TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Takut Elpiji, Warung Nasi Campur di Malang Puluhan Tahun Pakai Arang

Sejak 1970 Titik berjualan makanan menggunakan arang

Kompor tradisional di Warung Arema. (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)

Malang, IDN Times - Ketika masyarakat Malang tengah kebingungan mencari gas elpiji 3 kilogram yang mulai langka, Titik Ariyati (69) pemilik Warung Arema di Jalan Zainul Arifin, Kota Malang masih santai saja menggoreng bakwan jagung di atas wajan. Warungnya memang tidak terdampak dengan kelangkaan gas elpiji 3 kilogram karena ia sudah puluhan tahun memasak tanpa menggunakan produk PT Pertamina ini.

Titik sejak dulu memang masih menggunakan arang sebagai bahan utama perapian. Ternyata ia takut menggunakan gas elpiji setelah mendengar banyak kasus gas elpiji 3 kilogram meledak di televisi.

Baca Juga: Bos Pertamina Ditelepon Erick soal Elpiji 3 Kg Langka

1. Titik dalam sehari bisa menghabiskan 10 kilogram arang untuk memasak di warungnya

Titik saat mempersiapkan menu di Warung Arema. (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)

Titik menceritakan jika sebenarnya ia masih takut menggunakan kompor gas, oleh karena itu hingga saat ini ia masih bertahan menggunakan kompor tradisional yang menggunakan arang. Dalam sehari ia bisa menghabiskan sekitar 10 kilogram arang dengan biaya Rp100 ribu.

Ia mengakui kalau biaya yang dihabiskan memang lebih mahal dibanding dengan menggunakan kompor gas. Namun, ia berdalih jika rasa masakannya akan berbeda jika diolah menggunakan kompor gas. Menurutnya masakan dengan kompor arang membuat cita rasa lebih nikmat.

"Saya sebenarnya takut kalau menggunakan gas elpiji, jadi sejak dulu sampai sekarang masih pakai arang. Anak-anak saya sudah pakai elpiji, tapi ternyata bumbu masakan lebih meresap kalau pakai arang, memasak daging ayam atau sapi jadi lebih empuk kalau pakai arang," bebernya.

2. Titik menceritakan jika ia sudah berjualan makanan menggunakan arang sejak 1970

Hasil masakan Titik di Warung Arema. (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)

Lebih lanjut, Titik menceritakan kalau dirinya sudah berjualan makanan dengan menggunakan arang sejak 1970. Namun, saat itu nama warungnya masih Warung Gang Buntu dan hanya menyediakan menu rujak cingur. Warungnya juga masih sangat kecil di Jalan Zainul Arifin, tapi para pelanggannya kebanyakan adalah mahasiswa Universitas Brawijaya (UB)

Namun, lama kelamaan para mahasiswa ini bosan dengan menu rujak cingur saja. Mereka meminta Titik untuk membuat menu nasi campur agar pilihan menunya lebih variatif. Tak ayal, ia menuruti permintaan para mahasiswa ini. Justru nasi campur buatannya yang jadi laris manis oleh mahasiswa.

Harga makanan yang dijual di sana juga ramah pada kantong mahasiswa, hal ini juga yang membuat warungnya jadi primadona mahasiswa berkantong cekak. Satu porsi nasi campur hanya dibanderol dengan harga Rp10 ribu sampai Rp18 ribu. Menu yang ditawarkan mulai sari nasi urat-urat dengan lauk seperti mie, tempe, mendol, bakwan jagung, sate komoh, hingga ayam goreng.

"Karena pembeli makin banyak, pada 2017 kita pindah ke sini yang bangunannya lebih luas dan nama warungnya diganti jadi Warung Arema. Tapi masih sama tetap di Jalan Zainul Arifin, soalnya kalau pindah terlalu jauh takutnya pelanggan lama jadi gak datang lagi," bebernya.

Baca Juga: Truk Pengangkut Tabung Elpiji di Tuban Terbakar, 1 Orang Luka

Verified Writer

Rizal Adhi Pratama

Menulis adalah pekerjaan untuk merajut keabadian. Dengan menulis kita meninggalkan jejak-jejak yang menghiasi waktu. Tulisan dan waktu adalah 2 unsur yang saling tarik menarik membentuk sejarah.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Berita Terkini Lainnya