dalam perawatan pasien COVID-19 ialah penggunaan fasilitas kesehatan, pemeriksaan swab PCR penunjang dan obat-obatannya. Bukan insentif nakesnya.

"PCR itu kan Rp800-900-an itu beberapa kali pada pasien, kemudian kalau penyakit tertentu ke laboratorium, terus obat-obatan ada yang impor. Mungkin mahal lagi itu oksigen kalau ada yang sesak, sama biaya sterilisasi alat-alat (medis)," pungkasnya.

Baca Juga: IDI: Pemotongan Insentif Nakes Kurang Tepat, Mereka Butuh Dukungan

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya