Surabaya, IDN Times- Jalan Peneleh VII Surabaya, pagi itu tampak sepi. Tidak terlihat satupun pelancong yang hendak mengunjungi rumah putih bernomor 29-31. Padahal, bangunan seluas 9x13 meter itu sarat akan sejarah. Di sanalah karakter sang proklamator muda terbentuk. Di sanalah Soekarno dengan Musso menjadi sahabat karib yang makan dan hidup di satu atap. Di rumah sederhana itulah “sang guru bangsa” Haji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto bermukim selama 14 tahun.
“Ya walaupun sepi, tapi pasti ada satu atau dua orang yang berkunjung,” ungkap Januar selaku pegawai Dinas Pariwisata Kota Surabaya yang bertugas menjaga rumah tersebut. Sejak 27 November 2017, griya dengan pagar hijau itu diresmikan menjadi museum HOS Tjokroaminoto.
Setiap sisi bangunan memiliki cerita tentang perjalanan Tjokroaminoto. Mulai dari 1902 tatkala Tjokro, sapaan hangatnya, menjadi abdi negara, 1907 ketika Tjokro pindah ke Surabaya, 1914 mulai memimpin Sarekat Islam (SI), hingga 1934 ketika beliau menutup hidupnya di Yogyakarta. Bisa dibilang museum ini memiliki wall of history dari seorang lelaki yang dijuluki oleh Belanda sebagai “raja tanpa mahkota”.
Rumah tersebut adalah sebaik-baiknya kawah candradimuka di Pulau Jawa. Bagaimana tidak, mereka yang bermukim di sana -seperti Soekarno, Semaun, Alimin, Darsono, Kartosoewirjo, Tan Malaka, hingga Musso- semuanya menjadi tokoh yang mewarnai hitam-putih Republik Indonesia.
Jika dikulik lebih jauh, ternyata ide untuk menjadikan rumah yang dibeli pada 1902 itu merupakan gagasan Soeharsikin, istri dari Tjokroaminoto. “Jadi ibu Soeharsikin ini ingin membantu ekonomi keluarga, karena Pak Tjokro kan sibuk di politik. Nah dia memiliki inisiasi untuk membuka kos-kosan untuk siswa,” lanjut Januar.
Singkat cerita, rumah tersebut menjadi saksi bisu kisah perjuangan Soeharsikin dengan Tjokroaminoto sejak 1907 hingga 1921. Tepat pada 22 Februari, Soeharsikin dipanggil Yang Maha Kuasa setelah berjuang dengan penyakit tifus.
“Setelah ditinggal ibu, bapak (Tjokro) itu sangat terpukul. Dia sampai pindah rumah. Wah pokoknya peran ibu luar biasa,” ujar Januar. Hari ini, Jumat (22/2), tepat 98 tahun Soeharsikin bersemayam di Makam Botoputih, Surabaya.
Soeharsikin jelas bukan perempuan biasa. Bersama sang suami, ia membentuk karakter Soekarno yang kala itu berusia 15 tahun, hingga kisah romansanya yang menolak untuk diceraikan oleh orangtuanya. Apakah ini penting? Tentu, karena dia adalah ratu tanpa mahkota kebanggaan tanah Jawa.