Fakta Dokter Spesialis di Jatim, Minim dan Tidak Merata

Idealnya harus ada 40 ribu dokter spesialis

Surabaya, IDN Times - Jumlah dokter spesialis masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Keberadaannya saat ini dirasa minim. Tentu saja tidak merata. Kebanyakan bisa dijumpai di rumah sakit kota-kota besar.

Gubernur Jawa Timur (Jatim), Khofifah Indar Parawansa bahkan sempat menyinggung kalau dokter spesialis yang distribusinya tidak merata ini membuat banyak pasien 'kabur' ke luar negeri. Mereka memilih berobat ke tetangga sebelah. Seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand.

"Rata-rata tujuan terbesar masyarakat Indonesia untuk berobat ini justru ke Singapura dan Malaysia," ujarnya saat peresmian program inovasi strategis RSUD dr. Soetomo tahun 2023 pada Rabu (4/1/2023).

Selain minimnya dokter spesialis, Khofifah juga menyebut, berdasarkan riset Zurich alasan yang membuat pasien memilih berobat ke luar negeri di antaranya kurangnya pelayanan dan pengawasan kesehatan di Indonesia, kecanggihan teknologi dan obat obatan.

Kemudian juga ada problem komunikasi dokter dan tenaga medis pembantu. "Padahal ketika pasien dapat senyumannya dokter itu, 80 persen bisa sembuh," kata Khofifah sembari berkelakar. Ada juga soal ketepatan diagnosis, akomodasi, reputasi serta biaya di luar negeri dianggap lebih murah.

Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Jatim, dr. Erwin Astha Triyono mengakui kalau dokter umum maupun spesialis di Jatim belum merata. Hal itu karena produksinya minim. Dia menyebut saat ini ada 15.000 dokter terdiri dari umum dan spesialis di Jatim. Jumlah itu dirasa masih sangat kurang.

Jika jumlah idealnya 1:1.000, Erwin menyimpulkan maka Jatim sebenarnya butuh sebanyak 40.000 dokter. Karena saat ini, jumlah penduduk Jatim ditaksir sudah tembus sebanyak 40.000.000 orang lebih.

Melihat jumlah yang tidak ideal ini, Erwin menjelaskan kalau sebenarnya pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sudah mendorong perguruan tinggi mencetak banyak dokter. "Memproduksi baik itu dokter umum, spesialis maupun sub-spesialis diharapkan meningkat," kata dia.

Tak sampai di situ, juga diminta menjaga mutu dokter-dokter baru. "Jangan sampai produksi banyak, tapi gak berhasil menjaga mutu. Terkait distribusi kami masih koordinasi dengan teman-teman IDI (Ikatan Dokter Indonesia) untuk memetakan," kata Erwin.

Dalam pemetaan inilah, sambung Erwin, tidak mudah. Perlu mengonfirmasi dokter spesialis yang akan ditunjuk ke daerah pinggiran, kemudian menanyakan ke daerah tersebut apakah butuh dokter spesialis, juga sarana dan prasarananya.

"Sehingga nanti match, kita kirim (dokter spesialis) ke sana, daerahnya butuh, sarananya ada. Sehingga mereka (dokter) bekerja dengan situasi yang mendukung," katanya.

Nah, untuk mewujudkan agar ada dokter spesialis yang mau ditempatkan di daerah, Erwin mendorong pemerintah kabupaten setempat agar berinvestasi. "Artinya saya punya dokter muda, ayo sekolahlah. Nanti kami (dinkes) koordinasi dengan FK (Fakultas Kedokteran) supaya nanti dibuatkan sedikit afirmasi supaya dimudahkan, karena mereka bakal kembali ke daerahnya," jelas dia.

Seorang peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Kardiologi, dr. Makhyan Jibril Alfarabi mengakui memang banyak dari teman-teman sejawatnya yang belum mau kembali ke daerah setelah mendapat gelar spesialis. Hal itu dikarenakan minimnya peran serta pemerintah setempat kepada mereka.

"Dulu sekolah (kemudian lulus) tidak tahu kembali ke mana," ujarnya saat ditemui di RSUD dr. Soetomo.

Sekarang ini, peran pemerintah mulai terlihat. "Kalau sekarang, sekolah terus ada rekomendasi tempat kembalinya (praktik). Sekarang di maping, ada daerah yang spesialisnya sudah banyak, ada yang kurang. Dari situ dibuka jalur penerimaan PPDS-nya," ungkap pria yang karib disapa Jibril ini.

Tak hanya jalur itu saja, Jibril menyebut juga ada jalur melalui TNI. Karena rumah-rumah sakit TNI ternyata kekurangan dokter spesialis. "Jadi ada penerimaan PPDS dari kiriman daerah, ada juga dari TNI. Harapannya ketika kembali, mereka sudah menyebar. Tidak menumpuk satu tempat misalnya Surabaya saja," kata dia.

"Maka dari itu untuk sekolah spesialis sekarang perlu rekomendasi baik itu daerah atau instansi," ucap Jibril. "Itu memastikan daerah (yang beri rekom) kekurangan spesialis. Sekarang pemerataannya mulai diatur. Peralatan canggihnya sudah mulai ada untuk menunjang dokter spesialis," tambah dia.

Sementara itu, Direktur Utama (Dirut) RSUD dr. Soetomo, dr. Joni Wahyuhadi menegaskan kalau di rumah sakitnya terus melakukan regenerasi dokter-dokter spesialis. Bahkan, dokter-dokter muda yang berpotensi mendapat kesempatan disekolahkan hingga promosi spesialis.

"Kita sudah sekolahkan, kita beri kesempatan kawan-kawan spesialis sesuai dengan exspertise (keahlian) mereka. Jadi di Soetomo punya spesialis semuanya. Tinggal sarananya," tegas Joni.

Baca Juga: Biaya Mahal Alasan Indonesia Masih Kekurangan Dokter Spesialis

Topik:

  • Zumrotul Abidin

Berita Terkini Lainnya